Pantau Jejak Penebangan Hutan Ilegal Edisi ke-13: Lima Wilayah Teratas untuk Dipantau
Edisi ketiga belas ini menyajikan 5 wilayah teratas untuk dipantau yang terindikasi mengalami penebangan hutan ilegal selama periode 1 Januari – 31 Maret 2021. Pantau Jejak menggunakan metode dan data GLAD Alert dari Global Forest Watch yang dianalisis setiap periode tiga bulanan.
#1 Desa Tewai Baru, Kecamatan Sepang Simin, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah: 103,59 Ha
Wilayah terindikasi #1 berada dalam kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit XIII Kalimantan Tengah dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Wilayah ini berbatasan dengan lokasi izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di sebelah timur dan izin konsesi kelapa sawit di sebelah Barat. Pengamatan citra satelit menunjukkan pembukaan hutan merupakan perluasan dari pembukaan sebelumnya, serta terhubung dengan jaringan jalan yang telah ada. Hingga akhir periode pengamatan wilayah hutan yang dibuka belum dimanfaatkan, sehingga tujuan pembukaan hutan belum dapat dipastikan.
Pada bulan Desember 2020 lalu dilaporkan adanya pembukaan hutan produksi untuk perkebunan singkong di Desa Tewai Baru, sebagai bagian dari program food estate pemerintah. Pemberitaan NGO setempat mengeluhkan kurangnya keterbukaan informasi dari pemerintah terkait perizinan dan administrasi kayu dalam proyek food estate ini, sehingga indikasi kejahatan lingkungan yang dilegalkan sulit untuk dibuktikan.
#2 Desa Tarusan Danum, Kecamatan Tewang Sangalang Garing, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah: 95,48 Ha
Wilayah terindikasi #2 berada dalam kawasan hutan produksi dan merupakan tutupan hutan rawa sekunder. Pembukaan hutan ini terindikasi berada dalam lokasi konsesi kebun kelapa sawit yang belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) dan berbatasan dengan lokasi izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di sebelah barat. Walaupun lokasi berada di dalam konsesi kebun kelapa sawit, pengamatan citra satelit menunjukkan pembukaan hutan merupakan perluasan dari kegiatan pertambangan (open pit mining) yang telah ada sebelumnya. Kegiatan pertambangan ini terindikasi dilakukan secara illegal karena tidak adanya izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) untuk izin usaha pertambangan (IUP).
Pemberitaan khusus terkait aktivitas ilegal di lokasi wilayah terindikasi #2 (Desa Tarusan Danum) tidak ditemukan melalui penelusuran daring. Akan tetapi, pada April 2020 diberitakan bahwa Kecamatan Tewang Senggalang merupakan salah satu kecamatan yang rentan terhadap penambangan emas ilegal di Kabupaten Katingan.
#3 Desa Perumpaken Benjadi, Kecamatan Mesidah, Kabupaten Bener Meriah, Aceh: 88,29 Ha
Wilayah terindikasi #3 berada di kawasan hutan lindung yang dikelola oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit III Aceh dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Pengamatan citra satelit menunjukkan pembukaan hutan dilakukan dengan pola menyebar dan tidak teratur. Sehingga diduga digunakan untuk perluasan pertanian lahan kering sebagaimana tutupan lahan di sekitarnya, walaupun sampai akhir periode pengamatan lahan hutan yang dibuka belum dimanfaatkan. Tidak ditemukan pemberitaan khusus mengenai aktivitas ilegal di wilayah terindikasi #3 (Desa Perumpaken Benjadi). Akan tetapi, pada Juli 2020, diberitakan bahwa diperkirakan telah terjadi pembukaan hutan hingga ribuan hektar di kawasan hutan lindung Kecamatan Mesidah dan belum dilakukan tindakan hukum atas kejahatan tersebut.
#4 Kampung Timika Indah, Kecamatan Mimika Baru, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua: 64,53 Ha
Indikasi pembukaan hutan terjadi di Kawasan Hutan Produksi yang memiliki tutupan hutan lahan kering sekunder. Wilayah ini merupakan perluasan pembukaan hutan dari wilayah terindikasi #5 Edisi 9, yaitu periode yang sama (Januari-Maret) tepat setahun sebelumnya dan terindikasi berada dalam izin lokasi perkebunan kelapa sawit. Pola pembukaan hutan periode ini terlihat serupa dengan pembukaan sebelumnya, yaitu berlokasi dekat dengan akses jalan. Pengamatan citra satelit menunjukkan wilayah yang dibuka tahun sebelumnya belum dimanfaatkan dan telah ditumbuhi vegetasi seperti rumput dan belukar. Wilayah yang baru dibuka terlihat belum dimanfaatkan dan hanya berupa tanah terbuka sampai dengan akhir periode pengamatan.
Tidak ditemukan pemberitaan khusus dan terbaru mengenai aktivitas ilegal di wilayah terindikasi #4 (Kampung Timika Indah dan Kabupaten Mimika). Akan tetapi, masuknya wilayah terindikasi #4 sebagai perluasan dari wilayah terindikasi #5 Pantau Jejak Edisi 9 menunjukkan perlunya verifikasi lapangan sebagai upaya untuk mencegah pembukaan hutan yang lebih luas.
#5 Dusun Baru Lempur, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Jambi: 63,09 Ha
Indikasi pembukaan hutan terjadi di kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), yang merupakan bagian dari UNESCO World Natural Heritage Sites. Wilayah terindikasi #5 ini merupakan hutan lahan kering sekunder serta wilayah perluasan dari lokasi 4 Edisi 1. Pengamatan citra satelit menunjukan perluasan pembukaan hutan ini berada di bagian selatan wilayah pembukaan Edisi 1 dengan pola pembukaan yang relative sama. Tujuan pembukaan hutan belum dapat dipastikan karena lahan yang dibuka belum dimanfaatkan sampai dengan akhir periode pengamatan.
