Wakil Presiden WRI Bidang Komunikasi, Lawrence Macdonald, baru-baru ini mengunjungi Indonesia untuk mempelajari keterkaitan antara hak-hak lahan dengan deforestasi. Artikel ini merupakan artikel pertama dari tiga rangkaian artikel tentang para petani, perusahaan swasta, pejabat pemerintah, dan peneliti yang bekerja untuk mendukung Satu Peta.

Saad, seorang petani yang tidak memiliki lahan dan terkadang bekerja sebagai tukang cukur, memegang setumpuk berkas hukum dan menunjuk ke seberang Sungai Musi di Sumatera Selatan, Indonesia, ke arah 38 hektar (94 akre) lahan yang dulu dimiliki oleh keluarganya.

“Ayah saya dulunya kepala desa,” ujarnya. “Kami menanam padi dan sayuran dan buah-buahan di lahan itu. Hasil panennya tidak hanya cukup untuk keluarga kami tetapi juga untuk dijual. Lahan itu adalah milik saya dan saudara-saudara saya.”

Tetapi, kini bukan mereka lagi yang mengendalikan lahan itu. Pada tahun 1997, tutur Saad, sebuah perusahaan datang dan meratakan lahan tersebut dengan buldoser dan menanaminya dengan sawit, menjadikan perkebunan keluarganya bagian dari sebuah areal perkebunan besar. Selama dua tahun, keluarganya menerima pembayaran bulanan sebesar 60 dolar AS. Kemudian, iuran yang ia terima pun berhenti: lahan tersebut diakuisisi oleh perusahaan lain.

Sejak saat itu, Saad, yang hanya memiliki nama depan sebagaimana orang Indonesia kebanyakan, terus berjuang untuk menerima kompensasi.

Ketika ditanya apakah ia ingin memiliki lahannya kembali, Saad menggelengkan kepalanya. Lahan itu sudah hancur, ujarnya, dan tidak lagi subur untuk ditanami padi. Aliran air tidak lagi mengaliri lahannya, dan kini digantikan dengan jaringan drainase untuk pembuangan. Sisa-sisa pupuk dan pestisida telah mengontaminasi penjuru sungai. “Kami ingin dibayar agar kami dapat membeli lahan baru di tempat lain,” katanya.

Kisah Saad merupakan hal yang cukup lumrah. Sejak tahun 1990-an, perkebunan sawit mulai meluas dan mencakup jutaan hektar lahan di Sumatera dan pulau-pulau lainnya di Indonesia, menghancurkan hutan primer, pertanian keluarga kecil seperti Saad, dan hutan-hutan yang dikelola oleh masyarakat setempat yang sebelumnya menjadi sumber kayu, bahan atap, buah-buahan, serta obat-obatan.

<p>Mengangkut buah sawit untuk dibawa ke pabrik pengolahan. Kecamatan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan</p>

Mengangkut buah sawit untuk dibawa ke pabrik pengolahan. Kecamatan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan

Dimanfaatkan sebagai bahan dasar makanan, kosmetik, biodiesel, serta ratusan produk lainnya di seluruh dunia, sawit telah menghasilkan banyak keuntungan dan membawa miliaran dolar pendapatan bagi Indonesia dari perdagangan luar negeri. Akan tetapi, dampak lain yang ditimbulkan oleh sawit tidaklah kecil. Sebuah studi oleh Bank Dunia menemukan bahwa kebakaran besar yang terjadi pada tahun 2015 yang disebabkan oleh pembukaan lahan baru - sebagian besar diantaranya untuk lahan sawit - menimbulkan kerugian sebesar 16 miliar dolar AS bagi perekonomian Indonesia, dua kali lipat lebih besar daripada nilai tambah hasil ekspor sawit.

Peta-peta yang saling tumpang tindih merupakan bagian besar dari permasalahan tersebut.

Desentralisasi besar-besaran yang terjadi di Indonesia pada tahun 1999 membuka jalan bagi instansi pemerintah untuk menerbitkan konsesi lahan kepada para investor berkantong tebal yang berlomba-lomba mengambil bagian dari ledakan bisnis perkebunan sawit. Masing-masing instansi pun mengembangkan peta mereka sendiri.

Saad membolak balik berkas di tangannya, dan kemudian menunjuk pada suatu peta kecil di mana plot lahan tak beraturan yang dimiliki keluarganya ditutupi dengan kotak-kotak kaku yang menunjukkan jalanan perkebunan. Instansi yang memberikan izin untuk perkebunan sawit kemungkinan besar tidak mengetahui dan tidak peduli akan keberadaan lahan yang diklaim keluarganya ini.

<p>Pos berisi petugas keamanan yang menjaga pintu masuk perkebunan sawit di Musi Banyuasin, sebuah kecamatan di Sumatera Selatan. Foto oleh WRI</p>

Pos berisi petugas keamanan yang menjaga pintu masuk perkebunan sawit di Musi Banyuasin, sebuah kecamatan di Sumatera Selatan. Foto oleh WRI

Tidak adanya satu peta tata guna lahan sebagai rujukan bersama serta proses peradilan yang lamban dan seringkali tidak berfungsi mengakibatkan mereka yang merasa dianiaya tidak punya banyak pilihan untuk mendapatkan keadilan, sehingga sengketa terus berlanjut dan terkadang berujung pada kekerasan.

Di sisi seberang sungai, para warga desa membangun blokade buatan, yang membuat pihak perkebunan tidak dapat masuk dan memanen biji sawit yang sudah berwarna oranye terang yang dihargai sekitar4 dolar AS di setiap pabrik pengolahan. Mereka mengambil tindakan ini setelah pihak perusahaan kembali menanami sawit pada lahan yang telah mencapai masa akhir dari periode 25 tahun, yang merupakan pertanda bahwa perusahaan tidak berniat mengembalikan lahan tersebut kepada para warga desa.

Untuk saat ini, warga desa masih menahan godaan untuk memanen sendiri buah sawit itu. Mereka membiarkannya membusuk alih-alih mengambil risiko dituduh mencuri - atau mungkin juga membuat perusahaan terpaksa memerintahkan petugas bersenjata mereka untuk menghancurkan blokade yang telah dibuat, sebagaimana terjadi di tempat lain.

Arah Satu Peta ke Depannya

Untuk mengatasi masalah ini, saat ini pemerintah sedang berupaya menyusun sebuah peta tunggal Indonesia, dengan menggunakan teknik-teknik pemetaan partisipatif dan transformasi konflik melalui sebuah inisiatif bernama Satu Peta. WRI Indonesia mendukung upaya tersebut di Sumatera Selatan dan tiga provinsi lainnya melalui program bernama Inisiatif Satu Peta di Tingkat Tapak.

Bagi Saad dan warga desa lainnya, bantuan ini sangat dinanti-nanti.