Sebuah peta jalan mengenai dekarbonisasi yang baru-baru ini diterbitkan dalam jurnal Science menjelaskan target 10 tahunan yang menggambarkan kemajuan besar yang perlu kita capai untuk meraih emisi karbon nol netto pada tahun 2050 dan menjaga kenaikan suhu agar berada di bawah 2°C (3.6°F). Para penulis menjelaskan secara rinci upaya dan insentif untuk sektor energi dan transportasi, akan tetapi sektor pertanian dan kehutanan, komponen terbesar ketiga dalam peta jalan ini, hanya mengandung beberapa aksi konkret saja, dan hal ini mencerminkan statusnya yang terlupakan dalam dialog iklim global.

Pentingnya mentransformasi sektor lahan untuk membantu menjaga kenaikan suhu di bawah 2°C tidak bisa lebih ditekankan lagi. Saat ini terhitung seperempat dari total emisi yang dihasilkan manusia berasal dari emisi yang dihasilkan kegiatan pertanian dan perubahan lahan. Di saat yang bersamaan, hutan menyerap sepertiga dari emisi bahan bakar fosil yang dihasilkan manusia setiap tahunnya, dan bahkan dapat menyerap emisi yang lebih banyak lagi. Ini berarti bahwa sektor lahan dapat men-dekarbonisasi (mengurangi emisi) dan me-rekarbonisasi (menyerap karbon dari atmosfer dan mengembalikannya ke dalam hutan dan lanskap) untuk mendapatkan manfaat dua kali lipat.

Akan tetapi kemajuan dalam pemanfaatan lahan berkelanjutan telah mencapai stagnasi. Sebagai contoh, walaupun terdapat investasi besar-besaran selama satu dekade terakhir untuk mengurangi kerusakan hutan tropis, yang merupakan sumber emisi karbon daratan terbesar, upaya ini gagal dilakukan di luar Brazil. Tren emisi deforestasi keseluruhan pada abad ke-21 cukup membuat frustrasi dengan kondisinya yang mandek.

Sumber: SEEG and GFW Climate. Deforestasi didefinisikan sebagai hilangnya tutupan pohon di dalam hutan primer di Indonesia dan Republik Demokratik Kongo, di luar wilayah perkebunan di Malaysia, dan pada area dengan >25 persen tutupan pohon di wilayah lainnya. Estimasi emisi mencerminkan hilangnya biomasa di atas dan bawah permukaan tanah.

Jika kita benar-benar serius tentang mencapai nol emisi pada tahun 2050, kita tidak bisa melupakan sektor lahan. Berikut adalah empat aksi konkret yang perlu kita lakukan.

2017-2020: Hentikan ekspansi kegiatan pertanian di lahan gambut tropis

Gambut adalah tanah yang telah mengakumulasikan karbon dalam jumlah besar selama beberapa abad. Gambut juga merupakan lahan yang sering digunakan untuk ekspansi industri sawit di Indonesia. Jika lahan gambut dikeringkan dalam rangka persiapan lahan untuk penanaman, maka karbon di dalam lahan gambut menjadi terbuang. Secara global, drainase lahan gambut mengakibatkan 32 persen emisi dari lahan pertanian walaupun menghasilkan hanya 1,1 persen dari total kalori dari tanaman pertanian. Pengeringan juga membuat lahan gambut menjadi semakin rentan terhadap kebakaran, yang dapat menyebabkan kebakaran yang tidak dapat dikendalikan. Salah satu cara mencapai penurunan emisi secara signifikan dan cepat di sektor lahan adalah dengan mendukung penerapan Peraturan Pemerintah yang telah diperbarui dan diperkuat untuk melindungi dan memulihkan lahan gambut.

2020-2030: Ubah apa yang kita makan

Seiring dengan meningkatnya pendapatan di seluruh dunia, orang berbondong-bondong mengubah pola makannya mengikuti pola makan gaya Barat yang yang tinggi dalam kandungan kalori, protein, dan makanan berbasis hewani seperti daging dan produk susu. Kebiasaan ini berdampak besar terhadap perubahan penggunaan lahan karena produksi daging dan produk susu membutuhkan lahan yang lebih luas dibandingkan dengan protein nabati seperti kacang-kacangan dan lentil. Daging sapi khususnya membutuhkan lahan yang lebih luas dan menghasilkan emisi lebih besar per unit protein dibandingkan dengan jenis pangan yang banyak dikonsumsi lainnya. Pengurangan konsumsi daging sapi oleh masyarakat kelas ekonomi yang lebih tinggi penting untuk pencapaian tujuan iklim, akan tetapi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memprediksikan bahwa permintaan daging sapi global akan meningkat 95 persen antara tahun 2006 sampai 2050..

