Artikel ini awalnya dipublikasikan di The Jakarta Post.

Hujan mulai secara kerap jatuh di bumi Indonesia 26 Oktober silam, memadamkan sebagian besar kebakaran hutan dan lahan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan bahwa hingga pencatatan pada 28 Oktober 2015, sebanyak sekitar 2,6 juta hutan dan lahan terbakar antara 1 Februari hingga 28 Oktober, menghasilkan emisi yang mencapai 1,100 juta ton setara CO2.

KLHK dalam dokumen Forest Reference Emission Level (FREL) mengungkapkan bahwa pada periode 1990-2013, Indonesia telah mengeluarkan emisi karbon sebesar 593 juta ton setara CO2 setiap tahun. Angka tersebut merujuk pada total emisi dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi pada area gambut yang berhutan namun belum secara spesifik memperhitungkan kebakaran. Sehingga, rata-rata emisi per tahun yang dihasilkan dalam kurun waktu 23 tahun tersebut jauh lebih kecil dari emisi akibat kebakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 2015 ini saja.

Indonesia menggunakan berbagai referensi untuk menyusun Kontribusi Nasional yang Diniatkan (INDC), salah satunya adalah dokumen FREL tersebut. Walaupun demikian, karena keterbatasan waktu dan teknis, data emisi yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan tidak masuk dalam perhitungan emisi sebagai dasar INDC. Mengingat besarnya emisi yang dihasilkan dari kebakaran, INDC tentu perlu direvisi. Tetapi, apakah INDC dapat direvisi? Jika iya, kapan? Apa saja selain emisi kebakaran hutan dan lahan yang perlu ditinjau ulang di INDC Indonesia? Bagaimanakah substansi INDC Indonesia jika diteropong dari kacamata hasil perundingan iklim pada COP21 yang antara lain termuat dalam Perjanjian Paris?

Artikel 3 Perjanjian Paris menekankan bahwa struktur INDC bersifat universal untuk semua negara. Hal ini menunjukkan bahwa Perjanjian Paris tidak hanya merangkul negara-negara untuk berkomitmen menurunkan emisi, tetapi juga mempertegas trajektori emisi dunia di masa depan, tidak seperti perjanjian iklim sebelumnya yang tidak pernah dengan jelas menggambarkan proses jangka panjang pengurangan emisi global. Misalnya, Indonesia berjanji pada tahun 2009 untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dari level bisnis seperti biasa pads 2020, tetapi tidak diikuti dengan apa yang terjadi atau akan dilakukan setelah 2020. Perjanjian-perjanjian lainnya juga menyebutkan adanya kajian atas pelaksanaan target namun tidak dengan tegas menyebutkan bagaimana proses kajian dilakukan.

Perjanjian Paris menyebutkan adanya target menjaga kenaikan suhu bumi dibawah 2 derajat Celcius diatas tingkatan pra-industri. Perjanjian Paris juga mengajak negara-negara mengerahkan segenap usaha untuk membatasi kenaikan suhu bumi hanya 1,5 derajat Celcius diatas tingkatan pra-industri. Bahkan, disepakati pula bahwa semua negara menetapkan target jangka panjang berupa emisi netto nol dalam paruh kedua abad ini. Untuk memenuhi target jangka panjang tersebut, setiap negara harus memasukkan rencana aksi iklim nasionalnya (disebut Nationally Determined Contribution atau NDC) setiap lima tahun sejak 2020 dan memuat rencana aksi yang lebih ambisius dari rencana lima tahun sebelumnya.

Poin penting lainnya adalah pembentukan global stocktake, yaitu sebuah proses bagi negara-negara untuk menilai pelaksanaan aksi iklim mereka secara reguler. Proses ini dimungkinkan oleh adanya kesepakatan untuk menggunakan skema perhitungan (accounting atau measuring), pelaporan (reporting) dan pembuktian (verification) – atau yang dikenal dengan skema MRV—yang telah disinkronisasi secara global. Semua poin ini membedakan Perjanjian Paris dari perjanjian-perjanjian yang lain dan menjanjikan untuk dapat memenuhi target penurunan emisi dunia.

Negara-negara telah sepakat untuk meninjau ulang dan meningkatkan aksi iklimnya setiap lima tahun. Selain mengajukan NDC setiap lima tahun, artikel 14 Perjanjian Paris menyebutkan bahwa negara-negara sebaiknya menilai pelaksanaan aksi iklim dan melakukan pencatatan (stock-taking) setiap lima tahun. Pelaksanaan stock-taking dunia yang pertama akan dilaksanakan pada 2023, tetapi negara-negara telah sepakat untuk memulai prosesnya pada 2018 untuk meninjau ulang penurunan emisi dan memberi informasi untuk NDC tahun 2020.

Stock-taking Indonesia akan memasukkan emisi yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan gambut pada 2015, yang mana tidak dimasukkan dalam INDC, sehingga menghadirkan tantangan. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan Indonesia adalah menghitung ulang dengan cermat dan transparan reference emission level-nya seraya menyusun ulang rencana-rencana aksi iklim yang lebih kuat. Indonesia perlu mengembangkan skema MRV yang solid untuk dapat disinkronisasi dengan skema MRV global.

Pembiayaan adaptasi iklim telah menjadi bagian dari pembiayaan rendah karbon dan pembangunan berkelanjutan, dan risiko iklim akan menjadi norma dalam program dan anggaran lembaga-lembaga bantuan internasional. Artinya, Indonesia dapat memperoleh manfaat pembiayaan adaptasi iklim untuk mempercepat perbaikan tata kelola pemanfaatan hutan, lahan, dan sumberdaya alam lainya. Manfaat termasuk dapat pula menuntaskan isu-isu peningkatan produktivitas pekebun sawit kecil, pemanfaatan hutan untuk kehidupan masyarakat adat dan rehabilitasi lahan gambut.

Akan tetapi, siapkah lembaga pengelola dana iklim Indonesia untuk mendukung? Lembaga yang saat ini ada, Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) di bawah BAPPENAS belum menunjukkan kapabilitas untuk mendanai rencana aksi iklim secara masif. Lembaga yang akan dibentuk oleh Kementerian Keuangan untuk penanganan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) juga masih perlu membuktikan kemampuannya, dan masih belum jelas kapan pendiriannya.

Pertanda baik lainnya di adaptasi pembiayaan datang dari sektor energi. Segera setelah Perjanjian Paris diumumkan, nilai-nilai saham perusahaan energi terbarukan melambung naik. Ini adalah salah satu isyarat bahwa sektor pembiayaan mulai bergeser ke pembangunan rendah karbon dan berkelanjutan. Walaupun demikian, apakah Indonesia siap untuk meninjau ulang program listrik berdaya 35,000 MW yang saat ini didominasi oleh pembangkit listrik beremisi tinggi? Rencana aksi adaptasi di sektor energi harus dipercepat dan diperkuat sehingga ada insentif teknologi energi terbarukan yang makin terjangkau. Perjanjian iklim global ini menyediakan waktu yang cukup bagi Indonesia untuk menyiapkan pijakan kokoh menuju pelaksanaan NDC pada 2020. Para pemimpin Indonesia harus memanfaatkan semua peluang dan semangat kolaborasi global untuk memenuhi target penurunan emisinya.