Kebakaran di Kalimantan Tengah, Indonesia. Sumber foto: Rini Sulaiman/ Kedutaan Norwegia
Kebakaran di Kalimantan Tengah, Indonesia. Sumber foto: Rini Sulaiman/ Kedutaan Norwegia

Untuk bacaan lebih lanjut, lihat editorial kami di Jakarta Post.

Kurang dari empat bulan yang lalu, jutaan masyarakat di Singapura, Malaysia, dan Indonesia menderita karena polusi udara terparah yang pernah tercatat di Asia Tenggara ketika ratusan titik api membara di sepanjang Sumatra. Titik api tersebut mengakibatkan kerusakan yang parah, memicu status darurat bagi kesehatan publik, dan memaksa ditutupnya sekolah-sekolah, serta mengancam pariwisata dan bisnis lainnya.

Minggu ini Sultan Brunei akan menjadi tuan rumah ASEAN Summit yang ke-23. Mencegah titik api baru dan kabut asap menjadi salah satu agenda prioritas. Langkah-langkah dan keputusan kunci dari para Presiden dan Perdana Menteri sangat diperlukan minggu ini. Para Menteri ASEAN telah bertemu Juli lalu untuk membahas isu ini namun gagal untuk menyepakati langkah-langkah yang signifikan; jiwa kepemimpinan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah yang telah berlarut-larut ini.

WRI telah melakukan pemantauan secara seksama terhadap titik api dan kabut asap sejak bulan Juni. Kami telah mengeluarkan beberapa analisis yang menekankan lokasi dan pola dari titik api, dan kami menyarankan beberapa langkah yang dapat diambil oleh para pembuat kebijakan, perusahaan, dan kelompok lainnya untuk mengurangi risiko titik api dan kabut asap kedepannya. Saat ini kami sudah bisa membagi ringkasan temuan dari analisis detail titik api di bulan Juni menggunakan citra satelit resolusi tinggi (lihat kotak teks di bawah untuk detail yang lebih teknis).

Temuan-temuan serta signifikansinya dapat dilihat di bawah ini:

1) Lebih dari 1.500 km2 lahan mengalami kebakaran di wilayah studi di Provinsi Riau selama krisis kebakaran dan kabut asap di bulan Juni. Ini merupakan bencana alam dan kemanusiaan dalam skala besar yang membutuhkan respon yang menyeluruh dari para pembuat kebijakan.

Kebakaran melahap wilayah dengan ukuran dua kali luas Singapura, itupun hanya di wilayah studi, dan meninggalkan banyak bekas kebakaran yang mengakibatkan kerusakan secara ekonomi bagi hutan dan masyarakat. WRI memilih 2.2 juta hektar wilayah studi dengan memeriksa wilayah dengan kepadatan hutan tertinggi. Wilayah studi dan kerangka waktu dibatasi di wilayah tersebut karena masalah ketersediaan dan biaya citra satelit resolusi tinggi. Sangatlah penting untuk dicatat bahwa jumlah titik api di wilayah tersebut jauh lebih parah ketimbang yang dilaporkan di sini, karena banyak titik api yang terjadi di luar wilayah studi.

Sebelumnya analisis WRI menunjukkan bahwa titik api dalam skala ini telah terjadi sebanyak tiga kali dalam sepuluh tahun terakhir. ASEAN Summit merupakan kesempatan yang sangat baik bagi para pemimpin di Asia Tenggara untuk mengakui betapa seriusnya masalah kebakaran ini, dan kemungkinan yang sangat besar kebakaran tersebut terjadi lagi jika langkah-langkah yang jelas dan kolaboratif untuk mengatasi masalah ini tidak dilakukan.Hal ini dapat mencakup batasan-batasan seperti membentuk panel khusus yang beranggotakan pemimpin pemerintahan, bisnis, dan masyarakat untuk mengembangkan rekomendasi prioritas langkah-langkah pada awal 2014, dengan komitmen untuk melangkah kedepan menghadapi musim kebakaran berikutnya tahun depan.

