Artikel ini pada awalnya dipublikasikan di The Jakarta Post.

“Manusia sibuk menjelajahi opsi kehidupan di Planet Mars. Mengapa mereka tidak memperbaiki dan melindungi Bumi saja?” tanya Krishna, seorang mahasiswa Manajemen Lingkungan, saat ditanyakan mengenai ketertarikannya pada perlindungan lingkungan. Krishna, 21 tahun, turut serta bersama 19 peserta lainnya dalam sebuah pelatihan pemuda sebagai bagian dari program Indonesian Young Thought Leaders on Environment yang diadakan oleh World Resources Institute Indonesia (WRI Indonesia). Dua puluh peserta ini dipilih dari hampir 100 kandidat melalui lomba penulisan esai lingkup nasional.

Dalam hal menyuarakan kekhawatiran, para pemuda di berbagai penjuru dunia semakin mengambil kendali dan bertindak melindungi lingkungan dan memperbaiki mata pencaharian yang terancam. Sebagai contoh, gerakan melawan pembangunan Jalur Pipa Minyak Dakota di Amerika Serikat dimulai oleh sekelompok remaja yang kemudian mendirikan Dewan Pemuda Adat Internasional atau International Indigenous Youth Council (IIYC). Gerakan pemuda ini percaya bahwa tujuan mereka harus disebarluaskan, bukan karena mereka percaya mereka dapat menghentikan pembangunan jalur pipa minyak tersebut, tetapi karena gerakan ini telah menyatukan pemuda-pemuda yang pada awalnya tidak terhubung satu sama lain dan tidak memahami isu ini. Aktris muda Hollywood Shailene Woodley pun turut ambil bagian secara konsisten dan vokal menyuarakan protes ini.

Pemuda seperti Krishna dan IIYC memang merupakan aktor penting dalam perjuangan perlindungan lingkungan dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Data dari UNESCO menunjukkan bahwa penduduk di bawah usia 30 tahun mencakup setengah dari populasi dunia pada awal tahun 2012 dan memiliki kesadaran sosial dan lingkungan yang semakin meningkat. Benua Asia memiliki persentase pemuda terbesar, namun kesadartahuan mereka dalam bidang lingkungan belum setinggi rekannya dari negara maju. Khususnya, pemahaman pemuda Indonesia mengenai lingkungan mungkin hanya terbatas pada isu-isu seputar sampah, polusi udara, dan penghematan listrik. Sektor tersebut memang penting, tetapi masih lebih banyak hal terkait pembangunan berkelanjutan yang dapat diperjuangkan oleh anak muda di Indonesia.

Hampir setengah dari emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari deforestasi dan alih fungsi lahan, yang merupakan hasil konversi hutan tropis dan lahan gambut yang kaya akan karbon menjadi lahan perkebunan dan pertanian. Pemanfaatan energi juga menyumbang 35 persen terhadap emisi gas rumah kaca nasional, dengan pemanfaatan energi untuk transportasi menjadi penyumbang utama di wilayah perkotaan. Faktor penting lainnya, namun seringkali terabaikan, dalam perubahan iklim adalah kehilangan dan pemborosan pangan (food loss and waste). Penelitian WRI menunjukkan bahwa jika kehilangan dan pemborosan pangan dianggap sebagai suatu negara, maka ia akan menjadi negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia. Sangat memprihatinkan melihat banyaknya makanan yang terbuang sedangkan jutaan warga Indonesia tidak mampu membawa pulang makanan untuk keluarganya.

Saat ini, ketika stabilitas iklim sedang dipertaruhkan, banyak yang dapat ditawarkan oleh anak-anak muda untuk meningkatkan pengetahuan, mendorong gaya hidup berkelanjutan, melindungi alam, serta menerapkan proyek adaptasi dan mitigasi. Banyak yang telah menyebutkan peran penting para pemuda karena kekuatan dan potensi demografis mereka, tetapi apa yang dapat dilakukan masyarakat luas, termasuk pembuat kebijakan, untuk menciptakan pemberdayaan yang berarti bagi pemuda?

