Lahan gambut yang dikenal sebagai lahan marginal, idealnya memang tidak ditujukan untuk kegiatan bercocok tanam. Akan tetapi, karena terbatasnya lahan produktif dan tingginya kebutuhan hidup masyarakat di wilayah gambut dan sekitarnya, sebagian kawasan gambut dimanfaatkan sebagai lahan budi daya. Hanya saja, permasalahan muncul ketika kegiatan budi daya dilakukan tidak sesuai dengan kaidah pengelolaan gambut berkelanjutan, yang kemudian berkontribusi terhadap rusaknya lahan gambut.

Secara prinsip, lahan gambut yang secara alami merupakan lahan basah, harus dipertahankan agar tetap basah. Oleh karena itu, apabila akan memanfaatkan lahan gambut untuk budi daya, maka metode tanpa melakukan pengeringan menjadi salah satu syarat wajib dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Selain itu, kegiatan pemanfaatan lahan gambut untuk budi daya harus dilakukan pada wilayah yang memang diperuntukkan sebagai lahan budi daya dan bukan pada lahan gambut dalam.

Paludikultur merupakan metode budi daya tanaman dengan memilih jenis-jenis tanaman yang dapat tumbuh baik pada lahan basah, yang dapat direkomendasikan untuk dipraktikkan di lahan gambut. Praktik paludikultur dapat dikombinasikan dengan sistem agroforestri atau pengembangan multi jenis tanaman yang terdiri dari pohon kehutanan dan tanaman semusim untuk mengoptimalkan fungsi produksi pada saat melakukan budi daya, dan sekaligus mendukung upaya perlindungan lahan gambut.

Pengembangan multi jenis tanaman dalam satu hamparan akan dapat meminimalkan potensi kegagalan dibandingkan dengan penanaman satu jenis (monokultur). Terlebih lagi, kombinasi antara tanaman semusim dan pohon dinilai dapat memberikan sumber penghasilan untuk jangka pendek maupun sebagai investasi untuk dapat memberikan penghasilan dalam jangka panjang.

Dalam praktiknya, penerapan paludikultur mengharuskan dilakukannya kegiatan ‘rewetting’ atau pembasahan kembali lahan gambut yang telah kering. Hal ini sejalan dengan upaya dalam mendukung restorasi lahan gambut terdegradasi. Kemudian, dengan diterapkannya sistem agroforestri, maka penanaman jenis pohon kehutanan, selain memberikan nilai manfaat ekonomi, juga berfungsi untuk mengatur tata air di lahan gambut. Pohon berfungsi menangkap air dari hujan dan menyimpannya ke dalam tanah, sehingga dapat mengurangi limpasan air di permukaan gambut yang dapat menyebabkan erosi.

Praktik Agroforestri ‘Business as Usual’

Sistem agroforestri sebenarnya sudah banyak diadopsi untuk kegiatan bercocok tanam di lahan gambut. Hanya saja, banyak dari praktik tersebut yang belum memenuhi kaidah pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

Sebagai contoh, pengembangan sistem agroforestri menggunakan jenis tanaman lahan kering yang tidak tahan terhadap genangan, sehingga dalam proses budi dayanya masih membutuhkan kegiatan pengeringan lahan gambut. Jenis tanaman tersebut banyak dikembangkan karena nilai ekonominya yang dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan jenis-jenis yang tahan terhadap kondisi lahan basah. Padahal, praktik pengeringan di lahan gambut bersifat ‘irreversible, yakni apabila lahan gambut sudah terlanjur kering maka akan sulit untuk dapat menyerap air kembali. Apabila gambut kering, maka gambut yang berperan menyimpan karbon akan justru melepaskan karbon, dan keseimbangan hidrologi pada ekosistem gambut menjadi terganggu. Lebih jauh lagi, mengeringnya gambut membuat gambut menjadi mudah terbakar.

Prinsip Praktik Paludikultur

Untuk meminimalkan dampak negatif dari kegiatan budi daya di lahan gambut, maka kegiatan pengeringan lahan harus dihindari. Dan apabila lahan gambut sudah terlanjur mengalami kekeringann, kegiatan pembasahan harus tetap dilakukan untuk memperbaiki kondisi hidrologis gambut.

Kegiatan pembasahan kembali lahan gambut yang disertai dengan penanaman jenis asli gambut atau jenis yang tahan kondisi basah atau genangan akan dapat mendukung upaya restorasi lahan gambut. Karenanya, praktik agroforestri berbasis paludikultur dapat menjadi alternatif metode bercocok tanam di gambut.