2) Banyak titik api terjadi secara ilegal. Titik api terjadi di lahan gambut dan di beberapa kasus terjadi di wilayah yang dilindungi, termasuk di Taman Nasional Tesso Nilo yang sangat signifikan secara global

Analisis terbaru menunjukkan bahwa 72 persen titik api di wilayah studi terjadi di lahan gambut (sebuah lapisan tanah, seringkali dengan kedalaman beberapa meter, yang terdiri dari materi organik yang telah sebagian membusuk). Terlebih lagi, kebakaran yang ekstensif terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo, di mana 700 hektar dari 6000 hektar wilayah studi yang mengalami kebakaran. Membakar lahan gambut dan wilayah yang dilindungi merupakan sesuatu yang ilegal menurut hukum di Indonesia. Membakar lahan gambut juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi, begitu banyak emisi yang dihasilkan sehingga akan mengancam kemampuan Indonesia untuk memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca. Pemegang konsesi dan pemerintah Indonesia harus menaruh investasi lebih dalam pencegahan kebakaran di wilayah tersebut serta kapabilitas untuk menanggulangi kebakaran yang lebih cepat.

3) Titik api terlihat lebih ekstensif di dalam wilayah konsesi beberapa perusahaan. Bekas kebakaran terlihat menutupi lebih dari 100 km2 di dua wilayah konsesi, dan sebanyak 12 konsesi memiliki titik api yang berjumlah di antara 10-100 km2.

Analisis resolusi tinggi WRI menemukan bekas kebakaran yang sangat ekstensif dan terpusat. Berdasarkan peta konsesi dari Kementrian Kehutanan Republik Indonesia tahun 2013 perusahaan terlihat memiliki izin untuk beroperasi di wilayah-wilayah tersebut. Seperti yang terlihat di Gambar 3 di bawah ini, wilayah dengan bekas kebakaran terbesar ditemukan di wilayah konsesi kayu pulp, sementara bekas kebakaran besar lainnya juga terlihat di wilayah konsesi kelapa sawit. Gambar 4 menunjukkan luas bekas kebakaran di dalam dua wilayah konsesi yang mengalami kebakaran yang parah. Seperti yang telah ditekankan oleh WRI, hasil temuan ini tidak serta-merta berarti perusahaan-perusahaan ini yang memulai dan bertanggung jawab terhadap kebakaran, karena adanya ketidakakuratan dalam peta konsesi yang tersedia untuk analisis. Menemukan siapa yang bertanggung jawab terhadap kebakaran hanya dapat ditelusuri dengan investigasi yang menyeluruh dan independen di lapangan, serta peta-peta konsesi yang lebih detail. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi pemerintah dan perusahaan untuk membuat komitmen dalam membuka semua data konsesi kepada publik.

4) Para pembuat kebijakan di Asia Tenggara dapat menggunakan peringatan titik api harian NASA untuk mengawasi titik api dengan lebih pasti.

Analisis WRI menunjukkan bahwa sistem resolusi-menengah NASA MODIS FIRMS secara tepat mendeteksi 97 persen titik api, jika dibandingkan dengan analisis GIS menggunakan citra beresolusi tinggi. Hal ini langsung menjawab keraguan berbagai pihak mengenai akurasi data NASA. Data NASA tidak hanya sangat akurat, tapi juga diperbaharui setiap hari dan tersedia secara gratis kepada siapapun. Oleh karenanya, para pembuat kebijakan dapat fokus menyusun langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah kebakaran dan respon yang cepat apabila terdeteksi titik api, serta tidak memerlukan lagi sistem pengawasan yang baru (mahal).

Penyempurnaan lebih lanjut terhadap analisis yang diringkas di sini terhalang oleh buruknya kualitas peta-peta konsesi yang tersedia untuk publik di Indonesia. Para pemimpin negara yang berkumpul di ASEAN Summit minggu ini harus sepakat untuk mengeluarkan peta-peta konsesi di negaranya masing-masing serta mempercepat usaha untuk meningkatkan kualitas dari peta-peta tersebut. Hal ini akan mendukung penegakkan hukum yang lebih efektif; meningkatkan koordinasi di antara badan-badan pemerintah, pemerintah lokal, dan nasional; analisis yang lebih baik dari universitas dan para peneliti; dan kemampuan untuk mengembangkan cara-cara untuk mencegah bencana kebakaran dan kabut asap kedepannya. Sebuah komitmen untuk tata kelola yang transparan mengenai masalah kebakaran dan kabut asap akan membuka kesempatan bagi banyak organisasi untuk saling bekerja sama menghadapi tantangan ini.

