Pantau Jejak Penebangan Hutan Ilegal Edisi ke-12: Lima Wilayah Teratas untuk Dipantau
Edisi ke-12 ini menyajikan 5 Wilayah Teratas untuk Dipantau yang terindikasi mengalami penebangan hutan ilegal selama periode 1 Oktober – 31 Desember 2020. Pantau Jejak menggunakan metode dan data GLAD Alert dari Global Forest Watch yang dianalisis setiap periode tiga bulanan.
#1 Desa Puu Wonua, Kecamatan Tontonunu, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara: 141,48 Ha
Wilayah terindikasi #1 berada dalam kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit X Sulawesi Tenggara dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Pengamatan citra satelit menunjukkan pembukaan hutan telah berlangsung sejak Juli 2020 dan wilayah ini berbatasan dengan lokasi izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di sebelah barat. Wilayah ini juga bertumpang tindih dengan izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral serta belum ada izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH). Hingga akhir periode pengamatan wilayah hutan yang dibuka belum dimanfaatkan, sehingga tujuan pembukaan hutan belum dapat diketahui.
Pemberitaan mengenai aktivitas ilegal di wilayah terindikasi #1 tidak dapat ditemukan melalui informasi yang dapat diakses publik. Akan tetapi, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bombana sempat mengancam untuk menindak izin usaha pertambangan yang belum Clean and Clear di Kabupaten Bombana, karena pertambangan diduga sebagai penyebab banjir di wilayah tersebut. Pemantau hutan independen dan aparat penegak hukum perlu segera melakukan pengecekan lapangan untuk menindaklanjuti temuan ini.
#2 Desa Taringen, Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah: 61,29 Ha
Indikasi pembukaan hutan kembali terjadi di Kabupaten Gunung Mas. Wilayah terindikasi #2 merupakan perluasan pembukaan ke arah barat dari wilayah #1 Edisi 9 yang berada dalam kawasan hutan produksi dan memiliki tutupan hutan lahan kering sekunder. Pembukaan hutan ini terindikasi berada dalam lokasi Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit yang bertumpang tindih dengan kawasan hutan produksi namun belum ada Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH). Pengamatan citra satelit menunjukan pola pembukaan hutan yang teratur dengan blok-blok besar dan adanya jaringan jalan yang terhubung ke area pembukaan lahan. Sejak pengamatan awal Edisi 9 pada Januari 2020 hingga akhir periode pengamatan kali ini, hutan yang dibuka belum ditanami atau dimanfaatkan.
Temuan lokasi #2 mengindikasikan belum adanya tindakan yang diambil untuk mencegah pembukaan hutan yang sudah terindikasi sejak Januari 2021 (Pantau Jejak edisi 9). Hal ini memperkuat informasi berita dan laporan NGO tentang masifnya aktivitas ilegal di Kabupaten Gunung Mas.
#3 Desa Taore, Kecamatan Aere, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara: 59,58 Ha
Wilayah terindikasi #3 berada di dalam kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit XII Ladongi dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Pengamatan citra satelit menunjukkan adanya indikasi pembukaan hutan yang dilanjutkan dengan pembakaran lahan, karena terdapat rona kemerahan dan gelap yang mengindikasikan sisa pembakaran biomasa tanaman. Pembukaan hutan menunjukkan pola yang tidak teratur, mengikuti alur jalan, serta terdapat permukiman di lokasi pembukaan. Sampai dengan akhir periode pengamatan lahan yang terbuka belum dimanfaatkan, walaupun kemungkinan pembukaan hutan dilakukan untuk kegiatan pertanian lahan kering sebagaimana penggunaan lahan di sekitarnya.
Penelusuran data sekunder tidak menemukan adanya informasi mengenai aktivitas ilegal di wilayah terindikasi #3. Akan tetapi, pemberitaan mengenai kebakaran lahan akibat pembukaan lahan pertanian di wilayah Kolaka Timur cukup sering diberitakan.
#4 Desa Amole, Kecamatan Kwamki Narama, Kabupaten Mimika, Papua: 57,15 Ha
Indikasi pembukaan hutan kembali terjadi di Kabupaten Mimika. Wilayah terindikasi #4 ini berada di bagian selatan wilayah #5 Edisi 9 dan berada di kawasan hutan produksi dengan tutupan hutan rawa primer. Wilayah ini terindikasi bertumpang tindih dengan lokasi Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit yang belum ada Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH). Pengamatan citra satelit menunjukkan pembukaan hutan ini berlokasi di sisi jalan utama. Penyebab pembukaan hutan belum dapat diidentifikasi karena lahan belum dimanfaatkan hingga akhir periode pengamatan.
Belum ada pemberitaan mengenai aktivitas ilegal di wilayah terindikasi #4. Akan tetapi, ekspansi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan swasta di Kabupaten Mimika dilaporkan cukup masif.
#5 Desa Tikonu, Kecamatan Wundulako, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara: 52,56 Ha
Wilayah terindikasi #5 berada di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit XI Mekonga Selatan dengan tutupan hutan lahan kering primer. Pengamatan citra satelit menunjukkan pola pembukaan hutan tidak teratur, menyebar, dan berlokasi di sepanjang jalan. Pola serupa banyak terlihat disekitar area pembukaan hutan dan menunjukan indikasi pemanfaatan lahan untuk pertanian lahan kering, walaupun sampai akhir periode pengamatan lahan yang terbuka belum dimanfaatkan.
