Pemulihan Rendah Karbon Mampu Ciptakan Lapangan Kerja dan Meningkatkan Perekonomian Indonesia
Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh Koran Tempo pada tanggal 29 Juni 2020.
COVID-19 merupakan sebuah tragedi kemanusiaan abad ini. Tingkat penularan dan angka kematian yang terus bertambah, serta dampak ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19 sangat mengkhawatirkan. Pandemi ini seolah mengingatkan dunia bahwa kita sangat rentan terhadap krisis, dan bahwa kita harus bersiap untuk mencegah berbagai risiko besar lainnya di masa mendatang, termasuk diantaranya pandemi dan dampak perubahan iklim. Saat dunia bangkit untuk pulih dari pandemi ini, kita memiliki peluang untuk membangun kembali bumi kita sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia memiliki peran besar.
Prioritas pemerintah Indonesia saat ini adalah menghentikan penyebaran virus dan menyelamatkan sebanyak-banyaknya nyawa, sembari menjaga stabilitas ekonomi. Selain dampak buruk pada kesehatan masyarakat, pandemi ini telah memukul perekonomian Indonesia. Pemerintah telah menyesuaikan target tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020, yang awalnya diharapkan lebih dari 5% menjadi 2,3%. Sejauh ini, langkah bantuan yang diberikan untuk membangu stimulus awal sebanyak $ 33 miliar, sekitar 3,4% dari PDB negara. Tingkat pengangguran pun diperkirakan akan melonjak hingga 8,5%, jauh lebih tinggi dari tingkat pengangguran pada 2019 sebesar 5,3%.
Untuk memulihkan perekonomian, pemerintah Indonesia mengeluarkan stimulus sekitar 641 triliun rupiah (43 miliar USD). Pemerintah juga tengah mempersiapkan respons jangka panjang untuk mengatasi krisis ini. Seperti halnya berbagai negara di seluruh dunia, respons jangka panjang ini menentukan masa depan Indonesia. Indonesia dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan membangun kembali dengan lebih baik melalui pembangunan rendah karbon, atau mempertahankan model pembangunan yang tidak berkelanjutan dan tinggi polusi (business as usual).
Berbagai bukti telah menunjukkan bahwa stimulus yang diarahkan pada pembangunan rendah karbon dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
Para pejalan kaki yang sedang menikmati Car Free Day di kota Jakarta. Foto oleh Gunawan Karya Pranata / Wikimedia Commons.
Studi terbaru yang dirilis Universitas Oxford menunjukkan bahwa paket pemulihan dan kebijakan ekonomi yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan emisi gas rumah kaca memiliki prospek yang lebih baik untuk meningkatkan pendapatan negara dan meningkatkan berbagai sumber daya seperti masyarakat yang produktif, modal sosial, infrastruktur, dan sumber daya alam. Pengalaman krisis ekonomi pada masa lalu pun mendukung temuan ini. Krisis Keuangan 2008 menunjukkan kepada dunia bahwa ‘stimulus hijau’ mampu menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran yang diarahkan pada pembangunan tinggi karbon.
Sebagai contoh, dalam paket pemulihan ekonomi Amerika Serikat pasca krisis 2008, setiap 1 miliar USD yang diinvestasikan pada proyek infrastruktur transportasi publik menciptakan hampir dua kali lipat peluang kerja dibandingkan investasi pada jalan raya. Selain itu, investasi AS pada energi terbarukan dan efisiensi energi dapat melipatgandakan lapangan kerja dibandingkan dengan investasi pada energi fosil.
Sama halnya dengan Korea, dari semua negara OECD, Korea menginvestasikan sebagian besar stimulus pasca krisis 2008 (69%) untuk pembangunan rendah karbon, dan Korea adalah salah satu yang paling cepat bangkit dari krisis. Dengan memilih kebijakan dan paket pemulihan yang tepat, Indonesia dapat meraih manfaat yang sama.
Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan dalam pembangunan rendah karbon. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 Indonesia menjadi dokumen perencanaan “hijau” pertama yang didasarkan pada hasil riset Pembangunan Rendah Karbon Indonesia yang digagas oleh BAPPENAS. Sama halnya seperti di AS dan Korea, terdapat banyak contoh nyata di Indonesia di mana pembangunan rendah karbon telah membangun Indonesia dengan lebih baik melalui pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pelestarian lingkungan.
