More than 70 percent of Samarinda's land is allocated to mining concessions. Photo credit: CIFOR/Flickr
Lebih dari 70 persen wilayah Samarinda dialokasikan untuk konsesi tambang. Sumber foto: CIFOR/Flickr

Pada tahun 2011, dua anak kecil tenggelam di lubang galian tambang di pinggiran Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur. Perusahaan-perusahaan telah menggali beberapa lubang galian tambang di dekat daerah pemukiman dan meninggalkannya tanpa mengambil langkah-langkah perlindungan keselamatan dan lingkungan yang memadai. Lubang galian ini seringkali dipenuhi dengan air hujan dan berisiko mengakibatkan orang tenggelam. Dari tahun 2011 hingga 2013, 11 orang telah tenggelam di dalam lubang galian tambang yang tidak terpakai di Kalimantan Timur.

Dengan harapan untuk mencegah terulangnya kejadian ini, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), sebuah kelompok organisasi masyarakat dan NGO Indonesia, ingin mencari tahu apa yang telah dilakukan perusahaan untuk mencegah dampak kesehatan dan lingkungan dari pertambangan. Sementara lebih dari 70 persen wilayah Samarinda dialokasikan untuk konsesi tambang, sedikit informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai kewajiban perusahaan untuk menaati peraturan keselamatan dan kesehatan lingkungan.

JATAM meminta kepada Badan Lingkungan Hidup Provinsi, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari sekitar 60 perusahaan tambang di Kalimantan Timur – informasi yang secara hukum dapat diakses oleh masyarakat berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik tahun 2008. JATAM menemukan bahwa, meskipun telah ada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, sangatlah susah untuk mendapatkan informasi penting yang dimiliki oleh pemerintah. Situasi ini membuat masyarakat Samarinda rentan terhadap ketidakadilan sosial, kesehatan, dan lingkungan.

Meminta Informasi dari Pemerintah Indonesia

Kahar Al Bahri, Koordinator JATAM di Kalimantan Timur, mendeskripsikan proses permintaan informasi lingkungan menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dalam sebuah interview di YouTube.

Menurut pasal 22 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, “Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh Informasi Publik kepada Badan Publik terkait secara tertulis atau tidak tertulis.” Badan Publik terkait harus memberikan tanggapan tertulis dalam kurun waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak permintaan diajukan – entah memberikan informasi yang diminta atau menjelaskan penolakan. Namun demikian, dalam penerapannya, yang dialami oleh JATAM jauh lebih sulit. Ringkasan proses yang harus mereka lalui dapat dilihat di bawah ini:

  1. JATAM memulai proses permintaan informasi pada 12 Januari 2012 dengan mengirimkan surat kepada Badan Lingkungan Hidup Provinsi di Samarinda, Kalimantan Timur. Setelah permohonan mereka tidak ditanggapi, mereka mengirimkan ulang surat ke Badan Lingkungan Hidup Kota Samarinda, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur, dan Komisi Informasi Kalimantan Timur. Tetap saja JATAM tidak memperoleh balasan. Mereka lalu memasukan pengaduan resmi kepada Walikota Samarinda, yang mengaku bahwa informasi yang diminta JATAM tertutup untuk publik.

  2. JATAM kemudian mengajukan pengaduan resmi ke Komisi Informasi Kalimantan Timur, yang sepakat untuk mempertemukan JATAM dengan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur. Namun demikian, Badan Lingkungan Hidup tidak menghadiri pertemuan yang pertama, dan dalam pertemuan kedua, ketua Badan Lingkungan Hidup tidak mengakui legitimasi JATAM sebagai organisasi yang berhak mengajukan permohonan informasi publik. Pada akhirnya, melalui mediasi Komisi Informasi Kalimantan Timur, Badan Lingkungan Hidup sepakat untuk memberikan informasi publik yang diminta oleh JATAM dalam waktu satu bulan.

  3. Kurang dari satu bulan kemudian, Badan Lingkungan Hidup mengatakan bahwa pertemuan yang dilakukan dengan JATAM tidak mengikuti prosedur hukum yang berlaku dan menolak mengikuti keputusan Komisi Informasi. JATAM menggugat Badan Lingkungan Hidup ke pengadilan daerah, dan setelah beberapa bulan, pengadilan memutuskan bahwa Badan Lingkungan Hidup harus memberikan informasi publik yang diminta oleh JATAM dalam kurun waktu delapan hari.

  4. Pada Mei 2013, Badan Lingkungan Hidup kembali menunda-nunda permintaan JATAM, namun telah mengeluarkan satu informasi publik setiap minggunya.

