Kumar adalah satu-satunya pencari nafkah di keluarganya. Sehari-hari ia membuka jasa setrika di Bengaluru yang menghasilkan Rp80.000 hingga Rp98.000 per hari, jumlah yang nyaris tidak cukup untuk bisa bertahan hidup. Ketika pemadaman listrik terjadi sebanyak dua sampai tiga kali sehari dengan durasi nyaris empat jam di musim panas, Kumar terpaksa tidak bekerja, membiarkan setrikanya teronggok sementara suhu terus menanjak, dan ia pun membawa pulang lebih sedikit lagi uang.

Pada tahun 2050 diproyeksikan bahwa dua pertiga populasi dunia akan hidup di daerah perkotaan, dengan kenaikan bersih populasi perkotaan sebesar 2,4 milyar sejak 2015, sebagian besar di Afrika dan Asia. Kota-kota yang telah dengan susah payah berupaya menyediakan energi bersih, terjangkau, dan dapat diandalkan untuk warga seperti Kumar merasa kesulitan untuk mengimbangi kecepatan dan skala pertumbuhan populasi tersebut.

Di tahun 2012, hanya 58 persen dari populasi perkotaan memiliki akses terhadap listrik di negara-negara berpendapatan rendah. Hampir 500 juta penduduk perkotaan di seluruh dunia menggunakan bahan bakar untuk memasak kotor dan menghasilkan polusi seperti arang dan kayu, yang berkontribusi terhadap ratusan ribu kematian dini setiap tahunnya.

Terlebih, model pembangunan lama yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil yang diterapkan oleh kawasan Utara Dunia tak lagi dapat dipertahankan, mengingat perhatian besar yang kini sedang dicurahkan untuk menahan dan membalikkan laju pertumbuhan emisi karbon global.

Makalah terkini dari laporan unggulan WRI, World Resources Report, “Menuju Kota yang Lebih Setara,” mengambil pendekatan unik terhadap tantangan ini dengan memperlihatkan bahwa meningkatkan layanan energi untuk mereka yang terpinggirkan dapat memperbaiki keadaan ekonomi dan lingkungan secara keseluruhan. Kami menyoroti tiga solusi bagi kota-kota di kawasan Selatan Dunia:

1. Mempercepat Perpindahan ke Cara Memasak yang Lebih Bersih Tanpa Polusi

z Sebuah dapur di Indonesia. Flickr/Caka-caka

Berpindah ke bahan bakar untuk memasak modern, seperti Gas Petroleum Cair (LPG atau elpiji) dan listrik, akan berujung pada pengurangan polusi udara dalam ruangan yang paling drastis serta peningkatan kesehatan dari setiap solusi energi perkotaan, sekaligus penghematan waktu dan biaya pada banyak kesempatan. Bahan bakar untuk memasak yang lebih bersih menguntungkan seluruh kota, karena pemanas rumah tangga dan kegiatan memasak adalah sumber signifikan dari polusi udara luar ruangan.

Terdapat beberapa contoh dari negara yang menunjukkan kepemimpinan kuat dalam transisi menuju cara memasak yang bersih tanpa polusi. Pada dekada 1960-an, kurang dari 20 persen rumah tangga Brazil memiliki akses terhadap LPG atau gas alam. Pemerintah mendirikan infrastruktur nasional untuk memproduksi dan menyalurkan LPG, mengembangkan pasar eceran untuk penyaluran LPG, dan menyubsidi bahan bakar untuk keluarga-keluarga miskin. Saat ini, 100 persen rumah tangga di perkotaan memiliki aksess terhadap LPG.

