Saat seluruh dunia bersiap menghadapi titik terburuk dari pandemi virus korona, kita juga perlu memikirkan kondisi seperti apa yang ingin kita bangun seiring dengan langkah kita keluar dari krisis ini. Langkah paling mudah adalah untuk kembali ke kondisi sebelum krisis. Dibandingkan dengan situasi saat ini, keamanan, kesehatan dan kesejahteraan terlihat lebih terjamin sebelum krisis. Ketika kita mencapai titik itu, barulah kita akan mulai mempertimbangkan perubahan apa yang perlu kita buat. Kondisi normal yang masih kita nikmati beberapa minggu lalu mungkin terlihat relatif stabil. Namun, kita semua tahu bahwa kondisi pada saat itu pun tidak ideal untuk membentuk suatu masyarakat dan ekonomi yang tangguh dan berkembang. Jadi, kita semua – termasuk komunitas usaha – perlu sama-sama memikirkan perubahan apa yang harus kita buat ketika kita krisis ini selesai.

Saat ini, dunia usaha telah mulai menjawab panggilan untuk menerapkan pendekatan yang lebih bertanggung jawab secara sosial, memiliki tujuan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pemangku kepentingan – termasuk karyawan, pemasok, dan masyarakat – tidak hanya kepada pemegang saham. Banyak orang berpikir bahwa masa-masa sulit seperti ini bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan keberlanjutan jangka panjang. Akan tetapi, kita harus memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh para pemimpin usaha untuk menyelesaikan keadaan darurat ini tidak justru memperburuk permasalahan lainnya. Kita harus memastikan bahwa berbagai upaya yang dilakukan menjadi awal, bukan akhir, dari perjalanan transformasi korporasi, sehingga saat krisis ini berakhir, pendekatan yang kita gunakan juga ikut berubah.

Meruntuhkan Batasan Korporasi

Saat kondisi masih normal, beberapa pemilik usaha yang berkelanjutan dan inovatif mengatakan kepada saya bahwa sebenarnya, masih banyak yang ingin mereka lakukan. Sayangnya, menurut mereka, ada hambatan yang muncul dari para investor, pembuat kebijakan, dan pelanggan.

Paul Polman, mantan CEO Unilever, sebuah produsen barang konsumen raksasa dunia, misalnya, mengatakan, “Menurut saya, terlalu banyak perusahaan yang membahayakan bisnis mereka dengan berpikir pendek dan hanya berfokus pada pemegang saham.” Pada Agustus lalu, lembaga Business Roundtable (BRT) mencoba mengubah narasi yang ada dengan memfokuskan tujuan korporasi kepada semua pemangku kepentingan. Saat itu, Eliot Metzger dan saya mengkritik bahwa langkah yang diambil belum cukup signifikan. Di saat yang sama, lembaga penanam modal Council of Institutional Investors justru mengatakan bahwa langkah ini terlalu jauh. Hal ini menunjukkan batasan-batasan yang harus dihadapi perusahaan ketika mencoba untuk menempatkan kepentingan banyak orang di atas keuntungan bagi pemegang saham. Dengan adanya pandemi virus korona, para pemimpin usaha memiliki kesempatan untuk mendobrak batasan-batasan tersebut.

Di tengah krisis kesehatan yang kita alami saat ini, pelaku usaha memiliki peran yang lebih besar dalam mendukung kesejahteraan masyarakat. Hal ini membuka peluang terciptanya sebuah perubahan dan kontrak sosial baru. Seperti yang dikatakan oleh pemenang Nobel Ekonomi, Paul Romer, pada 2004, “Kondisi krisis tidak boleh disia-siakan.” Saat menyampaikan hal ini di hadapan para pemodal, Romer sedang membahas pendidikan. Akan tetapi, menurut penelaahan Psychology Today atas tulisan Romer, krisis yang dihasilkan oleh pandemi virus korona ini memiliki banyak kesamaan, yaitu “skala prioritasnya jelas, peraturan dan regulasi yang sebelumnya kaku tiba-tiba menjadi lentur, menarik perhatian tokoh-tokoh penting dan memungkinkan terjadinya perubahan, bahkan dalam skala luas”.

