
Mengoptimalkan Pemenuhan Gizi Anak dan Mencegah Sampah Pangan dari Program Makan Bergizi Gratis
Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program unggulan yang telah diperkenalkan oleh Presiden Prabowo Subianto sejak masa Pemilu. Program ini ditargetkan untuk ibu hamil, menyusui, dan balita, dan siswa sekolah. Bagi siswa sekolah, program MBG bertujuan untuk meningkatkan asupan nutrisi siswa, sehingga meningkatkan kualitas pembelajaran, mengurangi angka ketidakhadiran dan putus sekolah, serta meningkatkan kesehatan dan prestasi para siswa (Kemenkeu, 2024).
Berdasarkan tujuan tersebut, program MBG memberikan manfaat terutama bagi para siswa yang memiliki hambatan untuk mengakses makanan yang sehat dan bergizi seimbang karena kesulitan ekonomi keluarga. Namun, sejak dilaksanakan pada awal tahun ini, bermunculan isu terkait potensi makanan dan nutrisi yang terbuang akibat makanan yang tidak dihabiskan dan menjadi sampah.
Persoalan sampah makanan di Indonesia sebenarnya sudah berada di status yang mengkhawatirkan sejak sebelum program MBG. Studi Bappenas (2021) menunjukkan setiap orang di Indonesia, menghasilkan rata-rata timbulan sampah makanan sebesar 115-184 kg per tahun atau sekitar 0,32-0,53 kg per hari. Apabila kita telusuri perbandingan proporsi timbulan sampah dengan total produksi domestik, jenis makanan yang paling banyak terbuang adalah sayur-sayuran, buah-buahan, ikan, dan daging. Jumlah sampah pangan yang terbuang tersebut, jika dicegah, diperkirakan dapat memenuhi nutrisi bagi 61-125 juta orang atau hampir mencapai 30% dari populasi Indonesia.

Sebulan berjalannya program MBG, terlihat adanya potensi tambahan sampah pangan yang signifikan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Dari sisi konsumsi, potensi sisa makanan terjadi karena makanan bergizi yang disajikan yang cenderung berbeda dengan yang biasa dikonsumsi siswa di rumah. Sebagai contoh, konsumsi buah dan sayur sesuai proporsi yang dibutuhkan mungkin tidak lazim di beberapa rumah tangga. Temuan analisis sistematik dari publikasi (Rachmi et al., 2020) menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah siswa remaja berusia 13-18 tahun belum mencukupi porsi minimum yang direkomendasikan Pedoman Gizi Seimbang.
Selain buah dan sayur, menu protein juga berpotensi terbuang karena perbedaan porsi dari kebiasaan konsumsi di rumah yang dipengaruhi kondisi ekonomi keluarga (Utami et al., 2017). Tidak semua siswa terbiasa mengonsumsi proporsi protein sesuai dengan yang disediakan oleh program MBG. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi cepat untuk mengurangi sisa makanan yang tidak terkonsumsi, sehingga program pemenuhan kebutuhan nutrisi demi mendorong prestasi siswa Indonesia dapat mencapai hasil yang optimal.
Edukasi tentang pola makan bergizi seimbang
Keluarga adalah penggerak utama dalam transisi menuju pola konsumsi yang lebih baik dan sehat, sebagaimana didorong oleh pemerintah melalui program #isipiringku dan Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman (B2SA). Sebagai pengambil keputusan terbesar, ibu berperan sebagai edukator, fasilitator, dan motivator yang memengaruhi pola makan anaknya (Afif & Sumarmi, 2017), sedangkan ayah memberikan contoh bagi keluarga melalui kebiasaan makannya (Litchford et. al., 2020). Karena itu, pendidikan mengenai pola makan sehat perlu diberikan kepada keluarga guna mengoptimalkan program MBG.
Pemerintah pusat, sekolah, dan dapur MBG dapat memanfaatkan berbagai materi yang telah diterbitkan oleh lembaga terpercaya seperti Kementerian Kesehatan, Organisasi Pangan dan Agrikultur Dunia (FAO), Koalisi Sistem Pangan Lestari, dan lainnya. Pada Januari 2023, Koalisi Sistem Pangan Lestari menerbitkan Seri Buklet: Berpikir Sistem untuk Sistem Pangan Berkelanjutan yang salah satunya membahas topik pola makan sehat. Materi tersebut dapat menjadi panduan awal bagi keluarga untuk memulai pola makan yang sehat, bergizi, seimbang, dan beragam. Selain itu, peningkatan literasi dan edukasi kepada keluarga juga dapat ditingkatkan secara signifikan melalui berbagai media edukasi baik video, konten digital, atau iklan (Hasan et al., 2024).
Selain dari keluarga, para siswa juga perlu mendapatkan edukasi tentang pola makan bergizi seimbang. Edukasi dapat menggunakan empat prinsip utama dalam Komunikasi Perubahan Sosial dan Perilaku (Social Behavior Change Communication). Keempat prinsip tersebut adalah memiliki tujuan yang jelas, pesan yang didesain spesifik/khusus, menggunakan komunikasi dua arah, serta sistem pengukuran yang tepat (UNICEF, n.d). Edukasi dapat menggunakan berbagai metode yang dekat dengan siswa, seperti program animasi di media sosial juga aktivitas interaktif di ruang-ruang sosial, seperti sekolah, taman, dan pusat pembelanjaan.
Belajar dari program serupa
Penelitian terhadap 26 sekolah di Italia yang menyajikan makanan bagi siswanya menemukan bahwa jumlah sayur yang terbuang berkurang ketika sayur disajikan sebelum makanan lainnya (Ptruzzelli et al., 2025). Penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa banyaknya sayuran yang terbuang dipengaruhi oleh jenis sayur yang disajikan hari itu. Selain itu, sayur yang tidak matang, terlalu dingin, dan terlalu berminyak juga memengaruhi makanan yang terbuang sehingga cara memasak juga penting diperhatikan (Nguyen et al., 2023). Untuk mengevaluasi makanan yang terbuang dalam program MBG di Indonesia, telah tersedia Metode Baku Perhitungan Susut dan Sisa Pangan, sebuah metode dan alat penghitungan yang dikembangkan oleh Badan Pangan Nasional, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, KSPL, Garda Pangan, dan Parongpong RAW Lab.
Selain itu, program makan untuk siswa di Brasil menuai banyak respons positif karena berhasil menyediakan akses makan bernutrisi, membentuk pola makan yang baik (Locatelli et al., 2018), serta meningkatkan konsumsi pangan lokal, sehingga mendukung perekonomian lokal berkembang (Chatterjee, 2016). Berkaca dari contoh tersebut, program MBG perlu mengoptimalkan penggunaan pangan lokal. Selain menyederhanakan rantai distribusi, pemanfaatan pangan lokal dalam program MBG juga dapat meningkatkan akses pangan sehat yang terjangkau, meningkatkan perekonomian daerah, serta mengurangi sampah makanan, khususnya sayur dan buah yang mudah busuk.
Program MBG memiliki tujuan yang sangat baik, tetapi berpotensi menimbulkan masalah lain. Tanpa disertai dengan program edukasi yang tepat, jumlah timbulan sampah makanan dari siswa serta makanan yang busuk bisa meningkat. Oleh karena itu, peran orang tua, sekolah, dan pemangku kebijakan sangat dibutuhkan untuk mengintegrasikan pola makan sehat di dalam kehidupan sehari-hari, serta untuk mengedukasi konsumsi yang makanan sehat dan seimbang. Selain itu, implementasi program MBG juga perlu dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas penggunaan anggaran dalam mencapai peningkatan asupan nutrisi yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman.