Sebagai produsen utama minyak sawit (crude palm oil, CPO) global dan eksportir sawit terbesar di dunia, petani sawit di Indonesia memiliki andil besar dalam sektor sawit nasional.

Dilihat dari jumlahnya, Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2019-2021 mencatat ada lebih dari 2,6 juta kepala keluarga petani sawit di Indonesia. Mereka mengelola sekitar 40% lahan perkebunan sawit nasional.

Data Ditjenbun Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan, dari total estimasi 15,08 juta hektare (ha) perkebunan minyak sawit pada 2021, Perkebunan Besar Swasta (PBS) masih menjadi yang paling dominan, diperkirakan mencapai 8,42 juta ha (55,84%). Kemudian, diikuti oleh Perkebunan Rakyat (PR) 6,08 juta ha (40,32%) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 ribu ha (3,84%).

Meski begitu, para ahli memprediksi bahwa hingga tahun 2030, distribusi luas tutupan kelapa sawit akan didominasi oleh PR. Proporsinya bisa mencapai 60%, diikuti kontribusi PBS menjadi 36%, sementara PBN sekitar 4%. Ini menunjukkan kontribusi signifikan smallholder atau petani sawit swadaya dalam pembangunan perkebunan sawit di Indonesia.

Persentase Kepemilikan Lahan Kebun Kelapa Sawit Indonesia_V2.jpg

Peningkatan tersebut juga diikuti dengan pergerakan pasar yang mulai mendorong praktik berkelanjutan. Tiongkok sebagai tujuan ekspor terbesar saat ini sudah menujukkan bahwa mereka perlahan menyongsong praktik berkelanjutan di sektor sawit. Hal tersebut mengisyaratkan pentingnya transisi ke praktik yang lebih berkelanjutan, termasuk dari kelompok petani swadaya.

Sertifikasi sebagai jembatan praktik keberlanjutan

Sebagai kelompok yang memegang peranan penting dalam tata kelola sawit di Indonesia, penguatan peran petani swadaya dalam peningkatan produktivitas sekaligus penerapan prinsip-prinsip berkelanjutan semakin penting untuk diwujudkan. Langkah ini dapat menjadi jembatan untuk memastikan penerapan prinsip berkelanjutan dalam budi daya kelapa sawit.

Di Indonesia, terdapat sejumlah skema sertifikasi minyak sawit berkelanjutan, tiga di antaranya menjadi yang paling banyak digunakan. Yakni Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang diterapkan sejak 2011, Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang beroperasi sejak 2004, serta International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) sejak 2010 .

Sampai Juni 2021, RSPO telah menerbitkan sertifikasi pada 8.442 petani di Indonesia, meningkat 29,5% dari jumlah 2020 dengan 6.520 petani. Di sisi lain, berdasarkan data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), sampai Maret 2021, Pemerintah Indonesia sudah memberikan sertifikat ISPO untuk lahan kebun sawit sebesar 5,78 juta ha. Dari jutaan hektare yang telah tersertifikasi ISPO, baru sekitar 12,7 ribu ha yang merupakan perkebunan rakyat atau hanya sekitar 0,21%.

Tantangan dalam Praktik Berkelanjutan

Tingkat adopsi sertifikasi perkebunan berkelanjutan yang masih rendah salah satunya disebabkan oleh masih banyaknya petani yang belum tergabung dalam kelembagaan tani, seperti koperasi unit desa atau gabungan kelompok tani.

Mereka yang tidak tergabung dalam kelembagaan tertentu cenderung beroperasi tanpa mengikuti prinsip Good Agriculture Practices (GAP). Mereka juga cenderung tidak mendapat dukungan teknis untuk memenuhi standar usaha tani kelapa sawit berkelanjutan. Selain itu, menurut Agrofarm (2020) implementasi ISPO memang tidak mudah karena tingkat kesiapan (readiness to implement) dari kelompok petani untuk mengikuti sertifikasi masih sangat rendah.

Di tengah tantangan yang dihadapi, Peraturan Presiden Nomor 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia menekankan kewajiban semua pelaku usaha budidaya sawit untuk memperoleh sertifikasi ISPO.

Terkhusus untuk pelaku usaha petani swadaya, pemberlakuannya disertai dengan tenggang waktu lima tahun hingga 2025. Dengan tenggat waktu yang tersisa dan rendahnya tingkat adopsi sertifikasi ISPO untuk petani sawit swadaya, penerapan ISPO menjadi tantangan tersendiri.

Manfaat Praktik Berkelanjutan bagi Petani Swadaya

Kendati memiliki sejumlah tantangan, penerapan praktik berkelanjutan dan kepemilikan sertifikasi berkelanjutan memiliki berbagai manfaat bagi petani swadaya.

Dari segi produksi, petani swadaya yang mengadopsi prinsip berkelanjutan dapat meningkatkan produktivitasnya. Hal ini telah dibuktikan oleh para petani sawit swadaya di Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara yang tergabung dalam kelembagaan dan telah memperoleh RSPO. Mereka mengaku merasakan peningkatan pendapatan mencapai 10%. Hal serupa juga terjadi pada sebuah kelompok petani di Jambi yang merasakan peningkatan produktivitas sampai 1,5 kali lipat, yakni dari panen yang sebanyak 1 ton, naik menjadi 1,5 ton.

Lebih dari itu, manfaat finansial yang dirasakan dari peningkatan produktivitas mendorong sejumlah kelompok tani tersebut berkontribusi dalam memberi bantuan bagi masyarakat sekitar mereka. UD Lestari di Sumatra Utara misalnya, dapat menyediakan ambulans untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat. Sementara Forum Petani Swadaya Merlung Renah Mendaluh di Jambi menggagas program kembang biak ikan dan ekosistem air untuk mendorong konservasi sungai.

Lewat perluasan program sertifikasi ini, para petani lewat kelompok-kelompoknya juga dapat mempersiapkan diri menghadapi dinamika pasar yang perkembangannya mengarah ke kebutuhan praktik berkelanjutan. Sejumlah konsumen minyak sawit sudah menekankan preferensinya bahwa mereka hanya akan membeli produk yang berasal dari kelapa sawit yang dikelola secara berkelanjutan.

Keberterimaan Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia di Dalam dan Luar Negeri

Sesuai dengan amanat Presiden pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024, seluruh upaya perbaikan di dalam negeri harus dipadukan dengan sinergi para pihak untuk menjaga akses pasar melalui keberterimaan minyak sawit berkelanjutan Indonesia di negara tujuan ekspor sawit Indonesia.

Merujuk kepada hasil lokakarya multistakeholder yang berlangsung di Jakarta pada 9 November 2022, setidaknya ada dua situasi menguntungkan yang harus dimanfaatkan oleh Indonesia yaitu:

  1. Hubungan perdagangan yang sangat kondusif antara Indonesia dengan negara-negara besar Asia seperti Tingkok dan India yang dibangun di atas narasi hubungan yang saling menguntungkan
  2. Tata waktu yang masih relatif longgar dari pasar Asia dibandingkan dengan pasar Eropa dan Amerika, yang memberikan waktu dan “napas” bagi perbaikan di dalam negeri.
workshop-menjaga-akses-pasar-sawit.jpg
Pada 9 November 2022, WRI Indonesia dan Fortasbi berkolaborasi menyelenggarakan acara Multistakeholder Workshop Menjaga Akses Pasar Utama Sawit Asia Tenggara" yang dihadiri oleh perwakilan berbagai kementerian, asosiasi pengusaha sawit, perwakilan pekebun, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi. Kredit foto: WRI Indonesia.

Sehingga, pemerintah perlu berupaya memperkuat diplomasi ISPO, mengingat banyak negara tujuan ekspor, termasuk Tiongkok belum mengakuinya. Diplomasi untuk mendorong penetrasi sawit berkelanjutan yang komprehensif tidak hanya akan bermanfaat sebagai alat untuk menangkal kampanye negatif terhadap industri sawit Indonesia, tetapi juga akan berperan besar bagi pertumbuhan ekspor Indonesia yang mengandalkan industri sawit berkelanjutan. Sehingga, diplomasi sawit perlu didukung koordinasi solid dari seluruh instansi terkait.

Dalam hal ini, Indonesia juga dapat belajar dari Malaysia, produsen CPO terbesar setelah Indonesia, yang telah berhasil membuat Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) diadopsi sekitar 88% dari keseluruhan lahan sawit di Negeri Jiran pada 2020. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan ISPO yang baru mencapai sekitar 35% dari luas lahan sawit keseluruhan di periode yang sama.

Selain itu, pendekatan proaktif Malaysia ke Tiongkok juga sudah membuahkan hasil. Pada 2019, Malaysian Palm Oil Board telah menandatangani nota kesepahaman dengan China Green Food Development Center (CGFDC), yang bertujuan untuk memasukkan skema MSPO dalam sertifikasi label Makanan Hijau-nya (Green Food Label). Hal ini memberikan kesempatan masuknya MSPO ke pasar Tiongkok, sebuah capaian yang belum terwujud bagi ISPO.

Arah kebijakan Tiongkok dan pembelajaran dari promosi MSPO dapat menjadi peluang bagi pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan minyak sawit nasional Indonesia untuk mendapatkan penerimaan yang lebih luas terhadap ISPO di tingkat internasional, dimulai dengan Tiongkok sebagai pasar ekspor terbesar. Keberterimaan ISPO yang lebih luas dapat memicu pelaku industri nasional, termasuk petani swadaya untuk menerapkan praktik keberlanjutan dalam industri sawit.