Artikel ini diterbitkan oleh The Jakarta Post pada Sabtu, 16 Oktober 2021.

Sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung mengonsumsi dan bergantung pada makanan homogen, atau makanan pokok tunggal. Kecenderungan ini berdampak terhadap kebijakan pangan pemerintah. Sebagai contoh, pemerintah pusat mengimpor 41.000 ton beras pada bulan Juli 2021. Tahun lalu, Pemprov DKI Jakarta mengimpor 130.000 ton gula.

Di Papua, pemerintah daerah biasanya merasa khawatir bahwa produksi beras lokal tidak memadai karena kurang dari 20 persen warga Papua mengonsumsi sagu dan umbi-umbian; yang secara tradisional merupakan sumber karbohidrat lokal di daerah tersebut.

Di sisi lain, pandemi COVID-19 menyoroti rapuhnya sistem pangan dan tata guna lahan Indonesia. Walaupun pemerintah, seiring dengan berjalannya waktu, telah menerapkan beragam jenis kebijakan di berbagai daerah, dari tingkat pusat hingga provinsi, dengan pembatasan darurat kegiatan masyarakat, gangguan yang meluas terhadap rantai pasokan telah berdampak buruk terhadap pasokan makanan, pasar, dan mata pencaharian.

Di tingkat global, data yang dikeluarkan oleh United Nations Development Program di tahun 2020 memproyeksikan bahwa 780 juta penduduk dunia akan kelaparan dalam satu tahun ke depan, meningkat secara signifikan dari 690 juta penduduk saat ini. Pandemi ini juga diperkirakan akan berdampak negatif terhadap anak-anak, kasus stunting dan wasting diperkirakan akan mencapai jutaan dalam dua tahun ke depan, menghapuskan perkembangan yang dicapai di tingkat global dalam mengurangi kekurangan gizi selama 10 tahun terakhir.

Dampak ekonomi dari pandemi dapat dirasakan di seluruh Indonesia dalam bentuk pendapatan yang hilang. Oleh karena itu, survei online yang dilakukan oleh J-PAL dan mitra pada tahun 2020 menemukan bahwa lebih dari sepertiga rumah tangga yang disurvei mengurangi asupan makanan mereka karena masalah keuangan, kondisi ini membuat rumah tangga tersebut rentan terhadap kekurangan gizi. Dengan mempertimbangkan proyeksi ini, kita sebaiknya mulai memikirkan apakah apakah dampak pandemi dapat dikurangi jika masyarakat lebih banyak mengonsumsi makanan lokal.

Indonesia telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk beralih ke pola makan yang lebih beragam dan berkelanjutan serta lebih sehat. Ini diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan upaya negara untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Tujuan Dua untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan.

Komitmen lain untuk memperkuat implementasi UU Pangan telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang menjabarkan strategi untuk menjalankan pola makan yang ideal dan seimbang, khususnya untuk meningkatkan konsumsi makanan yang lebih bergizi dan memprioritaskan produk pangan lokal.

Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia diberkahi dengan tanah yang subur dan keanekaragaman hayati yang tinggi; dua aspek yang mendukung produksi pangan lokal yang kuat dan nantinya berkontribusi terhadap ketahanan pangan. Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 389 jenis buah-buahan, 77 jenis sumber protein dan 228 jenis sayuran.

Sayangnya, Indonesia hanya mengandalkan beras dan gandum sebagai sumber karbohidrat. Ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan sistem pangan kita beralih dari makanan lokal ke konvergensi pola makan nasional, sebuah konsep di mana orang cenderung mengonsumsi makanan yang homogen, terlepas dari ketersediaan makanan lokal lainnya.

Oleh karena itu, penelitian menunjukkan bahwa kurangnya keragaman pangan mempengaruhi ketahanan pangan nasional.

Peningkatan produksi dan konsumsi pangan lokal akan mendukung rencana pemerintah untuk mengubah sistem pangan agar menjadi lebih berkelanjutan. Dari perspektif lingkungan, pola makan berbasis makanan lokal berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), mengurangi kehilangan pangan saat pengangkutan dan mengurangi penggunaan kemasan oleh pasar ritel karena sumber makanan lebih dekat, semua upaya ini akan memperpendek rantai pasokan makanan.

