Andika Putraditama pertama kali mengenal WRI saat masih bekerja untuk pemerintah Indonesia. Saat itu, Andika menggunakan laporan WRI untuk memahami permasalahan minyak kelapa sawit yang ada. Saat ini, dalam kapasitasnya sebagai Manajer Komoditas dan Bisnis Berkelanjutan WRI Indonesia, Andika membantu menentukan arah kajian WRI terkait persoalan minyak kelapa sawit.

Belakangan ini, minyak kelapa sawit menyalip minyak dan gas bumi sebagai komoditas ekspor terbesar Indonesia dengan total penyerapan tenaga kerja sekitar 16 juta orang dan pendapatan mencapai hampir U$18 miliar. “Bagi Indonesia, taruhannya besar,” ujar pembawa acara podcast ini yang merupakan Wakil Presiden Komunikasi WRI, Lawrence MacDonald.

Minyak dari kelapa sawit, yang tumbuh di daerah tropis, umumnya digunakan sebagai minyak goreng dan menjadi bahan mentah untuk produksi berbagai barang konsumsi sehari-hari dari mulai sampo, pasta gigi hingga keripik. “Industri sawit merupakan industri yang perlu dilindungi pemerintah, tetapi juga memiliki banyak dampak lingkungan,” ujar Andika.

Dampak lingkungan utama yang ditimbulkan adalah deforestasi, perusakan ekosistem lahan gambut, dan kebakaran.

Di Indonesia, permasalahan minyak kelapa sawit berkaitan erat dengan persoalan ekosistem lahan gambut. Lahan gambut terdiri dari bahan organik sedalam 25 meter dan biasanya dibuka untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit. Ekosistem gambut yang terganggu dapat menyebabkan pelepasan sejumlah besar karbon dan gas metana ke udara yang kemudian akan menghambat pencapaian sasaran iklim. Di berbagai negara di Asia Tenggara, kebakaran lahan gambut banyak terjadi. Salah satunya, kebakaran lahan di Indonesia pada 2015 lalu, yang melipatgandakan tingkat emisi gas rumah kaca tahunan nasional dan menyebabkan jutaan orang terpapar asap beracun. Terkait hal ini, pada 2018, Indonesia telah memberlakukan moratorium kegiatan pembukaan perkebunan kelapa sawit baru selama tiga tahun.

Saat ini, beberapa perusahaan multinasional telah berkomitmen untuk menerapkan praktik-praktik perkebunan kelapa sawit “tanpa deforestasi, tanpa gambut”, yang utamanya dilakukan sesuai standar Roundtable on Palm Oil (RSPO). Produsen kelapa sawit yang memiliki sertifikasi RSPO bahkan dipercaya dapat meningkatkan harga sebesar 5-10 persen. Akan tetapi, menurut Andika, saat ini “hanya 20 persen dari nilai perdagangan global” yang tersertifikasi RSPO, dan kebanyakan diproduksi oleh merek-merek global terkenal. Sedangkan sisanya berasal dari pekebun rakyat. Menggalakkan praktik berkelanjutan di kalangan pekebun rakyat menjadi tantangan yang cukup berat, terutama bagi perusahaan yang mungkin menjual ke Cina atau pembeli lain yang tidak memiliki komitmen “tanpa deforestasi, tanpa gambut”.

Jika Cina, misalnya, mau mengubah praktik mereka, hal ini tentu dapat meperluas jangkauan minyak kelapa sawit berkelanjutan yang bersertifikasi. “Perusahaan-perusahaan akan segera menyadari bahwa praktik ini layak investasi. Salah satu alasan mengapa produk minyak kelapa sawit berkelanjutan yang bersertifikat belum berkembang cepat selama tiga hingga lima tahun terakhir ini adalah belum adanya insentif yang cukup bagi industri untuk menggunakan praktik bisnis ini sebagai standar baru.” Untuk itu, dalam kapasitasnya, WRI Indonesia terlibat dalam berbagai upaya membangun permintaan akan minyak kelapa sawit bersertifikat.

Saat ini, narasi yang terbangun seputar minyak kelapa sawit masih terlalu hitam putih. Beberapa pembeli komoditas ini masih belum mau mengakui keterkaitan produk-produk mereka dengan minyak kelapa sawit. Dalam hal ini, Andika memiliki pandangan tegas. “Produksi minyak kelapa sawit secara bertanggung jawab itu mungkin dilakukan. Tidak semua minyak kelapa sawit itu buruk,” katanya. Selain menjadi sumber pendapatan bagi banyak pekerja di Indonesia dan Indonesia sendiri, minyak kelapa sawit juga lebih efisien dibandingkan minyak jagung dan minyak rapa (rapeseed). Akan tetapi praktik operasional industri ini perlu diperbaiki agar lebih bertanggung jawab. Aktivitas perluasan perkebunan sawit mungkin sedang melambat saat ini karena adanya kelebihan pasokan. Tetapi, nyatanya ,harga minyak kelapa sawit kembali merangkak naik. Hal ini berpotensi mengancam moratorium konversi lahan gambut baru untuk perkebunan kelapa sawit yang diberlakukan Pemerintah.

“Pada akhirnya, semua berkaitan dengan ekonomi,” kata Lawrence.

Dengarkan lebih lanjut di podcast di bawah ini: