Artikel ini awalnya dimuat di The Jakarta Post edisi cetak (12 Agustus 2017).

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk melindungi dan memulihkan lahan gambut dalam beberapa tahun terakhir patut dipuji. Pada awal tahun ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Peraturan Menteri No. 40/2017 tentang fasilitasi pemerintah pada usaha Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam rangka perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Peraturan Pemerintah No. 57/2016 tentang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut mewajibkan perusahaan HTI untuk melindungi kawasan gambut dengan status konservasi. Sebagai kompensasi, Peraturan Menteri LHK di atas memberikan pilihan bagi perusahaan HTI untuk mengganti lahan kerja mereka yang dikategorikan sebagai ekosistem gambut melalui pertukaran lahan.

Di bawah Peraturan Menteri ini, konsesi HTI dengan kawasan gambut yang memiliki fungsi konservasi sekurang-kurangnya 40% dapat mengajukan permintaan kepada KLHK untuk memfasilitasi proses pertukaran lahan. Dengan adanya kriteria 40% kawasan gambut tersebut, tentunya konsesi di wilayah kubah gambut sangat berpotensi untuk pertukaran lahan. Berdasarkan data dari Badan Restorasi Gambut (BRG), ada sekitar 119.045 hektar konsesi HTI di wilayah kubah gambut dalam kawasan restorasi BRG sebagaimana diatur oleh Peraturan Presiden No. 1/2016.

Dalam pertukaran lahan ini, wilayah kerja yang ditentukan dalam izin yang sudah ada dapat diganti dengan lahan tanah mineral yang diperuntukkan bagi hutan produksi dengan luas yang sama, baik di dekat lahan aslinya atau di lokasi yang berbeda. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa pemegang konsesi tetap bertanggung jawab atas pengelolaan dan perlindungan lahan yang asli di samping lahan pengganti. Dalam mengajukan permohonan, perusahaan harus mencantumkan peta wilayah kerja pengganti yang diajukan dan verifikasi kelayakan sosial dan lingkungan kegiatan produksi serta akta notaris yang menyatakan kemampuan perusahaan untuk melindungi ekosistem lahan gambut di wilayah kerja yang asli.

Untuk memahami cara pertukaran lahan ini, anggap saja prosesnya terdiri dari tahapan berikut:

  1. Perubahan status lahan – berarti perubahan klasifikasi hukum. Di Indonesia, lahan secara umum dibedakan menjadi kawasan hutan dan Areal Penggunaan Lain (APL). Pertukaran status lahan antara kawasan hutan dan APL memerlukan koordinasi antara berbagai kementerian dan lembaga pemerintah setempat, sehingga sulit dilakukan secara administratif dan politis. Akan tetapi, ada beberapa kebijakan umum untuk pertukaran status lahan dalam sub klasifikasi kawasan hutan.

  2. Perubahan izin - berarti penggantian area kerja dalam izin pemanfaatan lahan yang sudah ada. Area kerja sebelumnya dapat tetap dipertahankan dan dikelola dengan lebih berkelanjutan atau, jika statusnya juga diubah, pemanfaatan lahan tersebut dapat diubah seluruhnya.

  3. Perubahan pengelolaan - berarti tidak mengganti lokasi atau status lahan, namun mengubah cara pengelolaan pemanfaatan lahan agar lebih berkelanjutan. Perubahan pengelolaan ini dapat dilakukan di area yang dapat digunakan untuk kegiatan konservasi atau kegiatan hutan berkelanjutan, baik oleh perusahaan yang memiliki izin yang sudah ada atau pihak lainnya.

Pertukaran lahan telah lama dibicarakan sebagai pilihan mekanisme yang dapat membantu meningkatkan keberlanjutan sektor perkebunan kelapa sawit dengan mendorong kepatuhan kepada Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) atau komitmen sukarela untuk mencapai nihil deforestasi/nihil gambut. Di dalam kawasan restorasi gambut BRG, terdapat 310.435 hektar konsesi perkebunan kelapa sawit atau Hak Guna Usaha (HGU) yang berada di area kubah gambut. Area ini mungkin membutuhkan beberapa bentuk pertukaran lahan untuk mendukung keberhasilan upaya restorasi.

Akan tetapi, proses untuk menemukan lahan alternatif untuk pertukaran cukup rumit. Produksi kelapa sawit secara teknis hanya dapat dikembangkan di APL sejak izinnya dimasukkan ke dalam yurisdiksi Kementerian Pertanian. Terbatasnya ketersediaan APL yang tidak memiliki hutan atau lahan gambut serta belum diklaim atau digunakan untuk produksi lainnya merupakan masalah tersendiri di beberapa daerah. Banyak perusahaan kelapa sawit yang tidak mau mempertimbangkan pertukaran lahan karena dianggap sulit dilakukan, memakan waktu dan sangat berrisiko. Oleh karena itu, industri kelapa sawit selama ini memfokuskan upaya keberlanjutan untuk menemukan opsi pengelolaan dalam pelestarian kawasan dengan nilai konservasi tinggi di dalam kawasan konsesi mereka, yang tidak dapat diusahakan sesuai dengan kriteria RSPO dan komitmen keberlanjutan lainnya.

Berbagai mekanisme pengelolaan dan kebijakan tentunya dibutuhkan untuk melindungi dan memulihkan lahan gambut Indonesia. Pertukaran lahan dapat menjadi solusi yang tepat untuk HTI. Secara teori, pertukaran lahan untuk konsesi HTI lebih sederhana daripada di industri kelapa sawit, karena tidak membutuhkan perubahan status hukum. Akan tetapi, masih ada banyak pertanyaan. Seberapa besar dampak Peraturan Menteri No. 40/2017 terhadap upaya restorasi gambut secara keseluruhan, termasuk kebijakan BRG? Apakah peraturan tersebut dapat diterapkan dalam waktu yang cepat? Apa saja batasan dan risiko dari peraturan ini?

Untuk memperkirakan potensi dampak dari kebijakan ini terhadap pengelolaan lahan gambut di Indonesia, kita perlu memahami cara KLHK memberikan insentif atau mendorong perusahaan untuk berpartisipasi dalam skema ini. Apakah perusahaan HTI akan tetap termotivasi jika mereka bertanggung jawab sepenuhnya atas pengelolaan dan perlindungan lahan yang asli dan pengganti? Apakah tersedia infrastruktur yang memadai di lahan pengganti sehingga skema ini dapat dilakukan dari segi bisnis dan biaya?

Skema insentif ini sudah pasti dapat dikembangkan. Terlepas dari masih banyaknya pertanyaan yang muncul, peraturan ini merupakan langkah yang baik untuk menemukan solusi praktis bagi perlindungan lahan gambut. Akan tetapi, diperlukan perhatian tinggi dari para pemerhati lahan gambut untuk memastikan bahwa ada kemajuan dalam pelaksanaannya di lapangan.