Oil palm plantation near Bengkulu, Sumatra. Photo by James Anderson/World Resources Institute.
Oil palm plantation near Bengkulu, Sumatra. Photo by James Anderson

Postingan ini awalnya dipublikasikan untuk the Guardian pada 8 Mei 2015.

Jika kita serius ingin memecahkan masalah perubahan iklim, kita perlu membahas tentang Indonesia.

Meskipun Indonesia mungkin bukan negara penghasil emisi tertinggi dari sektor energi maupun industri, yang dipunyai Indonesia adalah hutan, dan banyak hutan. Sebagian besar wilayah negara yang memiliki lebih dari 13.000 pulau tersebut diselimuti oleh rimba belantara hijau yang amat luas yang menyerap karbon dan menyimpannya di dalam pohon dan tanah.

Namun Indonesia, sama halnya seperti negara-negara lain yang sedang mengalami pertumbuhan cepat, juga rawan terhadap deforestasi yang semakin meluas, yang melepaskan polusi karbon kembali ke atmosfir. Deforestasi dan perubahan penggunaan lahan mendorong sekitar 80% emisi gas rumah kaca di Indonesia, yang berdasarkan beberapa perkiraan membuatnya menjadi penghasil emisi kelima di dunia.

Tahun ini, para pemimpin di Indonesia memiliki peluang untuk membatasi emisi-emisi tersebut dengan melindungi beberapa wilayah hutannya yang luas dibawah “moratorium hutan” nasional.

Kebijakan ini ditetapkan oleh presiden terdahulu, Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk mengurangi emisinya sebanyak 26% atau lebih banyak pada tahun 2020 (dibandingkan dengan skenario “business-as-usual”). Moratorium tersebut melarang izin baru untuk mengonversi hutan primer dan lahan gambut untuk penggunaan lain seperti kayu, kayu kertas dan kelapa sawit. Moratorium tersebut diperpanjang pada tahun 2013, meskipun ada perlawanan dari sektor industri.

Saat ini, moratorium tersebut akan kembali diperbarui. Presiden Indonesia yang baru, Joko Widodo, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Siti Nurbaya, telah mengindikasikan bahwa mereka akan memperpanjang moratorium tersebut. Hal ini akan menjadi pertanda kepemimpinan yang kuat yang mengirimkan sebuah sinyal penting mengenai niatan pemerintah untuk melindungi sumber daya alam Indonesia dan melawan perubahan iklim.

Sebuah analisis terbaru mengenai dampak-dampak moratorium terhadap perubahan iklim yang dihasilkan oleh World Resources Institute (WRI), Center for Global Development dan yang lainnya menemukan bahwa kebijakan ini sudah mengurangi emisi Indonesia dari pembukaan lahan sebanyak 1-2,5% selama empat tahun. Hal ini cukup baik untuk negara yang memiliki lahan hutan yang sangat banyak, namun belum cukup jika Indonesia ingin mencapai target yang dimilikinya, yaitu sebesar 26%. Hasil tersebut juga masih jauh dari jumlah pengurangan yang dibutuhkan untuk menjaga kenaikan temperatur global dibawah 2°C dibandingkan dengan angka pra-industri, yang diperlukan untuk mencegah dampak-dampak terburuk perubahan iklim.

Membatasi perubahan iklim merupakan kepentingan Indonesia karena negara tersebut sangat rentan terhadap peresapan air laut pada persawahan di wilayah dataran rendah, kenaikan permukaan air laut di sepanjang garis pantai, dan bahkan peningkatan penyebaran penyakit.

Jadi apa yang pemerintah Indonesia bisa lakukan untuk memperkuat moratorium?

Pertama, Indonesia harus meningkatkan kesadaran dan pemahaman lokal terhadap kebijakan moratorium. Para ahli dari WRI dan Puter Foundation, sebuah LSM Indonesia, melakukan wawancara dengan para pegawai pemerintah di delapan kabupaten di Indonesia terkait kebijakan tersebut. Hanya lima dari delapan kabupaten yang mengetahui jenis-jenis lahan yang dilindungi di bawah moratorium; dan hanya tiga dari delapan yang mengetahui wilayah-wilayah tertentu yang dilindungi oleh peta resmi moratorium dalam batas-batas wilayah kerja kabupatennya. Kampanye untuk meningkatkan kesadaran tidak akan berimbas pada peningkatan beban politis, dan hal ini akan memberikan peluang bagi pemerintah lokal untuk mempertimbangkan bagaimana berbagai kebijakan dirancang dan diimplementasikan.

Kedua, pemerintah Indonesia perlu menutup kekurangan pada kebijakan yang ada. Moratorium memiliki pengecualian bagi “proyek-proyek pembangunan nasional” termasuk wilayah-wilayah untuk ekstraksi minyak dan gas, pertanian beras dan tebu, kelapa sawit untuk bahan bakar nabati, dan proyek-proyek yang bisa menunjukkan bahwa mereka berkontribusi terhadap agenda ketahanan pangan dan energi nasional yang lebih luas. Ketimbang memberikan pengecualian tersebut, pemerintah bisa fokus pada peningkatan hasil panen melalui, misalnya, pembiakan selektif dan memperbaiki teknik-teknik penanaman.

Tiga, dalam jangka panjang, Indonesia juga membutuhkan kebijakan yang lebih permanen untuk melindungi wilayah hutan dan lahan gambut yang lebih sensitif. Memperpanjang perlindungan yang diterapkan sekarang selama dua tahun akan lebih dari melipatgandakan pengurangan emisi total. Namun, perlindungan hutan secara permanen akan secara drastis mengurangi emisi pada jangka panjang. Meskipun hal ini sangat menantang dari segi politik, ada negara-negara yang ingin meluangkan dana yang cukup besar bagi Indonesia sebagai alternatif perekonomian ketimbang melakukan deforestasi. Misalnya, Norwegia dan Indonesia saat ini memperbarui kemitraan mereka terkait konservasi hutan, termasuk pendanaan sebanyak $1 miliar.

Indonesia sudah mengambil peran sebagai pemimpin perubahan iklim melalui sasaran emisi nasionalnya yang ambisius. Memperpanjang moratorium akan terus menunjukkan kekuatan tekad negara tersebut. Untuk mencapai kesepakatan perubahan iklim global di Paris, Indonesia membutuhkan ambisi dan kreativitas dari segala arah. Perpanjangan moratorium hutan akan menunjukkan bahwa Indonesia sudah siap melakukan bagiannya.