Sebagai negara yang memiliki pengaruh besar di kawasan Asia, Tiongkok baru-baru ini menawarkan paradigma pembangunan baru dengan mendorong transformasi ekonomi ke arah yang lebih hijau. Salah satu upayanya diwujudkan dalam Belt and Road Initiative International Green Development Coalition (BRIGC) yang diprakarsai oleh Kementerian Ekologi dan Lingkungan (MEE) Republik Rakyat Tiongkok bersama sejumlah mitra internasional pada tahun 2019.

BRIGC bertujuan untuk merespons urgensi peningkatan implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2030 dan mendorong pemenuhan target Perjanjian Paris untuk negara-negara peserta Belt and Road Initiative (BRI). Adapun strateginya dengan membuka platform dialog kebijakan, berbagi pengetahuan hingga transfer teknologi hijau yang dapat dimanfaatkan negara peserta BRI.

Indonesia sendiri merupakan negara peserta BRI melalui penandatanganan Nota Kesepahaman bersama Tiongkok sejak 2018. Lebih dari itu, Tiongkok merupakan mitra dagang Indonesia yang menempati posisi pertama sebagai negara tujuan ekspor nonmigas Tanah Air. Sehingga, inisiatif BRIGC akan berpengaruh pada posisi strategis Indonesia dalam rantai pasok global khususnya kepada Tiongkok.

Mengenal GCSCI, Indeks Berkelanjutan Tiongkok

BRIGC memiliki enam proyek riset. Salah satu yang sudah dijalankan adalah Green Commodity Supply Chain Index (GCSCI). Indeks ini sudah melalui tahap pertama, yaitu membangun sistem indikator dan metodologi penyusunan indeks. Di tahap kedua, masukan dan tanggapan dikumpulkan untuk penyempurnaan metodologi, lalu dilakukan uji coba indeks pada beberapa area, komoditas, dan pengguna terpilih. Kemudian di tahun 2023, GCSCI akan direkomendasikan ke pemerintah Tiongkok.

GCSCI terbentuk untuk mengatasi permasalahan ketidakamanan dan instabilitas jangka panjang dalam rantai pasok komoditas global akibat gangguan pasokan dan fluktuasi harga. Tak hanya itu, praktik pembangunan ekonomi dan bisnis yang tidak berkelanjutan juga memunculkan sejumlah risiko rantai pasok.

Sejumlah risiko tersebut berada pada lima area yaitu (1) operasional seperti biaya komoditas yang tinggi, (2) regulasi dan legal, (3) reputasi misalnya kampanye yang menyoroti praktik bisnis yang abai terhadap aspek keberlanjutan, (4) pasar, terutama yang berkaitan dengan ketidakmampuan bisnis memenuhi permintaan produk-produk berkelanjutan, serta (5) keuangan seperti persyaratan kredensial keberlanjutan dari institusi perbankan.

Selain itu, GCSCI berfokus pada komoditas lunak yang mencakup produk hasil pertanian dan perhutanan, namun tidak menutup kemungkinan kedepannya akan mencakup komoditas keras hasil sektor pertambangan dan pengolahan.  

GCSCI Sebagai Indeks yang Ramah Pengguna 

Untuk mengenal lebih dalam, indeks ini didesain dengan sejumlah prinsip ramah pengguna. Pertama, penerapan GCSCI harus sederhana, mudah ditabulasi, dimengerti, dan diaplikasikan. Kedua, terfokus pada indikator lingkungan dan sosial. Ketiga, dapat diaplikasikan di masa kini dan menggunakan data yang aktual. Keempat, menghasilkan perbedaan antara entitas yang dinilai.

Kelima, berbasis nilai yang didasarkan pada hasil objektif di lapangan. Keenam, indeks diharapkan dapat mengirimkan sinyal tepat kepada pemerintah, bisnis, dan pelaku keuangan.

Selain itu, untuk mengukur tingkat risiko, GCSCI mengelompokkannya menjadi tiga kategorisasi. Ketiganya adalah risiko rendah (hijau), sedang (kuning), dan tinggi (merah). Kategorisasi ini berfokus untuk menilai kinerja lingkungan berdasarkan yurisdiksi—wilayah geografis atau politik tempat pengambilan keputusan di sumber komoditas tersebut.

Ketika suatu yurisdiksi-wilayah tergolong kategori resiko rendah, maka akan memperbesar peluang untuk menjadi area pasok atau investasi serta bentuk kerja sama perdagangan lainnya dari peserta BRI. Sedangkan, jika hasil pengukuran masuk dalam kategori resiko sedang atau tinggi, maka butuh proses lebih lanjut untuk meninjau indikator-indikator yang berkontribusi pada hasil penilaian tersebut.

