Tingkat mobilitas Jakarta dan pinggiran kota terus meningkat. Di Jakarta Raya, dari angka perjalanan yang mencapa 47,5 juta perjalanan/hari di tahun 2015, hanya 2 persen menggunakan jasa transportasi umum. Persentase penumpang transportasi umum juga rendah, sekitar 19,8 persen di Jakarta dan 20 persen di pinggiran kota. Hal ini mengakibatkan terjadinya kemacetan parah di Jakarta Raya yang membawa dampak kerugian sebesar Rp100 triliun di tahun 2017.. Salah satu solusi pemerintah untuk mengatasi masalah kemacetan adalah dengan membangun Moda Raya Terpadu (Mass Rapid Transit; MRT) dan Light Rail Transit (LRT). Sayangnya, MRT/LRT saja tidak cukup untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Karena itu, dibutuhkan kebijakan tambahan untuk mengatasi masalah keterbatasan jaringan transportasi, pemanfaatan lahan yang meluas dan mahalnya infrastruktur.

Pertama, kapasitas MRT/LRT tetap jauh di bawah kapasitas penuh dengan target penumpang sebanyak 173.000 dan 360.000 penumpang per hari dalam pembangunan MRT/LRT (fase 1). Jumlah ini setara dengan kapasitas tambahan transportasi umum sebesar 1 persen di Jakarta Raya. Bahkan mungkin kapasitas aslinya akan lebih kecil, mengingat sebagian besar penumpang akan beralih dari transportasi umum yang kini ada. Sama halnya dengan Bus Rapid Transit (BRT) Jakarta. Sekitar 71,9 persen penggunanya adalah peralihan dari penumpang bus konvensional. Masalah yang sama juga mungkin akan terjadi pada MRT/LRT, terutama dalam mengakomodasi jumlah penumpang yang lebih besar dan menarik minat pengendara pribadi.

Kedua, pemanfaatan lahan yang meluas dengan akses transportasi umum dan cakupan jaringan yang terbatas. Pesatnya pertumbuhan populasi di Jakarta mengakibatkan pemanfaatan lahan meluas ke pinggiran kota, yang cenderung rendah biaya dan lebih berorientasi pada penggunaan mobil pribadi. Kondisi ini diperparah dengan minimnya akses dan cakupan jaringan di wilayah tersebut. Sebuah penelitian membuktikan bahwa hanya 44 persen warga Jakarta tinggal di dekat terminal transit. Untuk warga pinggiran kota, jumlahnya bahkan lebih rendah, di angka 16 persen. Bukti empiris menunjukkan bahwa transportasi umum yang dikembangkan sebagai jaringan terpadu dapat menarik volume penumpang yang lebih besar karena dapat mengakomodasi berbagai tujuan tanpa harus berpindah-pindah dibandingkan rute tunggal yang ada selama ini. Rencana pengembangan jaringan MRT/LRT memang diharapkan mampu meningkatkan cakupan area, namun solusi ini tidak menjawab masalah keterbatasan ruang sementara perluasan jaringan membutuhkan biaya besar. Integrasi dengan jaringan transportasi umum yang ada mungkin bisa menjawab permasalahan ini.

Integrasi Transportasi Umum

 

<p>Fig: Perubahan Penggunaan Lahan di Jakarta Raya pada 1983 – 2009.</p>

 

Fig: Land Use Change in Greater Jakarta in 1983 - 2009.

 

<p>. Fig: Jaringan Transportasi Umum Wilayah Zurich.</p>

 

Fig: Jaringan Transportasi Umum Wilayah Zurich.

Contoh integrasi sistem transportasi umum yang maju dapat ditemukan di Zurich, di mana sebuah jaringan rel radial dan jalur trem diintegrasikan dengan jaringan jalur bus yang lebih luas jangkauannya. Model integrasi semacam ini juga dapat diimplementasikan di Jakarta. Jika MRT/LRT dapat diintegrasikan dengan BRT, jangkauan jaringan menjadi lebih luas dengan kapasitas yang lebih besar dan biaya yang lebih rendah. Namun pertama-tama, pemerintah harus mempercepat perluasan jangkauan BRT menjadi 47 koridor sesuai rencana. Tiga belas koridor BRT yang ada sejak tahun 2004 di Jakarta saat ini tidak cukup untuk mengakomodasi 380.000 penumpang per hari di tahun 2016.