Untuk melakukan praktik ini, jenis tanaman yang dipilih adalah tanaman yang dapat tumbuh baik dalam kondisi lahan gambut basah ataupun tergenang, yaitu tanaman asli gambut atau jenis yang mampu beradaptasi dengan kondisi gambut yang basah. Tentunya, jenis tersebut juga harus memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga dapat memberikan manfaat secara ekologi untuk ekosistem gambut dan manfaat ekonomi bagi masyarakat.

Potensi Spesies Paludikultur untuk Peningkatan Ekonomi Masyarakat

Beberapa jenis pohon penghasil komoditas yang direkomendasikan untuk dikembangkan di lahan gambut ialah jenis penghasil hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang tidak membutuhkan kegiatan penebangan dalam mengunduh hasilnya misalnya jelutung yang dapat dimanfaatkan getahnya, tengkawang yang dapat dimanfaatkan bijinya, ataupun pohon penghasil buah-buahan.

Sedangkan untuk tanaman semusim, beberapa spesies asli gambut seperti mimosa air, lili air, bakung sayur dan spesies lain yang dapat hidup dalam genangan seperti kangkung dan pare dapat menjadi alternatif jenis komoditas yang dapat dikembangkan di lahan gambut.

Contoh tanaman di atas cocok untuk dibudidayakan pada lahan gambut dengan praktik agroforestri berbasis paludikultur. Jenis-jenis ini dapat beradaptasi dengan baik terhadap naik turunnya permukaan air gambut yang dapat berkisar antara 40 cm di bawah permukaan gambut hingga lebih dari 100 cm di atas permukaan, sehingga dapat meminimalkan kegiatan pengeringan. Terlebih lagi, jenis pohon tersebut mampu menjaga kondisi tutupan lahan gambut dalam jangka waktu yang panjang karena dalam pemanfaatannya tidak terdapat praktik penebangan yang berpotensi merusak lahan gambut.

Peluang dan Tantangan Agroforestri Berbasis Paludikultur

Hingga saat ini, masih terdapat beberapa tantangan terkait penerapan praktik agoforestri berbasis paludikultur, diantaranya terbatasnya informasi dan kajian ekonomi mengenai spesies paludikultur, terbatasnya akses pasar, serta belum terdapat kebijakan nyata yang dapat mendukung peningkatan kegiatan ekonomi dari paludikultur. Oleh karenanya, diperlukan beberapa upaya agar penerapan agroforestri berbasis paludikultur dapat optimal.

Pertama, diperlukan studi lebih lanjut mengenai spesies yang bernilai ekonomi tinggi dan berpotensi untuk dikembangan di lahan gambut basah. Pemilihan jenis tanaman alternatif yang ramah gambut dan menguntungkan secara ekonomi adalah penting agar implementasi praktik agroforestri berbasis paludikultur dapat terealisasikan. Selain itu, kombinasi beberapa spesies yang tepat akan dapat mengoptimalkan hasil dari praktik agroforestri berbasis paludikultur.

Kedua, kajian terkait dengan ketersediaan dan potensi pasar untuk komoditas paludikultur juga penting untuk mengoptimalkan manfaat ekonomi dari pengembangan jenis tersebut. Tanpa adanya pasar yang jelas, pengembangan spesies paludikultur akan menjadi sulit karena keuntungan ekonomi merupakan salah satu pertimbangan penting dalam pengembangan suatu komoditas.

Ketiga, penting untuk menyosialisasikan hasil penelitian tersebut terutama kepada para pemangku kepentingan terkait agar praktik agroforestri berbasis paludikultur dapat terimplementasi sesuai dengan kaidahnya.

Keempat, dukungan dari pemerintah diperlukan untuk mendukung praktik agroforestri berbasis paludikultur. Misalnya, pemerintah dapat memberlakukan kebijakan yang mendorong penerapan paludikultur sebagai salah satu pendekatan restorasi berikut dengan upaya pembasahan gambut kering hingga mencapai titik jenuh (full-saturation rewetting). Pemerintah dapat menginisiasi pembentukan kawasan khusus yang dilengkapi dengan sistem dan program yang dapat mendukung kegiatan pengembangan agroforestri berbasis paludikultur di lahan gambut. Pemerintah dapat merekomendasikan jenis tanaman paludikultur yang menghasilkan komoditas sesuai permintaan pasar sehingga masyarakat akan mudah dalam memasarkan hasil komoditasnya. Pemerintah dapat menyediakan bantuan pendanaan untuk meringankan masyarakat dalam hal penyediaan modal sekaligus untuk memotivasi masyarakat dalam pemanfaatan lahan gambut yang bernilai ekonomi dan berkelanjutan. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan bantuan pendampingan agar praktik agroforestri berbasis paludikultur dapat menghasilkan komoditas secara optimal. Dengan demikian, maka pemanfaatan lahan gambut berkelanjutan yang memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat dapat terwujud.