Belum banyak pemberitaan mengenai aktivitas ilegal di wilayah terindikasi #5 yang dapat diakses oleh publik. Akan tetapi, pola pembukaan yang mirip dengan wilayah terindikasi #3 menunjukkan bahwa KPH, aparat keamanan, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara perlu segera mengambil tindakan untuk melindungi kawasan hutan Sulawesi Tenggara yang mulai bermunculan.
Langkah Selanjutnya
Daftar Kelima Wilayah Teratas tersebut masih berupa indikasi, yang dihasilkan dari analisis menggunakan sejumlah instrumen yakni peringatan GLAD Alert, Peta Status Kawasan Hutan, Peta Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan, serta Peta Tutupan/Penggunaan Lahan. Namun demikian, hasil analisis ini dapat menjadi petunjuk dalam menentukan wilayah hutan prioritas untuk dipantau dari ancaman penebangan ilegal. Berikut ini langkah-langkah yang perlu ditempuh sesegera mungkin oleh para pihak yang berwenang.
1. Verifikasi Lapangan dan Tindakan untuk Mencegah Perluasan Kegiatan Penebangan Hutan Ilegal di Kelima Wilayah Terindikasi.
Kelima wilayah terindikasi perlu untuk ditindaklanjuti dengan verifikasi lapangan. Pada edisi ini, terdapat wilayah terindikasi #2 dan #4 yang perlu menjadi perhatian khusus. Keduanya berlokasi di kawasan hutan produksi serta merupakan perluasan dari pembukaan sebelumnya yang terekam pada Pantau Jejak edisi 9. Perlu upaya yang lebih serius dari KPH yang wilayah kerjanya masuk dalam wilayah-wilayah terindikasi di atas., Terutama dengan melakukan pemantauan intensif di wilayah terindikasi sehingga kegiatan pembalakan liar tidak meluas ke wilayah hutan lainnya di masa yang akan datang. Sementara itu, Pemerintahan Pprovinsi harus lebih tegas dalam menindak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam Kawasan Hutan tanpa adanya Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) dan mencegah eksploitasi kawasan hutan tanpa perizinan yang lengkap.
Adanya wilayah tumpang tindih antara Izin Usaha Perkebunan dan Izin Usaha Pertambangan dengan Kawasan Hutan tanpa adanya IPKH dan PPKH dapat menjadi dasar bagi KLHK untuk menindak jika memang ada pelanggaran IUP yang diberikan, atau mengurus izin PPKH untuk kegiatan pertambangan yang telah keluar IUP. Provinsi Sulawesi Tenggara juga perlu menjadi sorotan karena terdapat tiga wilayah terindikasi yang masuk dalam edisi Pantau Jejak ini.
Institusi yang berwenang dalam perlindungan kawasan hutan di kelima wilayah terindikasi, yaitu unit-unit Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) terkait, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Dinas Kehutanan Provinsi setempat, dan Kepolisian setempat, secara kolaboratif perlu segera melakukan verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan terhadap perluasan penebangan dan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal.
Peran serta masyarakat setempat dengan memberikan informasi dari lapangan juga dapat memperkuat proses verifikasi tersebut. Jika verifikasi lapangan tidak dilakukan dengan segera, dikhawatirkan penebangan hutan ilegal akan semakin masif dan dampak negatif kerusakan lingkungan tidak dapat terelakkan. Semakin luas kawasan hutan yang telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kegiatan non-kehutanan, upaya penanggulangan dan pemulihan akan semakin sulit dilakukan.
2. Setelah Verifikasi Lapangan Dilakukan, Upaya Penanganan Harus Mempertimbangkan Aspek Sosial-Ekonomi Masyarakat Setempat.
Indikasi penebangan hutan di wilayah-wilayah terindikasi #3 dan #5 sarat dengan kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil. Oleh karena itu, setelah verifikasi dilakukan, upaya penanganan perlu mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. Mekanisme penanganan yang dilakukan sebaiknya mempertimbangkan berbagai opsi skema penyelesaian konflik, opsi pengelolaan wilayah melalui perhutanan sosial, reforma agraria, disertai dengan upaya penegakan hukum yang adil. Tidak hanya itu, penelusuran pelaku juga perlu dilakukan sampai kepada dalang (pelaku intelektual dan pemilik modal) yang mengambil keuntungan dari kegiatan penebangan hutan secara ilegal tersebut dan tidak terbatas pada pelaku lapangan saja.
3. Bekerjasama dengan Dinas Kehutanan setempat dan organisasi masyarakat pemantau hutan.
WRI Indonesia telah memperkenalkan berbagai macam data dan tool yang digunakan dalam analisa Pantau Jejak ini kepada staff KPH, organisasi masyarakat, dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan untuk bekerjasama dalam melakukan pemantauan hutan guna mencegah pembalakan liar. Data Pantau Jejak merupakan indikasi awal yang kemudian dapat ditindaklanjuti oleh pihak terkait untuk melakukan verifikasi lapangan guna mendapatkan bukti yang lebih kuat untuk keperluan penegakan hukum. Kerja sama multipihak dapat menghasilkan pemantauan dan pencegahan yang lebih efektif dan efisien karena setiap institusi memiliki sumber daya, keahlian dan kewenangan untuk menindak yang berbeda-beda.