Citra satelit resolusi tinggi dan metode-metode yang digunakan dalam analisis ini

WRI mendapatkan citra resolusi tinggi dari sistem RapidEye yang menyediakan citra optik multi-band dengan resolusi 5m sangat ideal untuk melihat wilayah bekas kebakaran terjadi, yang disebut dengan “bekas kebakaran”. Diperoleh gambar-gambar dari wilayah seluas 2.2 juta hektar di Provinsi Riau, Sumatra, Indonesia, sebelum dan sesudah kebakaran di bulan Juni. Titik api di wilayah tersebut mewakili 50 persen dari seluruh peringatan titik api yang dilaporkan oleh sistem NASA MODIS FIRMS selama Juni 2013 di Provinsi Riau.

Data satelit RapidEye diperoleh untuk setiap hari setelah tanggal 30 Juni 2013 dan diinterpretasikan dengan inspeksi visual dan digitasi komputer. Data satelit diinterpretasikan seperti yang tampak di gambar sebagai kombinasi band 5,4,3 (Merah, Hijau, Biru). Gambar 5 memberikan contoh citra RapidEye dengan bekas kebakaran terlihat sangat jelas dalam warna hitam dan abu-abu.

Peta-peta taman nasional (2006) diperoleh dari Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Data konsesi kayu pulp dan kelapa sawit (2013) diperoleh dari Kementrian Kehutanan Republik Indonesia.

RapidEye (http://www.rapideye.com/) memiliki konstelasi lima satelit di orbit yang berisi sensor identik yang sama-sama dikalibrasi untuk menghasilkan data resolusi 5m setelah orthorectification.

Dalam studi ini data RapidEye yang telah mengalami orthorectification didapatkan untuk 2.2 juta hektar untuk hari-hari setelah tanggal 30 Juni 2013 (dari tanggal 7 Juli 2013 hingga 26 Agustus 2013). Tidak adanya band gelombang pendek infra merah mempersulit penggunaan salah satu algoritma pendeteksi titik api yang biasa digunakan. Oleh karenanya, dua metode diuji, sistem deteksi otomatis berbasis NDVI drop in dan kedekatan dengan titik api menurut NASA FIRMS (dengan Google Earth Engine), serta interpretasi visual menggunakan ArcMap 10.1 ESRI.

Karena tutupan awan menghalangi klasifikasi otomatis, inspeksi visual digunakan dalam studi ini. Interpretasi visual menjadi simpel karena data yang diperoleh memiliki resolusi yang tinggi. Unit terkecil yang dapat dipetakan dipilih sebagai 5.000m2 (0.5 hektar).

Data RapidEye ditampilkan sebagai kombinasi band 5,4,3 (Merah, Hijau, Biru) dan diinterpretasikan ke dalam empat kelas (kebakaran yang jelas, kebakaran kecil yang kompleks, pembukaan lahan tanpa tanda-tanda kebakaran, tidak ada kebakaran). Dalam analisis yang lebih lanjut, hanya wilayah dengan kebakaran yang jelas digunakan dalam pengolahan statistik.

Interpretasi bekas kebakaran diproyeksikan ke dalam UTM 47 N dan statistik diperoleh dari analisis GIS menggunakan data MODIS FIRMS, dan data Kementrian Kehutanan mengenai taman nasional (2006) dan konsesi pulp dan kelapa sawit (keduanya di tahun 2013).

Kami mengasumsikan bahwa dengan hanya menggunakan kelas “kebakaran yang jelas” dan unit terkecil yang dapat dipetakan sebesar 0.5 hektar, kami menganggap remeh wilayah yang mengalami kebakaran. Oleh sebab itu, hasil yang diperoleh di dalam studi ini harus dipandang sebagai sesuatu yang konservatif.