Edisi Kesembilan ini menyajikan 5 Wilayah Teratas untuk Dipantau yang terindikasi mengalami penebangan hutan ilegal selama periode 1 Januari – 31 Maret 2020. Pantau Jejak menggunakan metode dan data GLAD Alert dari Global Forest Watch yang dianalisis setiap periode tiga bulanan.

#1 Desa Taringen, Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah: 115,92 Ha

Wilayah terindikasi #1 berada dalam kawasan hutan produksi dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Wilayah ini terindikasi berada dalam lokasi izin perkebunan sawit. Pembukaan hutan diduga untuk perluasan kebun sawit yang telah ada karena pengamatan citra satelit menunjukkan pola pembukaan yang teratur dengan blok-blok besar dan adanya jaringan jalan yang terhubung ke wilayah pembukaan. Hingga akhir periode pengamatan, lahan yang dibuka belum dimanfaatkan sehingga tujuan pembukaan hutan belum dapat diidentifikasi.

Kecamatan Manuhing dilaporkan sebagai salah satu daerah di Kabupaten Gunung Mas yang rentan terhadap pembalakan liar. Meskipun tidak spesifik mengenai wilayah terindikasi #1, laporan EIA dan JPIK menunjukkan bahwa cukup banyak kayu ilegal yang berasal dari penyalahgunaan izin perkebunan sawit di Kabupaten Gunung Mas.

#2 Kampung Naena Muktipura, Kecamatan Iwaka, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua: 78,93 Ha

Wilayah terindikasi #2 berada dalam kawasan hutan produksi dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Wilayah ini berbatasan langsung dengan areal penggunaan lain di bagian utara. Berdasarkan hasil pengamatan citra satelit, lokasi pembukaan hutan berbatasan dengan jalan utama. Penyebab pembukaan hutan belum dapat diidentifikasi karena lahan yang terbuka belum dimanfaatkan hingga akhir periode pengamatan.

Pada bulan Juli 2020 lalu, banjir bandang melanda beberapa wilayah di Mimika, termasuk Iwaka, yang diduga sebagai akibat dari gangguan atas tutupan hutan karena penebangan pohon.

#3 Desa Tababu, Kecamatan Tirawuta, Kabupaten Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara: 76,68 Ha

Penebangan hutan illegal terindikasi di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit XXII Laiwoi dengan tutupan hutan lahan kering primer. Dari pengamatan citra satelit, pembukaan hutan diduga untuk pertanian lahan kering karena pola pembukaan yang berupa blok-blok kecil menyebar, dimana di sekitar wilayah pembukaan sudah didapati pertanian lahan kering dengan pola yang hampir sama.

Pembukaan hutan untuk perkebunan di Kolaka Timur dilaporkan cukup sering terjadi hingga merambah kawasan hutan lindung. Dalam Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (2016-2026) KPHL Unit XXII Laiwoi, penebangan hutan ilegal sudah terindentifikasi sebagai salah satu permasalahan di wilayah kelola KPHL tersebut.

#4 Desa Tepian, Kecamatan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara: 73,35 Ha

Wilayah terindikasi #4 berada dalam kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit IV Nunukan dengan tutupan hutan mangrove sekunder. Wilayah ini berbatasan dengan areal penggunaan lain (APL) di sebelah Timur. Dari pengamatan citra satelit, pembukaan hutan diduga untuk pembuatan tambak baru sebagaimana wilayah APL di sekitarnya.

Pada tahun 2018, luas penambakan yang merambah kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Utara dilaporkan mencapai 78.592 ha di kawasan Hutan Produksi dan 659 ha lainnya berada di Kawasan Hutan Konservasi. Selain itu, kawasan hutan mangrove di Kalimantan Utara, termasuk Kecamatan Sembakung, dilaporkan berubah menjadi lahan tambak dalam jumlah yang besar.