Menghijaukan Rantai Pasok Komoditas Melalui Lima Indikator

Indeks GCSCI memiliki lima indikator yang mempertimbangkan aspek politik, bisnis, lingkungan, dan sosial. Suatu yurisdiksi akan dinilai kinerja lingkungannya berdasarkan masing-masing indikator. Kelima indikator tersebut mencakup ranah-ranah sebagai berikut:

1.     Forest loss atau hilangnya area hutan karena peralihan fungsi menjadi lahan agrikultur atau penebangan hutan untuk produksi kayu dan kertas.

Pentingnya indikator ini dapat dilihat dari empat risiko berbeda. Bagi risiko politik, mengurangi degradasi dan alih fungsi hutan dapat mendukung prioritas utama Perjanjian Paris tentang perubahan iklim serta Konvensi Keanekaragaman Hayati.

Dari segi bisnis, terlihat adanya komitmen dari perusahaan dalam menghilangkan deforestasi. Lalu dari segi sosial dan lingkungan, indikator ini dapat mencegah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dari alih fungsi hutan dan deforestasi.

2.     Water stress, rasio pemakaian air tawar terhadap tingkat ketersediaan air tawar di suatu yurisdiksi. Jika tingkat water stress rendah, ketersediaan air tawar jauh melebihi tingkat pemakaian di suatu wilayah yurisdiksi serta sebaliknya. Perhitungan ini penting untuk memastikan penarikan air tawar tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan pasokan yang tersedia.

Dari segi sosial politik, ketersediaan air bersih sangat penting bagi kesehatan dan higienitas masyarakat. Dari segi bisnis, pelaku usaha perlu mengenali risiko operasional mereka terkait water stress untuk memastikan ketersediaan air tawar di suatu yuridiksi. Sedangkan dari aspek lingkungan, tingkat water stress yang tinggi akan berpengaruh buruk pada ekosistem air di yurisdiksi tersebut.

3.     Yield Growth, berfokus melihat perbandingan hasil pertumbuhan komoditas, termasuk sektor pertanian, ternak dan kehutanan dengan pertumbuhan permintaan tahunan. Perhitungannya ini dilakukan per yurisdiksi dengan tujuannya memastikan hasil panen utama, ternak, dan kayu yang membentuk dasar komoditas lunak terus meningkat dari waktu ke waktu.

Dari sisi politik, yield growth akan memperlihatkan adanya efisiensi produk yang bisa mendukung kesejahteraan negara. Bagi bisnis, bertumbuhnya produktivitas suatu komoditas akan meningkatkan keuntungan perusahaan. Lalu, di sisi lingkungan, akan menguntungkan jika yield growth sama atau melebihi pertumbuhan permintaan.

4.     Risk of illegality, melihat sejauh mana rantai pasok komoditas lunak terdampak aktivitas ilegal seperti pembukaan lahan ilegal, kerja paksa, dan penyuapan. Perhitungan ini dapat digunakan sebagai proksi untuk risiko relatif korupsi serta kaitan dengan ilegalitas di negara pemasok komoditas.

Bagi bisnis, indikator ini dapat mencegah perusahaan menghadapi dampak buruk atas risiko hukum, reputasi, operasional, finansial, dan pasar. Adapun dari aspek lingkungan dan sosial, aktivitas ilegal menunjukkan tata kelola yang buruk dan dampak negatif pada kesejahteraan, keamanan, dan kehidupan masyarakat lokal.

5.     Human Development Index, menekankan pentingnya pendapatan dan kesejahteraan pekerja yang terlibat dalam keseluruhan proses produksi komoditas lunak.

Dari segi politik, risiko stabilitas politik akan mempengaruhi baik atau buruknya suatu kelompok masyarakat. Dari sisi sosial, peningkatan pemasukan, edukasi, dan kesehatan di suatu daerah penghasil komoditas jelas memberikan manfaat bagi penduduk daerah tersebut. Sedangkan dari kacamata bisnis, rantai pasok akan lebih stabil dan produktif ketika kesejahteraan petani meningkat. Sama halnya dari sisi lingkungan, indikator kesejahteraan masyarakat yang tinggi di tingkat provinsi berpotensi mengurangi dampak lingkungan, seperti tingkat deforestasi.

Selain GCSCI, para pemangku kepentingan bisnis hijau juga dapat mengadopsi sejumlah indeks keberlanjutan lain yang mencakup rantai pasok komoditas. Sejumlah indeks tersebut adalah Indeks Rantai Pasok Hijau Sektor Industri FECO, Indeks Keberlanjutan Pangan, Indeks CDP mengenai corporate sustainability, dan lainnya. 

Ketika indeks-indeks lain mengacu pada kriteria yang ditetapkan UNDP dan kebutuhan pasar Uni Eropa, GCSCI merefleksikan preferensi negara Asia, khususnya Tiongkok, terhadap komoditas lunak berkelanjutan, termasuk minyak sawit di dalamnya. Preferensi ini perlu menjadi catatan bagi Indonesia sebagai negara pengekspor minyak sawit utama Tiongkok, dan memastikannya selaras demi mendukung transisi menuju industri komoditas lunak yang lebih lestari.