Artikel ini telah diterbitkan sebelumnya di The Jakarta Post.

“Kehidupan kita dikorbankan untuk kemakmuran segelintir orang. Di balik kemewahan yang mereka nikmati, banyak yang harus menderita. Jika kita ingin mengakhiri krisis iklim, kita harus memperlakukannya sebagai krisis yang sesungguhnya karena kekuatan sebenarnya ada di tangan kita.”

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Greta Thunberg, remaja 16 tahun asal Swedia yang menggagas demonstrasi iklim bertajuk Fridays for Future, sebuah gerakan bolos sekolah di hari Jumat untuk berunjuk rasa agar pemerintah segera bertindak mengatasi perubahan iklim. Meskipun menuai banyak kritik, pergerakan ini menunjukkan bahwa perubahan iklim telah berada di ambang bahaya.

Saat ini, demonstrasi telah berlangsung di lebih dari 71 negara dan 700 lokasi. Ribuan siswa turun ke jalan, mulai dari Swedia, Britania Raya hingga Korea Selatan. Bagaimana dengan Indonesia?

Greenpeace menyatakan bahwa hanya segelintir siswa Indonesia yang turun ke jalan. Mungkin ada beberapa alasan: mereka tidak tahu mengenai pergerakan tersebut, tahu tetapi beranggapan bahwa sekolah lebih penting atau, mungkin, memang tidak peduli.

Mengapa kita harus ikut berdemonstrasi untuk perubahan iklim?

Indonesia merupakan penghasil emisi terbesar ke-4 di dunia. Hal ini seharusnya menjadi perhatian kita. Indonesia memiliki hutan terbesar ketiga di dunia, yang menyediakan udara bersih, air bersih, makanan, komoditas, mencegah bencana banjir dan tanah longsor, sekaligus menyimpan karbon – tetapi sayangnya deforestasi juga terjadi begitu cepat.

Karena penggunaan batu bara secara masif untuk elektrifikasi dan energi, banyak masyarakat yang mengidap penyakit akibat polusi udara. Minyak kelapa sawit dalam produk yang kita gunakan sehari-hari mulai dari sabun hingga selai juga sering kali dihasilkan melalui proses produksi yang tidak ramah lingkungan.

Meskipun kenyataannya demikian, masih banyak yang mengabaikan pentingnya langkah pelestarian sumber daya alam. Mereka beranggapan bahwa penerapan aksi pelestarian bertolak belakang dengan pertumbuhan ekonomi. Sebuah studi terbaru dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) mengenai pembangunan rendah karbon justru membuktikan sebaliknya.

Menurut studi tersebut, Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 6% per tahun (lebih tinggi dari pertumbuhan saat ini) sekaligus memangkas emisi gas rumah kaca sebesar 43% pada tahun 2030, melebihi target penurunan emisi yang telah dinyatakan dalam NDC. Ini artinya, secara keseluruhan aksi perubahan iklim dapat dijalankan berbarengan dengan upaya pertumbuhan ekonomi.

Di mana posisi generasi muda Indonesia?

Gerakan untuk memperjuangkan sumber daya alam dan perubahan iklim tengah berkembang di Indonesia. Mulai dari Hutan itu Indonesia, yang menyebarkan kisah-kisah positif mengenai hutan, Proyek Realitas Iklim (Climate Reality Project ) yang mengedukasi masyarakat tentang realitas perubahan iklim yang terjadi dan memberikan solusinya, hingga Bye Bye Plastic Bags, gerakan penghapusan penggunaan plastik di Bali yang diprakarsai oleh remaja kakak beradik. Selain itu, banyak juga tokoh penting yang mulai menyuarakan kepedulian mereka terhadap kelestarian laut melalui penerapan gaya hidup hijau menggunakan sedotan dan tas non-plastik, dan masih banyak aksi-aksi nyata lainnya. Meskipun sebagai sebuah langkah awal, inisiatif-inisiatif tersebut cukup menjanjikan, masih banyak yang perlu dilakukan.

Hasil survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) terhadap masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa isu ekonomi dan kesejahteraan sosial dianggap lebih urgen dibandingkan isu lingkungan. Hanya 1,63% responden yang menyatakan bahwa isu lingkungan merupakan masalah yang mendesak.

Survei persepsi World Resources Institute (WRI) Indonesia kepada warga kota berusia 18-40 tahun di Jakarta, Pekanbaru dan Palembang menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen responden menyadari dampak perubahan iklim terhadap bencana alam dan penurunan kualitas hidup. Survei ini juga menyebutkan bahwa warga yang berada dalam rentang usia 31-40 tahun lebih peduli terhadap isu lingkungan dibandingkan mereka yang berusia 18-30 tahun. Artinya, masih banyak yang harus kita lakukan untuk membangun kesadaran lingkungan di kalangan generasi muda.

Hal yang mengkhawatirkan dari hasil survei ini adalah 50% responden menyebutkan bahwa isu lingkungan dan perubahan iklim merupakan tanggung jawab utama pemerintah dan LSM, bukan mereka.

Alasan untuk mencari pendekatan yang tepat

Targetkan generasi muda. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa segmen ini bukan hanya memiliki populasi yang besar tetapi juga menjadi perhatian politisi dan pemerintah karena mereka cukup vokal di media sosial. Terlebih, segmen ini juga bisa dibilang merupakan calon pemimpin masa depan.

Pendekatan terhadap generasi muda dapat diawali dengan membahas isu lingkungan dalam keseharian. Bahwa sebenarnya apa yang kita makan, gunakan dan kenakan setiap harinya juga menguras persediaan sumber daya alam. Misalnya dalam pembuatan pakaian, kita tidak tahu bahwa dibutuhkan 2.700 liter air untuk membuat satu baju berbahan katun, cukup untuk memberi minum satu orang selama dua setengah tahun.

Oleh karena itu, baik organisasi maupun individu perlu melakukan upaya terpadu untuk menarik perhatian generasi muda terhadap isu lingkungan dan menciptakan ruang bagi mereka untuk berkontribusi. Menurut survei persepsi WRI Indonesia, terdapat dua hambatan utama yang mencegah generasi muda untuk bertindak. Pertama, mereka berpikir bahwa mereka membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk bertindak. Kedua, mereka tidak memiliki kenalan yang ikut berpartisipasi dalam aksi lingkungan hidup.

Bagi generasi muda yang telah aktif berkecimpung di dunia lingkungan, penting juga untuk memperluas jangkauan ke kelompok non-lingkungan. Pemerintah juga harus melakukan tugasnya, misalnya dengan meningkatkan dan menambahkan materi pendidikan mengenai pentingnya sumber daya alam ke dalam kegiatan belajar mengajar SD, SMP dan SMA.

Bahan ajar tersebut dapat dikembangkan berdasarkan kompetensi dasar dan kompetensi inti dari kurikulum nasional yang sudah ada. Dengan begitu, para guru dapat membantu menanamkan pengetahuan mengenai sumber daya alam dan urgensi perubahan iklim di kalangan generasi muda.