Kita dapat mencapai banyak hanya dengan mengurangi tingkat konsumsi daging sapi. Dengan mengurangi setengah konsumsi daging dan produk susu maka kita dapat memangkas hampir setengah jejak karbon pangan kita, dan jika seluruh masyarakat mengalihkan kebiasaan makan daging sapi, maka 300 juta hektar (740 juta are), atau wilayah hampir seluas India, dapat dibebaskan, serta mengurangi tekanan pertanian terhadap hutan. Pergeseran pola makan yang disertai pengurangan makanan yang terbuang serta intensifikasi produksi tanaman pangan dan hewan ternak secara berkelanjutan semuanya dapat meyelaraskan emisi pertanian menuju tujuan 2°C.

2030-2040: Ciptakan industri produk kayu netral karbon

Setelah tahun 2030, peta jalan dekarbonisasi menyerukan kepada industri konstruksi agar menggunakan beton dan baja bebas emisi atau menggantikan material tersebut dengan material bermisi nol atau negatif seperti kayu. Kayu bisa memiliki jejak karbon yang lebih rendah dibandingkan beton atau baja dan dapat menyokong bangunan yang lebih tinggi, sehingga mengurangi tekanan terhadap lahan dalam bentuk perluasan perkotaan. Namun manfaat terhadap iklim menjadi hilang apabila kayu tersebut tidak diperoleh dari lahan yang dapat menyerap kembali karbon yang dikeluarkan pada saat panen dan produksi sampai tahun 2050 dalam volume karbon yang sama atau lebih besar. Beberapa hutan yang dikelola secara lestari sudah bersifat karbon netral atau negatif, namun tidak demikian halnya di seluruh daerah. Secara global, pemanenan kayu berlebihan menyebabkan emisi jangka pendek serta penurunan pengurangan karbon jangka panjang yang harus dijaga dan ditingkatkan agar dapat tetap berada dalam target di bawah 2°C. Agar dapat mencapai emisi nol netto pada pertengahan abad ini, maka skema keberlanjutan untuk produk yang berasal dari biomasa hutan harus mendapatkan keterangan netral karbon untuk memperoleh sertifikasi.

2040-2050: Menikmati manfaat dari restorasi hutan dan bentang lahan

Dunia ini akan terus membutuhkan semakin banyak lahan untuk menghasilkan pangan, bahan bakar, dan produk pertanian lainnya. Lahan yang tersedia untuk tujuan penyerapan karbon saja kemungkinan luasannya terbatas dan membawa dampak sosial, ekologis dan ekonomi yang cukup signifikan, baik positif maupun negatif. Pemanfaatan peluang yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial selain upaya mitigasi iklim dapat meringankan sebagian tekanan antara pertumbuhan dan keberlanjutan. Akan tetapi strategi restorasi lahan apapun, seperti pemulihan karbon dalam lahan pertanian atau peningkatan karbon yang tersimpan dalam pohon, membutuhkan waktu dan harus dimulai saat ini juga.

Menutup Kesenjangan Perhatian

Selama dekade terakhir kita telah melihat tanda-tanda positif bahwa dunia ini berada dalam jalur yang benar menuju transformasi cepat pada sektor energi, tetapi tanda-tanda ini belum terlihat dalam sektor lahan. Beberapa penyusun kebijakan terkait perubahan iklim telah memberikan perhatian memadai terhadap poin-poin spesifik terkait tantangan penggunaan lahan yang ada di depan kita, dan sinyal politik sampai saat ini gagal mendorong reformasi lahan yang diperlukan pada skala yang dibutuhkan untuk mencapai aksi iklim. Beberapa contoh ini saja tidak akan membawa kita pada emisi nol karbon netto pada tahun 2050, akan tetapi jika kita ingin mengikuti peta jalan dekarbonisasi, maka lahan harus menjadi pertimbangan yang lebih eksplisit di dalam suatu kerangka kerja mitigasi yang terintegrasi dan lintas sektoral.