Artikel ini telah dipublikasikan di Tempo.co pada 30 November 2021.

Keberadaan hutan boleh dibilang berada di panggung utama perundingan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk perubahan iklim (COP26) di Glasgow, UK, dan menjadi bahan percakapan maupun negosiasi sepanjang berlangsungnya perhelatan tahunan tersebut. Salah satu buktinya adalah Deklarasi Glasgow tentang Hutan dan Penggunaan Lahan dimana 142 negara berkomitmen untuk bersama-sama menghentikan deforestasi dan degradasi lahan pada tahun 2030. Walau tidak mengikat secara hukum, ada kemendesakan moral dalam deklarasi itu. Indonesia merupakan salah satu negara penandatangan deklarasi tersebut.

Beberapa janji dan komitmen pendanaan kemudian mengemuka sebagai kelanjutan dari Deklarasi Glasgow. Total sejumlah US$19,2 miliar dollar, yang dijanjikan untuk melindungi dan merestorasi hutan. Janji pendanaan ini mencakup pula US$1,7 miliar untuk memajukan kesejahteraan masyarakat adat dan komunitas lokal, terutama untuk lebih melibatkan peran kelompok ini dalam perencanaan dan pengambilan keputusan program iklim.

Dalam COP26, beberapa pihak berjanji membuat cara kerja baru untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan usahanya. Sebanyak 28 negara yang tergabung dalam Forest, Agriculture and Commodity Trade (FACT) Dialogue, dengan Indonesia sebagai ketua bersama (co-chair), bersepakat melindungi hutan dalam memperdagangkan komoditas produk hutan dan pertanian. Sebanyak 12 perusahaan dengan pangsa pasar global yang dominan untuk komoditas kedelai, coklat, sawit, dan peternakan, juga berkomitmen menghentikan kehilangan hutan yang berkaitan dengan produksi serta perdagangan komoditas pertanian.

Sektor keuangan juga menyatakan dukungannya. Lebih dari 30 lembaga keuangan, yang secara kumulatif mengelola aset senilai US$8,7 triliun, berkomitmen untuk melenyapkan risiko deforestasi dari investasinya di sektor pertanian serta perkebunan selambat-lambatnya pada 2025. Apa artinya janji dan komitmen tersebut bagi pencapaian target pengurangan emisi Indonesia? World Resources Institute membandingkan antara skenario tanpa intervensi (business-as-usual) dengan pengurangan emisi karbon di hutan dan lahan melalui pemenuhan janji serta komitmen Deklarasi Glasgow. Menghentikan kehilangan hutan pada 2030 di semua negara penanda tangan deklarasi akan menghindarkan kehilangan hutan seluas 32,8 juta hektare dan terjadinya emisi karbon sebesar 18,9 gigaton setara CO2.

Di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019) ihwal tutupan hutan primer dan sekunder di Papua pada 2019, terdapat 34,039 juta hektare hutan yang mencakup 84 persen wilayah Papua. Menurut Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup pada 2021, hamper 70 persen hutan Papua berada dalam moratorium permanen. Jika dianggap 70 persen hutan Papua terlindungi, akan ada peluang penghilangan hutan dari 84 persen ke 70 persen atau 5,5 juta hektare pada hutan yang tidak terlindungi secara permanen. Artinya ada peluang terjadinya pelepasan emisi sebesar 2,4 gigaton setara CO2.

Dalam dokumen kontribusi pengurangan emisi Indonesia (NDC) yang disampaikan kepada PBB disebutkan bahwa, dalam kondisi business as usual, emisi Indonesia pada 2030 sebesar 2,87 gigaton setara CO2. Bila membandingkannya dengan emisi karbon dari skenario penghilangan hutan seluas 5,5 juta hektare di Papua tersebut, jelas bahwa Indonesia perlu secara kuat mengusahakan pencegahan kehilangan hutannya dengan, misalnya, memanfaatkan kawasan hutan yang tidak lagi memiliki tegakan pohon atau telah terdegradasi seluas 34 juta hektare (Bappenas, 2020). Pemerintah juga perlu melaksanakan reforestasi dan/atau restorasi secara besar-besaran, yang lebih besar dari alokasi rehabilitasi hutan pada APBN 2021 sebesar Rp 952 milyar rupiah untuk 56 ribu hektare (Nota Keuangan RAPBN 2021). Pada saat yang sama, pemerintah juga harus melindungi hutan sekunder yang tegakan pohonnya baik seluas 42,2 juta hektare (KLHK, 2019).

