Pilihan yang Sulit di antara Kelapa Sawit dan Hutan Indonesia
Artikel ini pertama kali ditampilkan di Jakarta Post
Kelapa sawit telah mencuri perhatian banyak orang. Di Indonesia, industri ini tengah berkembang, dengan $19,7 miliar ekspor minyak kelapa sawit mentah di tahun 2011. Namun mengembangkan perkebunan kelapa sawit telah mengorbankan hutan dan habitat alami lainnya di wilayah tropis, serta memicu sengketa lahan dengan masyarakat lokal.
Para peneliti terbaik di dunia turut mempertanyakan kondisi tersebut. Menurut studi terbaru di Nature Climate Change, sejak 1990 hingga 2010, 90 persen lahan yang dikonversikan menjadi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan merupakan wilayah hutan.
Namun demikian, sesungguhnya, tidak ada yang perlu dikorbankan di antara kelapa sawit, hutan, dan masyarakat. Sangatlah memungkinkan untuk menanam lebih banyak bibit – termasuk kelapa sawit – sambil menjaga hutan dan menyejahterakan kehidupan masyarakat lokal.
Dukungan untuk Produksi Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan
Untuk melakukannya, perusahaan dan investor harus menjadi contoh yang baik dengan mendukung produksi yang berkelanjutan di lahan yang sudah terbuka sebelumnya, sekaligus memastikan bahwa masyarakat lokal menyetujui dan merasakan manfaat dari perkebunan kelapa sawit yang baru. Pasar global dan pemerintah di negara-negara produsen kelapa sawit terbesar harus memberikan dukungan yang lebih kuat untuk upaya tersebut.
Oleh sebab itu, sangatlah menggembirakan melihat minggu lalu di Singapura, dalam pertemuan tahunan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang ke-10, pemerintah Inggris dan 14 asosiasi industri terbesar di dunia berkomitmen untuk hanya membeli minyak kelapa sawit yang bersertifikasi mulai tahun 2015. Pembeli besar seperti British Retail Consortium, Food and Drink Federation, dan Seed Crushers and Oil Processors Association turut menandatangani komitmen tersebut.
Badan perlindungan lingkungan Amerika Serikat (EPA) mengindikasikan bahwa emisi yang berhubungan dengan deforestasi dapat menghambat kelapa sawit Indonesia mencapai standar biofuel berkelanjutan Amerika Serikat.
2 Aplikasi Pemetaan Baru
WRI meluncurkan dua aplikasi pemetaan online baru yang didesain untuk membantu pertumbuhan industri kelapa sawit sekaligus menghindari deforestasi. Instrumen gratis ini memungkinkan produsen kelapa sawit, pembeli, investor, dan badan-badan pemerintah untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi dengan mudah lokasi-lokasi di Indonesia yang dapat digunakan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, yaitu di lahan-lahan yang telah terdegradasi dan bukan di lahan yang saat ini ditumbuhi hutan.
RSPO, yang mengelola sebuah standar pasar yang menjadi syarat sertifikasi hasil produksi, mengharuskan perkebunan baru untuk mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari semua masyarakat lokal yang terkena dampak perkebunan, persetujuan tersebut harus diberikan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun, dan masyarakat lokal harus mendapatkan informasi yang selengkap-lengkapnya mengenai rencana perkebunan sebelum memberikan persetujuan. Selain itu, RSPO mengharuskan perkebunan baru untuk menghindari kerusakan hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati. RSPO memberikan pengecualian kepada perkebunan yang melakukan pembukaan hutan baru-baru ini. Pembeli dan pedagang besar internasional – seperti Walmart, Unilever, dan Nestle – serta kelompok peduli lingkungan seperti World Wildlife Fund, mendukung pendekatan tersebut.
Menggunakan Lahan yang sudah Terdegradasi
Strategi yang didorong oleh pasar ini membantu mendukung usaha pemerintah Indonesia.
Keterlibatan pemerintah yang lebih besar sangatlah penting dalam membuat transisi menuju investasi yang lebih bertanggung jawab terlihat lebih menarik dan tidak terbebani oleh birokrasi yang berlebihan serta proses pemberian izin yang lambat. Sebagai contohnya, ketika menyetujui “penukaran lahan” yang memungkinkan perusahaan untuk menukar tempat perkebunan yang terletak di dalam hutan dengan lahan yang sudah terbuka atau terdegradasi.
Penelitian baru WRI menekankan kesempatan yang terlewatkan untuk mengembangkan produksi di lahan-lahan yang sudah terdegradasi untuk menyelamatkan hutan.
WRI telah mengeluarkan sebuah metode yang memungkinkan identifikasi yang cepat mengenai lahan yang sudah terbuka yang cocok untuk perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Metode dan sejumlah aplikasi online yang diluncurkan dalam pertemuan RSPO minggu lalu memungkinkan para investor dan masyarakat untuk menemukan dengan cepat lahan di mana kelapa sawit dapat tumbuh tanpa membuka atau membakar hutan.
Penggunaan aplikasi tersebut harus dikuti dengan kunjungan lapangan dan konsultasi dengan masyarakat setempat untuk memastikan bahwa lahan masyarakat lokal dan hak terhadap sumber daya tetap dihormati.
Instrumen yang dimiliki WRI menunjukkan bahwa lebih dari 14 juta hektar lahan di Kalimantan mungkin cocok digunakan untuk produksi kelapa sawit yang berkelanjutan. Tidak semua lahan tersebut harus diubah menjadi perkebunan kelapa sawit; masyarakat lokal mungkin tidak mengizinkan lahan-lahan tertentu digunakan untuk perkebunan. Namun potensi yang dimiliki lahan-lahan tersebut sangatlah signifikan. Sebagai perbandingan, para ahli telah memprediksi total ekspansi kelapa sawit di Indonesia dapat mencapai 3 hingga 7 juta hektar hingga tahun 2020.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa target produksi kelapa sawit dapat dicapai tanpa harus membuka jutaan hektar hutan atau merusak lebih banyak lahan gambut lagi.
Masa Depan Pengembangan Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman yang luar biasa. Kelapa sawit menciptakan banyak lapangan pekerjaan dan kesempatan bagi petani kecil di beberapa wilayah pedesaan yang paling miskin dan terpencil. Keuntungan yang dinikmati oleh investor besar juga sangat besar dan akan menjadi semakin besar mengikuti permintaan yang terus meningkat.
Namun agar kelapa sawit di Indonesia dapat menjaga akses terhadap pasar global, persetujuan dari masyarakat dan perencanaan penggunaan lahan untuk mengurangi pembukaan hutan haruslah menjadi sebuah norma bersama. Hasil ekspansi produksi kelapa sawit yang berkelanjutan akan menjadi pendorong yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia, dan akan menjadi contoh bagi seluruh dunia bagaimana membangun perekonomian tanpa merusak hutan dan pada saat yang bersamaan mengurangi kemiskinan.