#5 Kampung Timika Indah, Kecamatan Mimika Baru, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua: 70,74 Ha

Wilayah terindikasi #5 berada dalam kawasan hutan produksi yang memiliki tutupan hutan lahan kering sekunder, dan terletak 10 km di sebelah timur laut wilayah terindikasi #2. Wilayah #5 ini terindikasi berada dalam izin lokasi perkebunan kelapa sawit. Pola pembukaan hutan wilayah #5 berukuran kecil dan berada di sisi jalan utama. Penyebab pembukaan hutan belum dapat diidentifikasi karena lahan belum dimanfaatkan hingga akhir periode pengamatan.

Penebangan hutan ilegal di Kecamatan Mimika Baru belum banyak diberitakan atau dilaporkan dalam media-media yang dapat diakses publik. Namun demikian, wilayah terindikasi #5 ini tidak jauh dari wilayah terindikasi #2 yang berlokasi di Kecamatan Iwaka dimana bencana banjir terjadi Juli-Agustus lalu.

Langkah Selanjutnya

Daftar Kelima Wilayah Teratas tersebut masih berupa indikasi, yang dihasilkan dari analisis menggunakan sejumlah instrumen yakni GLAD Alert, Peta Status Kawasan Hutan, dan Peta Tutupan/Penggunaan Lahan. Namun demikian, hasil analisis ini dapat menjadi petunjuk dalam menentukan wilayah hutan prioritas untuk dipantau dari ancaman penebangan ilegal. Berikut ini langkah-langkah yang perlu ditempuh sesegera mungkin.

1. Verifikasi Lapangan dan Tindakan untuk Mencegah Perluasan Kegiatan Penebangan Hutan Ilegal di Kelima Wilayah Terindikasi.

Pada edisi ini, wilayah terindikasi #3 perlu menjadi perhatian khusus karena penebangan hutan berlokasi di kawasan hutan lindung dan berpotensi mengalami peluasan area ke area hutan di sekitarnya. Selain itu, wilayah terindikasi #2 dan #5 terletak berdekatan di Kabupaten Mimika sehingga memerlukan perhatian khusus agar tidak berkembang menjadi masif di wilayah tersebut. Bencana banjir yang terjadi Juli-Agustus lalu di Kabupaten Mimika juga memberikan urgensi penanganan penebangan hutan ilegal tersebut sebagai upaya penanggulangan bencana.

Oleh karena itu, institusi yang berwenang dalam perlindungan kawasan hutan di kelima wilayah terindikasi, seperti unit-unit KPH terkait, Direktorat Jenderal KLHK, Dinas Kehutanan Provinsi setempat, dan Kepolisian setempat, secara kolaboratif perlu segera melakukan verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan terhadap perluasan penebangan dan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal. Urun daya masyarakat setempat dengan memberikan informasi dari lapangan juga dapat memperkuat proses verifikasi tersebut. Jika verifikasi lapangan tidak dilakukan dengan segera, penebangan hutan ilegal akan semakin masif dan dampak negatif kerusakan lingkungan tidak dapat terelakkan. Semakin luas kawasan hutan yang telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kegiatan non-kehutanan, upaya penanggulangan dan pemulihan akan semakin sulit dilakukan.

2. Setelah Verifikasi Lapangan Dilakukan, Upaya Penanganan Harus Mempertimbangkan Aspek Sosial-Ekonomi Masyarakat Setempat.

Indikasi penebangan hutan di wilayah-wilayah terindikasi tersebut sarat dengan kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil. Oleh karena itu, setelah verifikasi dilakukan, upaya penanganan perlu mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. Mekanisme penanganan yang dilakukan sebaiknya memuat skema penyelesaian konflik, perhutanan sosial, reforma agraria, dan penegakan hukum yang adil. Tidak hanya itu, penelusuran pelaku juga perlu dilakukan sampai kepada dalang (pelaku intelektual) yang mengambil keuntungan dari kegiatan penebangan hutan secara ilegal tersebut.