Sebuah studi menyatakan bahwa Solusi Iklim Alami, seperti potensi yang dimiliki hutan tropis dan hutan mangrove dalam menangkap dan menyimpan karbon dioksida, menyumbang 37 persen dari total upaya mitigasi perubahan iklim. Hal ini memperkuat pemahaman bahwa alam memiliki peran penting dalam skema pengurangan emisi. Meskipun begitu, keberadaan ekosistem karbon biru, yang mampu menangkap 55 persen dari seluruh karbon yang dikeluarkan, belum banyak diakui sebagai bagian dari solusi tersebut. Begitu juga di Indonesia yang merupakan rumah bagi salah satu ekosistem karbon biru terbesar di dunia.

Karbon biru merupakan istilah yang dipakai untuk karbon yang terasingkan, disimpan atau dihasilkan ekosistem laut dan pesisir, termasuk hutan mangrove, lamun dan rawa pasang surut. Sejumlah ekosistem tersebut menyimpan sebagian besar karbon di dalam tanah dan mampu mengubur karbon atmosfer sepuluh kali lipat lebih besar per hektar per tahunnya dibandingkan lahan lain.

Selain berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim, ekosistem karbon biru juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat pesisir. Ekosistem karbon biru dapat mencegah erosi, melindungi rumah penduduk dari badai, menangkap polutan dan menyediakan habitat bagi spesies yang penting secara komersial. Rangkaian manfaat tersebut juga dapat menunjang perkembangan pariwisata lokal dan menyediakan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir. Di Muara Angke, salah satu tujuan ekowisata mangrove di Indonesia yang terletak di Jakarta, ekosistem mangrove berhasil meraup pendapatan sebesar Rp31,7 juta/ha/tahun atau total Rp3 miliar per tahun hanya dari layanan pariwisata saja.

Mengapa Indonesia perlu mendorong agenda karbon biru?

Masyarakat lokal di seluruh Indonesia sangat bergantung pada ekosistem pesisir yang sehat. Foto oleh: Ines Ayostina/WRI Indonesia

Masyarakat yang hidup di daerah pesisir rentan terhadap dampak perubahan iklim, terutama kenaikan permukaan laut dan bencana banjir. Sekitar 65 persen populasi Indonesia hidup 50 kilometer dari garis pantai. Oleh karena itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Artinya, sekitar 5,9 juta orang diperkirakan akan terkena dampak banjir pesisir di akhir abad ini. Namun, ekosistem tempat masyarakat pesisir berlindung dan mencari nafkah ini justru terkikis dengan pesat. Saat ini, Indonesia tercatat sebagai negara yang mengalami laju degradasi ekosistem mangrove tercepat di dunia.

Di antara 151 negara yang memiliki sedikitnya satu ekosistem karbon biru, hanya 28 negara yang menyertakan lahan basah pesisir sebagai strategi mitigasi perubahan iklim, sementara 59 negara lainnya memasukkan ekosistem karbon biru ke dalam rencana adaptasi. Fakta yang mengejutkan adalah Indonesia belum memasukkan ekosistem karbon biru dan lahan basah pesisir pada NDC-nya, baik dalam strategi mitigasi maupun adaptasi. Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat hutan mangrove dan lamun di Indonesia memiliki cadangan karbon biru terbesar di dunia, yakni 17 persen. Untuk luas hutan mangrove sendiri, Indonesia menduduki peringkat pertama di tingkat global dengan kepemilikan sebesar 22,6 persen dari total wilayah mangrove global.