Krisis COVID-19 ini membuka tiga peluang bagi pelaku usaha yang mencari kesempatan untuk mewujudkan masa depan yang lebih berkelanjutan dan sejahtera:

1. Mengubah Model Bisnis Saat Prioritas Dunia Berubah

Tiga tahun lalu, Simon Wolfson, CEO Next, peritel pakaian di Inggris, mengatakan, “Angka penjualan kami menurun karena masyarakat berusaha mengurangi barang yang mereka beli.” Di akhir 2019, perusahaan besar dunia seperti Ikea dan H&M juga mulai menambahkan jasa perbaikan, penjualan barang bekas pakai, dan berbagai layanan lain sebagai sumber pendapatan dalam model bisnis mereka. Sementara itu, dengan kebijakan bekerja dan belajar dari rumah untuk mengurangi penyebaran COVID-19 di tahun 2020, banyak orang mulai menyadari bahwa kepuasan batin bukan berasal barang-barang yang kita beli, namun layanan dan pengalaman yang kita dapatkan. Sehingga, krisis ini membuka kesempatan bagi kita untuk mengubah pendekatan kita, alih-alih bertahan dengan pola konsumsi dan model bisnis yang kita pakai sebelum krisis. Jika sebelumnya pemulihan ekonomi dilakukan dengan menjual barang sebanyak-banyaknya, sekarang perusahaan perlu mengubah pola tersebut dengan lebih banyak menyediakan jasa, menjual barang bekas pakai, dan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Inilah saatnya perusahaan mengambil langkah-langkah agresif untuk menggantikan ekonomi linear dengan ekonomi sirkular.

2. Penekanan Aspek Sosial dalam Prinsip Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola Perusahaan

Kita tahu bahwa kelompok masyarakat rentan biasanya menanggung dampak terburuk dari krisis. Dari sisi bisnis, perbedaan ini terlihat nyata dalam kesenjangan antara investor dan karyawan, konsumen dan petani, para manajer dan pekerja, penyedia layanan mendasar (seperti petugas kebersihan dan pegawai toko bahan makanan), serta penyedia barang mewah. Namun, di saat yang sama, krisis juga menunjukkan betapa kita semua saling bergantung satu sama lain dan bagaimana tindakan satu orang memengaruhi kesejahteraan orang lain. Oleh karena itu, model bisnis yang tidak mampu melindungi pendapatan dan kesehatan para pekerjanya akhirnya tidak hanya menghasilkan dampak terburuk bagi kelompok masyarakat terbawah, namun juga menghalangi mereka dari melakukan isolasi mandiri, yang merupakan sebuah kemewahan bagi banyak orang. Untuk itu, prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan, dengan penekanan pada aspek sosial, menjadi penting. Sekaranglah saatnya para pelaku usaha menunjukkan komitmen mereka kepada tercapainya kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan seluruh pemangku kepentingan, dengan menjawab masalah ketidaksetaraan dalam model bisnis mereka.

3. Berinvestasi pada Rantai Pasokan

Saat ini, terlihat jelas betapa penting dan rapuhnya rantai pasokan dunia. Sebagaimana telah diserukan oleh lembaga kemitraan Science Based Targets Network (SBTN), perusahaan harus memprioritaskan upaya pemetaan “rantai nilai dan mampu mengenali potensi risiko terhadap kondisi air tawar, keanekaragaman hayati, ekosistem dan lautan di lokasi-lokasi yang paling terdampak”. Melalui penetapan 3 target berbasis ilmu pengetahuan menurut inisiatif Science Based Targets (SBTi), kita belajar bahwa meskipun rumit dan sulit dilakukan, memahami rantai pasokan usaha, mengumpulkan data yang komprehensif dan akurat serta melibatkan pemasok global sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim. Dalam hal ini, krisis kesehatan global menghasilkan tantangan dan permasalahan yang sama. Untuk menciptakan sistem rantai pasokan yang tangguh baik dalam mitigasi perubahan iklim maupun krisis kesehatan global, dibutuhkan dukungan dari para pelaku usaha. Inilah saatnya para pelaku usaha memfokuskan pemikiran dan sumber daya mereka untuk menciptakan rantai nilai yang lebih kuat dan lebih tangguh.

Krisis virus korona menghadirkan berbagai tantangan nyata bagi para pelaku usaha. Di saat yang sama, krisis ini membuka kesempatan untuk berubah dan mengejar jalur pertumbuhan yang berbeda untuk masa depan. Di tengah upaya kita untuk keluar dari krisis ini, kita harus pastikan bahwa para pelaku usaha tidak kembali ke status quo yang tidak mampu memberikan perlindungan bagi masyarakat dan bumi, tetapi justru dapat menciptakan pendekatan baru yang lebih baik, yang membuat pelaku usaha dapat menghadapi persaingan pasar tanpa menghabiskan sumber daya alam yang ada.