The Jakarta Declaration aims to strengthen rights to environmental information in Indonesia, China, Japan, Mongolia, the Philippines, and Thailand. Photo credit: Luca Bruno/Flickr
Meskipun usaha untuk melindungi hutan gambut Tripa akan terus berlanjut, kasus ini menunjukkan pesan yang positif bagi hutan-hutan di Indonesia. Sumber foto: CIFOR/Flickr

Awal tahun ini, pengadilan di Indonesia menemukan perusahaan kelapa sawit PT Kallista Alam bersalah karena secara ilegal mengeringkan dan membakar sebagian besar hutan gambut Tripa di provinsi Aceh. Hutan gambut tersebut merupakan bagian dari ekosistem Leuser, habitat bersama terakhir dari harimau, gajah, badak, dan orangutan Sumatra. Pengadilan menemukan bahwa perusahaan bekerja di bawah izin ilegal dan memberikan denda 114.3 miliar rupiah (US$ 9.4 juta) dalam bentuk kompensasi serta 251.7 miliar rupiah (US$ 20.8 juta) untuk restorasi wilayah tersebut.

Keputusan ini merupakan kemenangan kedua bagi NGO Indonesia WALHI dan Kementrian Kehutanan Indonesia, yang telah mempertanyakan hak PT Kallista Alam untuk membuka 4.000 are hutan gambut di Tripa dalam dua kesempatan yang berbeda sejak 2012. Kemenangan pertama datang dari kasus WALHI, ketika mantan gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, mengaku bahwa dia salah secara moral dalam memberikan izin ilegal kepada PT Kallista Alam. Pihak-pihak yang mengkritisi kebijakan tersebut mengatakan bahwa konsesi yang diberikan melanggar moratorium hutan Indonesia.

Meskipun perjuangan untuk melindungi hutan Tripa akan terus berlangsung, kasus ini menggambarkan pesan yang positif untuk hutan di Indonesia dan di seluruh dunia. Terdapat beberapa mekanisme dan institusi – terlepas dari bagaimana mereka kadang kala dapat diakali – yang dapat digunakan untuk menghukum oknum-oknum pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam pemberian izin penggunaan lahan.

Menghadapi Tantangan Akuntabilitas

Kebijakan-kebijakan dilematis mengenai penggunaan lahan – di mana lahan harus dikembangkan, dan oleh siapa – dibuat di setiap negara di seluruh dunia. Dalam sebuah rangkuman laporan,  Using Accountability: Why REDD+ Needs To Be More Than An Economic Incentive, WRI mengamati kasus-kasus di Brazil dan Indonesia di mana masyarakat berpartisipasi dalam, dan pada akhirnya mengubah, kebijakan penggunaan lahan pemerintah. Menyangkut kasus Kallista Alam, masyarakat menggunakan instrumen-instrumen terpercaya (laporan dan media), insentif ekonomi, dan, pada akhirnya, tuntutan hukum untuk mengubah kebijakan penggunaan lahan yang dibuat melalui proses perizinan, sertifikasi, dan perencanaan.

Tujuan WRI adalah berusaha untuk memahami apa yang dapat dipelajari oleh para perancang dan pelaksana kebijakan REDD+ dari kasus-kasus tersebut. Jika tujuan REDD+ (mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) benar-benar ingin dicapai, dan bukan hanya sebuah training yang melibatkan pembentukan kebijakan penggunaan lahan dan pengelolaan lingkungan, sangatlah penting untuk memahami bagaimana REDD+ dapat mendukung instrumen-instrumen yang dapat mengatasi berbagai tantangan akuntabilitas tersebut. Sementara laporan mencatat beberapa pelajaran yang dapat diambil, poin utama yang ditunjukkan oleh penelitian kami ada sebagai berikut: Agar terjadi perubahan dan perkembangan dalam penggunaan lahan yang mencerminkan keberpihakkan kepada lingkungan – termasuk REDD+ - sebuah budaya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas harus dipromosikan. Merupakan tanggung jawab mereka yang merancang dan menerapkan program-program REDD+ untuk berpikir dengan seksama bagaimana menjamin akuntabilitas meningkat melalui program-program REDD+.

Seperti yang ditunjukkan oleh laporan, ini bukanlah proses yang mudah. Terdapat instrumen-instrumen yang berbeda, kebutuhan yang berbeda, dan setiap negara akan memiliki tantangan mereka masing-masing. Namun demikian, tanpa menjamin pihak-pihak yang bersalah dapat dihukum, REDD+ hanyalah kata-kata di atas kertas.

Perjuangan Berlanjut

Di hutan Tripa, perjuangan belumlah selesai. PT Kallista Alam mengaku akan mengajukan banding. Terlebih lagi, hutan-hutan di Aceh berada dalam ancaman yang lebih besar akibat Undang-Undang rencana tata ruang dan wilayah baru yang dikeluarkan oleh DPRD Aceh pada 27 Desember 2013, dan ditandatangani oleh gubernur Zaini. Undang-Undang ini mengurangi target minimal tutupan hutan dari 68 persen, seperti yang diajukan oleh gubernur Irwandi, menjadi 45 persen – tutupan hutan saat ini 55 persen. Para advokat untuk perlindungan ekosistem Leuser sedang berusaha meyakinkan gubernur baru Aceh untuk mengajukan wilayah tersebut kepada UNESCO sebagai World Heritage Site, dengan harapan wilayah tersebut dapat dilindungi dari pengembangan lebih lanjut dengan pengawasan masyarakat internasional.

Sementara perjuangan terus berlanjut untuk melindungi hutan di seluruh dunia, pihak-pihak yang melaksanakan REDD+ harus membentuk dan memperkuat institusi dan mekanisme akuntabilitas saat mereka bekerja untuk mengurangi emisi dari deforestasi. Meskipun REDD+ sudah memiliki mekanisme akuntabilitas internasional, kasus di Tripa dan kasus-kasus lainnya menunjukkan bahwa mekanisme tersebut tidak akan cukup untuk mencapai tujuan REDD+. Untuk benar-benar mengubah kebijakan penggunaan lahan yang berdampak kepada hutan, instrumen-instrumen akuntabilitas yang kuat di tingkat nasional dan daerah harus tersedia.

Dalam beberapa tahun kedepan, Governance of Forest Initiative WRI akan melihat lebih dekat apa yang dimaksud dengan akuntabilitas dalam konteks REDD+. Setiap kegiatan yang dapat meningkatkan penerapan REDD+ dan proses penggunaan lahan lainnya akan menjadi sebuah langkah menuju masa depan yang berkelanjutan bagi hutan.