Di pulau Belitung, masyarakat yang awalnya bergantung pada penambangan timah sebagai mata pencaharian telah beralih ke industri ekowisata dengan membangun Belitung Mangrove Park di kawasan bekas lahan tambang timah. Ekowisata yang dikelola masyarakat ini telah menciptakan lapangan kerja bagi 164 penduduk setempat dan menghasilkan manfaat ekonomi senilai Rp50-65 juta per bulan, sembari memulihkan 50 hektar lahan mangrove dan ekosistem pesisir lainnya. Keberhasilan ekowisata ini juga telah menarik investasi tambahan sebesar Rp21,9 miliar, sebuah peningkatan tajam dari investasi awal sebesar Rp2 miliar.
Contoh lain adalah upaya perlindungan terhadap hutan gambut di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah dari perluasan perkebunan kelapa sawit. Sebagai mata pencaharian alternatif bagi masyarakat, metode pembukaan lahan tanpa bakar diperkenalkan sebagai strategi untuk pertanian berkelanjutan di lahan gambut. Metode ini tidak hanya meningkatkan produktivitas beras sebesar 300% (dari 2 ton/ ha/ tahun menjadi 6 ton/ha/tahun) dan menghasilkan pendapatan tambahan sebesar 1 juta/ bulan untuk setiap keluarga, tetapi juga menyelamatkan lahan gambut dan kawasan hutan di sekitarnya dari kebakaran selama 3 tahun berturut-turut. Contoh-contoh ini membuktikan bahwa insentif fiskal dapat mencapai manfaat ekonomi dan lingkungan secara bersamaan.
Pemulihan rendah karbon di sektor energi dan kehutanan
Seorang tenaga kerja pembangkit listrik tenaga panas bumi Lahendong, Indonesia. Foto oleh Asian Development Bank / Flickr.
Kebijakan stimulus fiskal yang tepat pada sektor energi dan kehutanan menjadi sangat penting dalam skema pemulihan rendah karbon.
Di sektor energi, alokasi stimulus fiskal Indonesia harus diarahkan pada upaya untuk mempercepat transisi menuju energi terbarukan dan mengurangi investasi pada bahan bakar fosil. Ketergantungan Indonesia pada batu bara muncul dari persepsi di masa lampau bahwa biaya batu bara lebih rendah daripada energi terbarukan. Padahal, keseluruhan biaya proyek baru batu bara sekarang lebih tinggi daripada investasi pada energi terbarukan sekaligus dapat meningkatkan kualitas hidup dan menciptakan lapangan kerja. Transisi menuju energi terbarukan dapat menghindarkan Indonesia dari 40.000 kematian akibat polusi udara setiap tahun hingga 2045. Meningkatnya polusi udara berarti juga meningkatkan kerentanan masyarakat akan penyakit yang menyerang saluran pernapasan seperti COVID-19.
Pengambilan gambar melalui udara di hutan Kalimantan Timur, yang menjadi lahan industri minyak kelapa sawit. Foto oleh Nanang Sujana/CIFOR.
Di sektor kehutanan, stimulus pemulihan harus diarahkan pada perbaikan tata kelola hutan dan lahan serta reboisasi untuk mencegah meningkatnya kerugian ekonomi, memastikan ketahanan pangan, dan melindungi hutan.
Dengan mempertahankan dan memulihkan hutan, Indonesia dapat membangun ketahanan terhadap bencana alam, dampak krisis iklim, dan pandemi di masa depan.
Indonesia telah menjalankan berbagai kebijakan penting untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya hutan, termasuk melalui moratorium atas pemberian izin baru di hutan alam dan lahan gambut. Indonesia dapat memperkuat upaya tersebut melalui penegakan hukum atas larangan pembukaan hutan dan gambut, peningkatan produktivitas lahan, dan upaya untuk menghasilkan minyak sawit secara berkelanjutan.
Indonesia dapat membangun kembali perekonomian yang lebih makmur, tangguh, dan inklusif. Transisi menuju pembangunan rendah karbon membutuhkan kepemimpinan dan komitmen yang kuat, yang telah dibuktikan melalui RPJMN 2020-2024 yang rendah karbon. Transisi ini juga memerlukan keterlibatan semua sektor, baik pusat maupun daerah.
Kita mampu dan harus membangun kembali dengan lebih baik masa depan bagi bangsa Indonesia melalui jalur pembangunan rendah karbon.