  MRT LRT BRT
Biaya Konstruksi (Rp/Km) 767 miliar – 1,24 triliun 500 – 600 miliar US$1 juta atau setara dengan Rp12,4 miliar
Panjang Koridor (Km) 116.5(Direncanakan) 81.6(Direncanakan) 221.6(Telah ada)

Integrasi transportasi umum membutuhkan infrastruktur yang baik. Untuk itu, perlu dibangun terminal multifungsi sebagai titik perpindahan antar armada dan antar jalur. Kunci sukses dari sistem integrasi ini adalah lokasi terminal multifungsi yang dapat mengakomodasi tingginya populasi dan ketersediaan lahan, salah satunya untuk parkir. Menilik kebutuhan akan lahan yang mampu mengakomodasi kepadatan populasi (lebih dari 26.000 orang/Km2), setidaknya 2 moda transportasi dan ketersediaan lahan parkir, setidaknya ada 4 lokasi yang dapat dimanfaatkan sebagai terminal multifungsi.

Terminal multifungsi seharusnya dapat memberikan keleluasaan akses penumpang menuju beberapa destinasi. Akses ini akan tersedia jika rute BRT yang tersedia sudah lebih banyak. Infrastruktur terminal juga dapat ditingkatkan dengan platform tambahan dan jalur ganda untuk BRT demi mempermudah dan mempercepat proses naik dan pindah moda transportasi. Studi di Bogota (2013) menunjukkan bahwa kapasitas BRT dapat ditingkatkan melampaui bus konvensional melalui fasilitas canggih seperti platform dan jalur ganda serta fasilitas pre-payment di stasiun-stasiun BRT.

 

<p>.</p>

 

Opsi lain untuk integrasi MRT/LRT adalah dengan bus konvensional seperti Kopaja/MetroMini. Menurut peta BPTJ, kebanyakan rute BRT masih tumpang tindih dengan rute bus konvensional. Hal ini juga yang menjadi alasan penumpang bus konvensional beralih ke BRT. Mengubah rute bus konvensional dari area-area yang tidak terjangkau ke stasiun MRT/LRT dapat memperluas jangkauan wilayah. Pemanfaatan bus konvensional ini tentunya perlu diikuti dengan perbaikan kualitas dan pengelolaan yang memadai demi meningkatkan kenyamanan dan keamanan bus konvensional.

Menuju Kota Terpadu

Mengingat pentingnya perluasan jaringan transportasi umum, masalah ketersediaan ruang yang mendasarinya juga perlu diatasi. Pembangunan Jakarta sudah seharusnya mengarah pada pembangunan kota terpadu. Pemerintah harus berfokus pada upaya untuk menghentikan pemanfaatan lahan yang meluas dan berfokus pada isu kepadatan pemukiman di Jakarta dengan memperbanyak gedung dan rasio ruang lantai.

Studi menunjukkan bahwa di kota padat seperti Madrid, di mana kepadatan perkotaan 10 kali lebih tinggi dari Atlanta, emisi gas rumah kaca justru tercatat empat kali lebih rendah. Pencapaian ini merupakan dampak volume penggunaan angkutan umum yang jauh lebih tinggi. Dengan kepadatan yang lebih tinggi, potensi penumpang lebih terkonsentrasi sehingga investasi infrastruktur transportasi perkotaan dapat dilakukan. Saat ini, sekitar 70 persen wilayah Jakarta adalah pemukiman dengan kepadatan rendah. Oleh karena itu, densifikasi di Jakarta dapat dilakukan dan harus diintegrasikan dengan jaringan transportasi umum, tanpa melupakan persepsi budaya, standar bangunan dan sistem pendaftaran tanah yang lebih baik.

Konstruksi MRT/LRT semata tidak akan dapat menyelesaikan masalah ketersediaan ruang saat ini. Jakarta membutuhkan jaringan transportasi umum yang lebih luas dengan integrasi yang lebih baik. Perluasan jaringan transportasi umum dan pemanfaatan ruang yang lebih terpadu diharapkan dapat mengatasi masalah transportasi perkotaan Jakarta di masa mendatang.