Dari sudut pandang keberlanjutan sosioekonomi, ini mendorong rasa kepemilikan terhadap warisan lokal dan identitas lokal, yang dapat mempersatukan masyarakat. Pembentukan pasar lokal akan mendekatkan produsen dan konsumen serta menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan di daerah pedesaan.

Dari perspektif kesehatan, rantai pasokan yang lebih pendek akan mengurangi pembusukan makanan dan meningkatkan akses pedesaan ke makanan yang sehat dan beragam. Oleh karena itu, lebih banyak upaya harus dilakukan untuk menghidupkan kembali pangan lokal Indonesia agar dapat mewujudkan sistem pangan yang berkelanjutan. Pemerintah harus berfokus pada tiga strategi: meningkatkan rantai pasokan, produktivitas, serta data dan teknologi. Pertama, memperpendek rantai pasok pangan antara petani dan konsumen dengan mengintegrasikan platform digital online. Ini terlihat jelas selama pandemi, karena rantai pasokan makanan Indonesia bergulat dengan pembatasan pengiriman barang ditambah dengan logistik yang buruk. Sektor e-commerce dapat memainkan peran kunci dalam memastikan kelancaran distribusi makanan antara petani dan konsumen, menurunkan harga pangan, sekaligus meningkatkan kualitas makanan bagi kedua belah pihak.

Beberapa platform e-commerce agroteknologi di Indonesia seperti Tanihub, SayurBox, Aruna dan Jala mendorong para petani untuk memperluas kegiatan bisnis mereka secara online. OkeJeck, sebuah inisiatif lokal di Papua, adalah contoh yang baik di mana platform online membantu pemasaran produk makanan lokal di kawasan hutan. Selain meningkatkan akses produsen lokal ke pasar, distribusi surplus makanan dari pasar sekitar juga dapat dilakukan secara lebih luas untuk mengurangi sampah makanan.

Kedua, meningkatkan produktivitas hasil melalui pertanian regeneratif. Indonesia perlu menerapkan pertanian regeneratif agar dapat menjalankan praktik pertanian yang lebih berkelanjutan. Pertanian regeneratif berperan penting dalam mendukung sistem pertanian yang lebih berkelanjutan melalui penggunaan pupuk organik, tata kelola tanah dan ternak yang secara bertahap meningkatkan nutrisi produk pangan dan menurunkan emisi GRK. Idealnya, pertanian regeneratif dapat menggantikan produksi pertanian saat ini, yang bergantung pada pupuk kimia, penggunaan air yang berlebihan, dan benih hibrida.

Studi yang dilakukan oleh Koalisi Pangan dan Tata Guna Lahan (FOLU)pada tahun 2021 menyebutkan lima manfaat potensial yang dapat diperoleh dari penerapan pertanian regeneratif, lingkungan, dengan meningkatkan kesehatan tanah dan penyerapan karbon; kesehatan, dengan meningkatkan kualitas udara; inklusi, dengan mengembangkan produk pertanian yang lebih beragam dan menguntungkan; ketahanan pangan, dengan meningkatkan produktivitas; dan ekonomi, dengan meningkatkan keuntungan.

Di Indonesia, implementasi pertanian regeneratif harus dimulai dengan pendidikan dan peningkatan kapasitas, dari pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, kepada petani lokal, kemudian menggabungkannya dengan penyuluhan pertanian yang partisipatif. Ketiga, memanfaatkan teknologi dan data. Pola makan pangan lokal yang berkelanjutan memerlukan sistem pangan lokal yang disesuaikan dengan karakteristik geografis, demografi, dan budaya Indonesia yang bervariasi. Dashboard sistem pangan di tingkat kabupaten tidak hanya akan menyediakan data yang akurat bagi para pembuat kebijakan lokal, tetapi juga memberikan gambaran umum tentang sistem pangan mereka (dan kabupaten tetangga). Selain itu, masalah yang mungkin muncul dan sinergi dapat diidentifikasi.

Secara umum, dashboard ini akan memberikan gambaran lengkap tentang sistem pangan suatu negara dan membantu pembuat kebijakan dalam menetapkan skala prioritas untuk meningkatkan gizi dan kesehatan. Dengan pengembangan yang tepat, platform di tingkat daerah akan menjadi tool yang ampuh untuk membantu Indonesia menciptakan sistem pangan yang berkelanjutan dan tangguh.