Menghentikan emisi yang dilepaskan ke atmosfer dari deforestasi adalah capaian mitigasi iklim yang sangat besar. Meski demikian, hutan juga memiliki potensi lain. Sejalan dengan pertumbuhan hutan, sejumlah karbon terserap dari atmosfer. Data Global Forest Watch selama 2001-2020 menunjukkan bahwa, secara global, hutan menyerap rata-rata 7,3 gigaton setara CO2 per tahun. Pada periode tahun yang sama, hutan Indonesia menyerap 0,644 gigaton setara CO2 per tahun dan mengeluarkan emisi sebesar 0,948 gigaton setara CO2 atau secara keseluruhan menghasilkan emisi bersih sebesar 0,304 gigaton setara CO2. Maka, menghentikan deforestasi bagi Indonesia sangat strategis untuk memastikan fungsi penyerapan karbon oleh kawasan hutan dapat tetap dilaksanakan secara efektif. Tujuan Deklarasi Glasgow tidak hanya menghentikan kehilangan hutan dan degradasi lahan, tapi juga membalikkan tren deforestasi. Penanda tangan deklarasi meniatkan untuk memperkuat berbagai usaha guna mempercepat restorasi hutan dan ekosistem daratan lainnya, seperti gambut dan mangrove. Pidato Presiden Joko Widodo pada sesi Deklarasi Glasgow menyebutkan rencana restorasi 600 ribu hektar mangrove. Restorasi mangrove tersebut berpotensi menyerap karbon sebesar 0,009 gigaton setara CO2 per tahun.

Restorasi hutan dan lahan yang tepat secara ekologis ataupun sosial membutuhkan kerja sama aktif dengan masyarakat yang memiliki atau menempati lahan tersebut. Itu sebabnya inisiatif restorasi regional, seperti Initiative 20x20 di Amerika Selatan dan AFR100 di Afrika yang menghubungkan organisasi masyarakat, investor, dan pemerintah sebagai satu kesatuan kolaboratif menjadi langkah strategis. Kiranya inisiatif restorasi mangrove Indonesia seluas 600 ribu hektare yang dibiayai melalui Bank Dunia dapat dirancang dan dilaksanakan dengan menjalin kerja sama di antara aktor-aktor kunci tersebut. Dengan demikian, dana restorasi dapat tersalurkan ke kelompok-kelompok masyarakat dan pengusaha lokal yang bekerja merestorasi lahan. Hanya dengan kolaborasi semacam itu akan terjadi perubahan system secara transformatif.

Agar perubahan sistem tersebut terjadi serta komitmen Deklarasi Glasgow terpenuhi, penanda tangan deklarasi ataupun para pemangku kepentingannya perlu menetapkan rencana kerja yang jelas juga terukur untuk mencapai tujuannya pada 2030. Selanjutnya, kemajuan pelaksanaan rencana tersebut perlu secara berkala dipantau, dilaporkan, dan diverifikasi secara terbuka. Kolaborasi dan keterbukaan merupakan kunci agar janji dan komitmen itu dapat terpenuhi. Di Indonesia, kolaborasi dengan para pemangku kepentingan, termasuk dengan kalangan pengusaha, organisasi masyarakat sipil serta masyarakat adat dan komunitas lokal, mutlak diperlukan. Demikian pula keterbukaaan kepada publik dalam menyampaikan kemajuan pelaksanaan rencana kerja Deklarasi Glasgow. Menangani krisis iklim adalah tugas tanggung jawab kita bersama dan pengelolaan hutan yang baik adalah jalannya.