2. Menambah Energi Terbarukan yang Terdistribusi

a

Pendekatan abad ke-19 terhadap pelistrikan yang bergantung terutama kepada perluasan jaringan tak dapat menjembatani kesenjangan akses energi di Selatan Dunia saja. Sistem terdistribusi seperti panel surya menawarkan berbagai keuntungan seperti keterjangkauan, keandalan, dan produktivitas kepada kalangan terpinggirkan. Biaya listrik rata-rata dari tenaga surya atap perumahan di India dan Cina sudah dalam rentang yang sama dengan listrik berbahan bakar gas alam dan terus turun. Di wilayah Afrika Sub-Sahara pun, tenaga surya semakin populer.

Pada tahun 2015, jumlah rumah tangga yang menggunakan tenaga surya dengan sistem bayar-sesuai-pemakaian--di mana perusahaan menyewakan peranti kepada konsumen dengan biaya murah, seringkali dibayarkan melalui telepon seluler--berlipat ganda hingga kisaran antara 450.000 sampai 500.000. Pada skala besar, sistem tenaga surya atap perumahan dapat memungkinkan penghematan dari biaya infrastruktur transmisi baru yang terhindarkan, berkontribusi terhadap penanggulangan perubahan iklim, menciptakan lapangan kerja.

3. Meningkatkan Efisiensi Energi dari Gedung dan Peralatan

b Meksiko telah menerapkan undang-undang efisiensi bangunan terdepan. Flickr/TVZ Design

Bangunan pemukiman dan komersial adalah konsumen terbesar energi di area perkotaan. Perubahan relatif kecil pada undang-undang dan peraturan bangunan dapat mengurangi penggunaan energi hingga 50 sampai 90 persen pada bangunan baru dan 50 sampai 75 persen pada bangunan yang telah berdiri. Penggunaan peralatan dan perlengkapan rumah tangga tersendiri terbaik yang ada dapat mengurangi beban biaya hingga 40 sampai 50 persen. Lebih baik lagi, bangunan yang lebih dingin juga membuat kota lebih ramah huni dan tangguh menghadapi gelombang panas, sekaligus memberikan manfaat kesehatan. Setiap kilowatt jam yang dihemat di kota yang bergantung pada pembangkit listrik bertenaga kotor berarti pengurangan polusi udara serta emisi gas rumah kaca.

Negara-negara di Selatan Dunia telah menunjukkan manfaat langkah-langkah efisiensi energi. Ghana menerapkan standar perkakas pendingin udara di Afrika Sub-Sahara pada tahun 2000 dan diproyeksikan akan telah menghemat 10,2 triliun rupiah di tahun 2020 mendatang. Di Mexico, program standardisasi dan pelabelan efisiensi energi nasional menghasilkan penghematan sebesar 300 triliun rupiah bagi konsumen sejak 2002 hingga 2014.

Mewujudkan Potensi Kota Sepenuhnya

Solusi-solusi tersebut memerlukan tindakan dari banyak pemangku kepentingan di perkotaan, termasuk pemerintah nasional, negara bagian, dan daerah, komunitas pengembang, dan masyarakat sipil. Banyak kota di belahan dunia Selatan telah bertindak, termasuk ratusan yang sudah menandatangani Perjanjian Para Walikota (Compact of Mayors), sebuah ikrar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di area perkotaan. Cape Town dan Bengaluru telah memulai program pengukuran bersih. Delhi telah mengembangkan model persewaan atap untuk sistem tenaga surya. Tianjin pun telah menyusun undang-undang efisiensi bangunannya sendiri yang ambisius, jauh melebihi undang-undang nasional Cina. Upaya-upaya ini patut diapresiasi, didorong, dan ditiru.

Tanpa meningkatkan layanan energi untuk orang-orang seperti Kumar, banyak kota yang akan gagal memenuhi potensi mereka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, memperbaiki lingkungan, dan menciptakan ruang di mana semua orang dapat hidup, bekerja, dan berkembang. Sebagaimana dikatakan Amartya Sen, “Kemiskinan bukanlah sekadar ketiadaan uang, namun ketiadaan kemampuan untuk mewujudkan secara penuh potensi seseorang sebagai manusia.”