Tidak ditemukan pemberitaan khusus mengenai aktivitas ilegal pada wilayah terindikasi #4 (Dusun Baru Lempur). Akan tetapi, pembalakan liar diberitakan cukup masif terjadi di kawasan TNKS dan personil Balai Besar TNKS sangat terbatas untuk melakukan penindakan. Selain itu, berdasarkan penelitian pada tahun 2018, masyarakat setempat memang bergantung terhadap kawasan TNKS untuk digunakan sebagai lahan pertanian.
Langkah Selanjutnya
Daftar Kelima Wilayah Teratas tersebut masih berupa indikasi, yang dihasilkan dari analisis menggunakan sejumlah instrumen, yakni data GLAD Alert dari Global Forest Watch, serta Peta Status Kawasan Hutan, Peta Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan, dan Peta Tutupan/Penggunaan Lahan yang diunduh dari website Geoportal KLHK. Namun demikian, hasil analisis ini dapat menjadi petunjuk dalam menentukan wilayah hutan prioritas untuk dipantau dari ancaman penebangan ilegal. Berikut ini langkah-langkah yang perlu ditempuh sesegera mungkin oleh para pihak yang berwenang.
1. Verifikasi Lapangan dan Tindakan untuk Mencegah Perluasan Kegiatan Penebangan Hutan Ilegal di Kelima Wilayah Terindikasi.
Pada edisi ini, wilayah terindikasi #4 dan #5 perlu mendapat perhatian khusus karena kedua wilayah merupakan perluasan dari pembukaan sebelumnya. Wilayah #4 merupakan perluasan pembukaan di tahun 2020, sedang wilayah #5 perluasan pembukaan di tahun 2018 yang berlokasi di Kawasan TNKS. Perluasan ini menunjukan belum adanya tindak lanjut atas kegiatan pembukaan hutan sebelumnya. Perlu upaya yang lebih serius dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/Balai Besar Taman Nasional/KPH dan pemerintah daerah setempat untuk secara aktif bekerjasama dengan berbagai pihak terkait dalam melakukan pemantauan hutan dan melakukan pencegahan perluasan pembukaan hutan. Diantaranya dengan memberikan sosialisasi, penyuluhan, dan pendampingan pada masyarakat setempat untuk merumuskan skema terbaik bagi masyarakat dan untuk perlindungan hutan.
Provinsi Kalimantan Tengah juga perlu mendapatkan perhatian khusus karena menjadi lokasi dua wilayah dengan indikasi terbesar (wilayah #1 dan #2). Wilayah #3 di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, merupakan wilayah yang baru muncul di Pantau Jejak, akan tetapi di tahun 2020 WRI Indonesia melalui Forum Konservasi Leuser (FKL) menemukan telah terjadi pembukaan hutan ilegal di wilayah ini. Kehilangan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) perlu segera dicegah agar tidak berlanjut karena KEL merupakan wilayah hutan tropis dengan tingkat keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis tinggi di Sumatera.
Institusi yang berwenang dalam perlindungan kawasan hutan di kelima wilayah terindikasi, yaitu unit-unit Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), Balai Besar Taman Nasional, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Dinas Kehutanan Provinsi, dan Kepolisian setempat, secara kolaboratif perlu segera melakukan verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan terhadap perluasan penebangan dan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal.
Peran serta masyarakat setempat dengan memberikan informasi dari lapangan juga dapat memperkuat proses verifikasi tersebut. Jika verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan perluasan pembukaan hutan tidak dilakukan segera, dikhawatirkan penebangan hutan ilegal akan semakin masif dan dampak negatif kerusakan lingkungan tidak dapat terelakkan. Jika semakin luas kawasan hutan yang dibuka dan dimanfaatkan untuk kegiatan non-kehutanan, maka upaya penanggulangan dan pemulihan akan semakin sulit dilakukan.
2. Setelah Verifikasi Lapangan Dilakukan, Upaya Penanganan Harus Mempertimbangkan Aspek Sosial-Ekonomi Masyarakat Setempat.
Indikasi penebangan hutan di wilayah terindikasi #3 diduga sarat dengan kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil. Oleh karena itu, setelah verifikasi dilakukan, upaya penanganan perlu mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. Mekanisme penanganan yang dilakukan sebaiknya mempertimbangkan berbagai opsi skema penyelesaian konflik, opsi pengelolaan wilayah melalui perhutanan sosial, reforma agraria, disertai dengan upaya penegakan hukum yang adil. Tidak hanya itu, penelusuran pelaku juga perlu dilakukan sampai kepada dalang (pelaku intelektual dan pemilik modal) yang mengambil keuntungan dari kegiatan penebangan hutan secara ilegal tersebut dan tidak terbatas pada pelaku lapangan saja.
3. Bekerja Sama dengan Dinas Kehutanan Setempat dan Organisasi Masyarakat Pemantau Hutan.
WRI Indonesia telah memperkenalkan berbagai macam data dan tool yang digunakan dalam analisa Pantau Jejak ini kepada staff KPH dan Taman Nasional, organisasi masyarakat, dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan untuk bekerjasama dalam melakukan pemantauan hutan guna mencegah pembalakan liar. Data Pantau Jejak merupakan indikasi awal yang kemudian dapat ditindaklanjuti oleh pihak terkait untuk melakukan verifikasi lapangan guna mendapatkan bukti yang lebih kuat untuk keperluan penegakan hukum. Kerja sama multipihak dapat menghasilkan pemantauan dan pencegahan yang lebih efektif dan efisien karena setiap institusi memiliki sumber daya, keahlian dan kewenangan untuk menindak yang berbeda-beda.