Hingga saat ini, JATAM terus berjuang untuk mendapatkan semua informasi yang mereka butuhkan.

STRIPE Project dari The Access Initiative

Untuk mendapatkan informasi lingkungan yang secara hukum berhak dimiliki oleh masyarakat Indonesia, JATAM harus mengajukan beberapa permohonan dalam waktu lebih dari satu tahun, mengajukan beberapa pengaduan resmi, dan, pada akhirnya, membawa perjuangan mereka ke pengadilan lokal.

Hal ini serupa dengan pengalaman The Access Initiative (TAI) dalam proyek Strengthening the Right to Information for People and the Environment (STRIPE). Diluncurkan tahun 2010, project STRIPE merupakan sebuah inisiatif yang dilakukan bekerja sama dengan Open Society Foundations, Thailand Environment Institute, dan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), dengan dukungan dari Washington State University, Vancouver, dan Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat. STRIPE berusaha untuk memberdayakan masyarakat di Thailand dan Indonesia untuk melindungi kesehatan lingkungan mereka dengan meningkatkan akses terhadap informasi. Seperti JATAM, The Access Initiative dan mitranya menemukan bahwa informasi sangat susah untuk didapatkan meskipun sudah ada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di Thailand dan Indonesia. ICEL, sebagai contohnya, hanya menerima 40 persen informasi yang lengkap dan komprehensif dari 145 permohonan informasi publik yang mereka ajukan.

STRIPE, Deklarasi Jakarta, dan Kebutuhan untuk Membuka Informasi secara Proaktif

Menanggapi temuan ini, mitra-mitra STRIPE menggelar pertemuan regional di Jakarta, Indonesia pada April 2013 dan mengeluarkan “Jakarta Declaration for Strengthening the Right to Environmental Information for People and the Environment.” Deklarasi Jakarta mendorong pemerintah untuk meningkatkan akses terhadap semua informasi mengenai kualitas polusi air dan udara – termasuk AMDAL – dan menawarkan roadmap yang detail untuk penerapannya. Deklarasi ini menantang Indonesia dan pemerintah lainnya untuk membuat informasi lebih tersedia bagi publik, khususnya untuk mempromosikan pembukaan informasi lingkungan secara proaktif.

Berdasarkan pengalaman JATAM dan TAI dalam project STRIPE, di banyak negara – termasuk Indonesia – keberadaan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik saja tidaklah cukup. Untuk benar-benar meningkatkan akses terhadap informasi, pemerintah dan perusahaan harus secara proaktif membuka informasi lingkungan dengan cara-cara yang mudah dimengerti oleh masyarakat – seperti mempublikasikannya dalam surat kabar, membuat papan peringatan yang tersedia untuk masyarakat lokal, atau menaruhnya di website publik. Informasi tersebut sudah seharusnya dibuka untuk publik tanpa harus menunggu adanya permohonan resmi terlebih dahulu.

Langkah-langkah Kedepannya

Sudah jelas terdapat ruang-ruang untuk perbaikan di Indonesia. Akses yang mudah terhadap informasi sudah seharusnya menjadi prioritas bagi Indonesia, terutama karena Indonesia telah menjadi ketua Open Government Partnership (OGP), sebuah inisiatif global untuk mendorong transparansi pemerintah. Sementara Indonesia mengadopsi rencana kerja kedua dibawah OGP, prioritas harus diberikan kepada peningkatan akses yang lebih baik terhadap informasi lingkungan – termasuk kualitas lingkungan dan informasi kesehatan.

TAI dan mitranya akan terus mempromosikan penerapan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik sebagai alat advokasi. Kami akan meluncurkan fase kedua dari project STRIPE minggu ini di Jakarta. Project ini akan fokus kepada pembangunan koalisi masyarakat yang kuat untuk mengadvokasi pembukaan informasi perusahaan. Kami juga menargetkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menganalisis, menggunakan, dan menggambarkan informasi yang diterima dari pemerintah dalam kampanye advokasi yang berdasarkan bukti empiris.

Terlebih lagi, TAI dan mitranya akan berusaha untuk meyakinkan pemerintah dan perusahaan bahwa transparansi yang proaktif terhadap informasi lingkungan merupakan sesuatu yang sangat vital – baik di Indonesia, maupun di negara-negara lainnya di seluruh dunia.

PELAJARI LEBIH LANJUT: Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai The Access Initiative dan menerima update mengenai Fase II STRIPE, daftar di newsletter kami di sini.

Ucapan terimakasih kepada: Ariana Alisjahbana (WRI) yang telah menerjemahkan langkah-langkah permohonan informasi publik JATAM.