Ada beberapa aturan yang perlu dicermati untuk melakukan pelibatan yang signifikan.

Yang pertama adalah kita harus mau berinvestasi pada sumber daya, baik dana maupun waktu, dan menciptakan kegiatan yang bermakna. Salah satu contoh gerakan ini adalah gerakan Hutan itu Indonesia yang diprakarsai oleh sekelompok anak muda yang berupaya membuat hutan menjadi bagian dari identitas nasional dan mendekatkan hutan dengan kehidupan sehari-hari setiap orang, mulai dari berbagi cerita tentang hutan, memperkenalkan produk hasil hutan, dan yang baru-baru ini dilakukan adalah mengkampanyekan pesan mereka melalui konser musik dengan judul Musika Foresta. Kini, gerakan ini melibatkan musisi ternama seperti Glenn Fredly, dan jumlah anak muda pendukungnya semakin meningkat.

Yang kedua adalah kita harus menciptakan suatu rasa sadar akan tujuan bersama. Dalam pidatonya yang disampaikan saat upacara kelulusan mahasiswa Universitas Harvard, Mark Zuckerberg, pendiri dan CEO Facebook, mengatakan bahwa pada umumnya pemuda sudah memiliki rasa kesadaran akan tujuan, namun tantangannya adalah “menciptakan dunia dimana setiap orang memiliki kesadaran akan tujuan. Kesadaran akan tujuan adalah suatu rasa bahwa kita merupakan bagian dari sesuatu yang lebih besar dibanding diri kita sendiri, bahwa kita dibutuhkan, bahwa kita perlu melakukan sesuatu untuk masa depan yang lebih baik.” Tahun ini, pelatihan pemuda yang diadakan oleh WRI Indonesia bertujuan menanam rasa sadar akan tujuan tersebut dengan memperkenalkan pembangunan berkelanjutan pada peserta dan melatih pemuda mengenai penelitian dan penyampaian pesan. Terlebih lagi, peserta mungkin merasa bahwa mereka berada di antara rekan sepemikiran yang sama-sama memiliki kepentingan terhadap pembangunan berkeanjutan, dan ini bisa menjadi cara kita untuk menciptakan rasa sadar akan tujuan, yaitu dengan membangun suatu komunitas.

Ketiga, kita harus menjadikan anak muda sebagai subjek, tidak hanya sebagai objek. Program seperti Hutan itu Indonesia dan pelatihan pemuda mengenai lingkungan seyogyanya menjadi pemicu untuk menggerakkan bola salju ke depannya. Agar suatu gerakan dapat terus tumbuh dan berkelanjutan, gerakan tersebut harus tumbuh di dalam diri pemuda itu sendiri. Gerakan besar seringkali tumbuh dari krisis, seperti peristiwa Pipa Jalur Minyak Dakota di Amerika Serikat dan gerakan reformasi 1998 di Indonesia, tetapi kita tidak harus menunggu sampai timbul suatu krisis untuk membuat keterlibatan pemuda terus berlanjut.

Program pelibatan pemuda harus diarusutamakan dan tidak hanya ad hoc. Sebagai contoh, pembuat kebijakan dapat memperlakukan pemuda sebagai subjek dengan cara melibatkan beberapa kelompok pemuda secara aktif dalam tahapan awal penyusunan kebijakan terkait lingkungan dan tidak hanya membuat pemuda sebagai mesin penyebar materi.

Terakhir, seperti Malala Yousafzai, seorang aktivis penerima hadiah Nobel Perdamaian berusia 19 tahun dari Pakistan, yang memicu gerakan internasional untuk pendidikan yang adil dan pemberdayaan pemuda, kita mungkin membutuhkan beberapa puluh orang Malala lainnya untuk bidang lingkungan karena bidang ini sangat membutuhkan banyak perhatian. Untuk saat ini, mari terus menyebarkan benih bagi pemuda seperti Krishna untuk membangun rasa sadar akan tujuan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.