Oleh: Talia Liney

Hutan adalah sebuah ruang kompleks di mana kekuatan positif dan negatif saling tarik menarik. Memiliki hamparan hutan hujan yang sangat luas tempat bertumbuhnya kehidupan yang luar biasa namun juga menjadi tempat penghancuran besar-besaran, Indonesia sangat memahami hal ini.

Dalam upaya untuk mengatasi konflik terkait wilayah hutan yang terus berlangsung di Indonesia, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) didirikan. Unit-unit ini bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan yang lebih efektif, adil dan berkelanjutan, sebuah tugas yang terbukti dipenuhi berbagai tantangan. Dibentuk sebagai organisasi untuk menjembatani, KPH berperan membantu kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat setempat. Namun, sejak didirikan, organisasi ini masih kesulitan untuk secara efektif mengambil kendali atas pengelolaan hutan karena kebijakan dan peraturan yang sangat kompleks dan selalu berubah.

Dalam perjalanan baru-baru ini ke Pagar Alam di Sumatera Selatan, kompleksitas hutan Indonesia sudah terlihat bahkan sebelum turun dari pesawat. Terbang di atas jalinan hutan lebat, perkebunan dan masyarakat pedesaan, terbayang perjuangan dan konflik yang bisa terjadi di bawah sana.

Anda bisa melihat hutan lebat, perkebunan dan masyarakat pedesaan dari atas. Kredit foto: Talia Liney

Dilatarbelakangi sejarah panjang perebutan kekuasaan antara pemerintah dan sektor swasta, jaringan kompleks berbagai kebijakan dan kenyataan di lapangan yang saling bertentangan mulai muncul di Indonesia. Di sini lah KPH hadir sebagai entitas yang berperan penting bagi masa depan kehutanan, namun juga menghadapi ketidakberdayaan dan tantangan besar dalam menangani konflik.

Perjalanan ke Pagar Alam, Sumatera Selatan ini bertujuan untuk meninjau tingkat partisipasi berbagai pemangku kepentingan di bidang kehutanan. Dalam konteks kehutanan di Indonesia yang lebih luas, terdapat jaringan pemangku kepentingan yang kompleks; dari berbagai level pemerintah, LSM lokal dan internasional, perusahaan swasta, perusahaan multinasional hingga kelompok adat dan masyarakat lokal. Masing-masing dari mereka memiliki cara pandang, perspektif dan niat penggunaan dan pengelolaan lingkungan yang berbeda-beda dan sering bertentangan. Keragaman pandangan ini dapat menimbulkan tantangan yang signifikan dalam keterlibatan pemangku kepentingan; kurangnya insentif untuk kolaborasi lintas sektoral dapat berujung pada kegagalan semua pihak dalam mencapai tujuan mereka masing-masing. Karena kurangnya keterlibatan antara pemangku kepentingan ini, semakin sulit bagi KPH untuk secara efektif masuk ke dalam pengelolaan hutan dan sumber daya, yang berdampak buruk pada kredibilitas dan otoritas mereka.

Hutan di sekitar Pagar Alam terdiri dari Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Adat. Pertemuan dengan petani dari masing-masing kawasan hutan tersebut bersama dengan perwakilan dari WRI Indonesia, Institut Hutan Kita (HaKI), KPH setempat dan pemerintah daerah menunjukkan betapa rumitnya tata kelola hutan di wilayah tersebut. Dalam wawancara dengan para pemangku kepentingan ini, ditemukan tidak adanya koordinasi antara KPH dan lembaga pemerintah, yang terutama didorong oleh kekurangan sumber daya. Agar KPH dapat menjalankan perannya sebagai garda terdepan dalam pengelolaan hutan di Indonesia, keterlibatan pemangku kepentingan yang kredibel dalam KPH sangat dibutuhkan.

Representatives from WRI Indonesia, HaKI, the local KPH and the local government met to highlight the complexities of forest governance in Pagar Alam. Photo credit: Talia Liney

Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan kerja sama lintas sektoral yang disertai dengan komunikasi vertikal dan horizontal di antara semua pemangku kepentingan. Jika pembuat kebijakan dapat mengenali dan melibatkan beragam pemangku kepentingan dalam proses mereka, mereka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk merancang dan menerapkan kebijakan yang dapat menyeimbangkan antara konservasi, pembangunan ekonomi dan keberlanjutan serta pengentasan kemiskinan. Faktor penting dalam proses ini adalah pelibatan berbagai sistem pengetahuan; penggabungan pengetahuan adat setempat dengan pengetahuan ilmiah yang teknis sangat penting untuk mencapai hasil yang berasaskan keadilan. Menerapkan lensa multidimensi adalah bagian kunci dari proses ini agar semua aliran pengetahuan yang diperlukan untuk menyinergikan semua aspek pengelolaan lingkungan dapat dipertimbangkan.

Selama beberapa bulan terakhir, WRI Indonesia dan HaKI terus bekerja untuk memfasilitasi kolaborasi antar para pemangku kepentingan terkait untuk mendukung pengembangan perhutanan sosial di Pagar Alam. Dengan diperkenalkannya izin perhutanan sosial, partisipasi pemangku kepentingan memainkan peran integral dalam pengembangan pengajuan izin, pembangunan pertanian dan model pengelolaan hutan yang efektif. Ada berbagai ilmu pengetahuan yang terlibat terkait hutan masyarakat dan hutan adat di Pagar Alam dan sulit untuk menentukan seberapa erat kolaborasi di antara berbagai ilmu pengetahuan ini, jika ada. Meskipun demikian, terbukti bahwa dengan diperkenalkannya perhutanan sosial, pengetahuan teknis mulai terintegrasi dengan pengetahuan adat dan pengetahuan setempat dalam pengembangan rencana kerja jangka menengah dan tahunan untuk pengelolaan hutan. Bermunculan proyek-proyek seperti metode baru transplantasi pohon kopi untuk meningkatkan hasil panen hingga tiga kali lipat serta program “1 juta transplantasi” yang diperkenalkan oleh pemerintah daerah tahun ini. Program ini menyasar perkebunan kopi rakyat, yang sebagian besar berada di kawasan perhutanan sosial.

Keterhubungan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan merupakan isu dasar yang dihadapi dalam kehutanan Indonesia, di mana aktor pemerintah dan pembuat kebijakan sering kali diminta untuk memilih antara perlindungan lingkungan dengan mata pencaharian dan keamanan penduduk Indonesia. Dengan kolaborasi antara para pemangku kepentingan, kebijakan kehutanan di Indonesia dapat mempertimbangkan manfaat jangka panjang dari perlindungan lingkungan terhadap ketahanan pangan dan mata pencaharian. Jika hal ini dapat dicapai, maka KPH akan memiliki kemampuan yang jauh lebih baik untuk berfokus pada tujuan jangka panjang dan secara efektif memerangi konflik dan memfasilitasi tata kelola hutan yang adil.