Kondisi karbon biru Indonesia saat ini

Indonesia telah melakukan serangkaian upaya untuk mengelola ekosistem karbon biru. Dari sisi kebijakan, Peraturan Presiden mengenai Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM) diberlakukan pada 2012 dengan membentuk tim koordinasi nasional untuk pengelolaan mangrove. Beberapa peraturan dan program lanjutan juga telah digagas pemerintah, seperti Peraturan Menteri atas pemberlakuan SNPEM, Kerangka Kerja Strategi Karbon Biru Indonesia (Indonesia Blue Carbon Strategy Framework/IBCSF), dan pengembangan RPJMN 2020-2024 yang menyertakan karbon biru dalam inisiatif pembangunan rendah karbon. Meskipun sejumlah gagasan tersebut telah mendorong aksi rehabilitasi hutan mangrove, masih banyak yang perlu dilakukan bangsa ini untuk mencapai target rehabilitasi seluas 1,8 juta hektar hutan mangrove pada tahun 2045, terutama dalam hal pendanaan yang masih jauh dari kata cukup. Langkah-langkah di atas juga belum memiliki pengaruh besar pada perlindungan lamun mengingat terbatasnya pemahaman terhadap ekosistem lamun di Indonesia.

Tindakan nyata di lapangan juga sama pentingnya dengan inisiatif yang digagas di tingkat nasional. Pemerintah, Organisasi Masyarakat Sipil (CSO), universitas dan institusi lainnya telah melakukan penilaian mengenai ketersediaan karbon biru dan proyek-proyek perlindungan ekosistem karbon biru di berbagai lokasi di Indonesia. Meskipun demikian, jaminan akan keberlanjutan proyek dalam jangka panjang masih menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa ini.

Walaupun sudah ada kemajuan berarti, Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam hal pengelolaan ekosistem karbon biru. Tujuannya sangat jelas: untuk mengelola ekosistem secara berkelanjutan sehingga mampu mengatasi perubahan dan memperkuat ketahanan iklim, menjaga pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Langkah Selanjutnya

1. Ilmu Pengetahuan: dasar tindakan

Meskipun pemahaman mengenai peran ekosistem karbon biru dalam memitigasi perubahan iklim meningkat, masih belum dapat dipastikan sejauh mana kontribusinya terhadap pencapaian target pengurangan emisi Indonesia. Untuk mengetahui potensinya, kita perlu menghitung volume kelebihan karbon di atmosfer yang tertangkap dalam ekosistem karbon biru. Saat ini, data tersebut hanya tersedia untuk wilayah tertentu. Oleh karena itu, pendekatan berbasis ilmu pengetahuan perlu dilakukan demi mengurangi kesenjangan dan ketidakpastian potensi ekosistem karbon biru. Bersamaan dengan itu, teknologi penginderaan jarak jauh juga harus diterapkan untuk menghasilkan data dan informasi yang eksplisit dan kredibel secara spasial.

2. Kebijakan: pedoman untuk mengimplementasikan strategi

Penyusunan kebijakan perlu dipercepat untuk menanggapi temuan dan penelitian terbaru. Salah satu isu yang mendesak adalah penggabungan mitigasi dan adaptasi agar NDC dapat melihat kedua aspek tersebut secara seimbang. Untuk itu, Indonesia harus mulai menghargai potensi keduanya dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam menunjang penerapannya. Dari sudut pandang metodologis, Suplemen IPCC 2013 untuk Lahan Basah dapat dijadikan acuan pengelolaan Karbon Biru dalam inventarisasi nasional.

3. Pelaksanaan: upaya nyata di lapangan

Terdapat beberapa faktor pendukung utama di lapangan yang akan menunjang implementasi pengelolaan karbon biru. Pertama, dengan mengembangkan mekanisme pembiayaan berupa pemberian insentif bagi perlindungan dan pemulihan ekosistem karbon biru. Kedua, dengan menyusun rencana mata pencaharian alternatif dalam rangka mendorong upaya perlindungan ekosistem sekaligus memberikan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat. Terakhir, dengan menilai ketahanan masyarakat dan mengembangkan strategi adaptasi perubahan iklim.

Pendekatan komprehensif terhadap pengelolaan ekosistem karbon biru sangatlah dibutuhkan. Jika kita berhasil melakukannya, tujuan pembangunan triple win dapat terwujud, yaitu mengatasi perubahan iklim, menjaga pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di negara kepulauan terbesar, Indonesia.