Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di The Jakarta Post pada 5 Desember 2018.

Reaksi menarik muncul dari salah satu pembicara yang mewakili kelompok pengusaha energi pada peluncuran Indonesia Clean Energy Forum tanggal 15 November 2018 yang mengambil tema transisi energi (menuju energi terbarukan). Dikatakannya bahwa sebagai pengusaha energi berbasis batu bara, ia merasakan kesulitan untuk melakukan investasi pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Beberapa penyandang dana internasional malah sudah menarik diri dari investasi semacam itu. Di sisi lain, ia menyampaikan banyaknya kendala regulasi untuk mengembangkan energi terbarukan sebagai bagian dari transisi energi. Ia menyimpulkan bahwa energi berbasis batu bara sedang menuju kematian, namun energi terbarukan tidak mendapat dukungan untuk hidup.

Adapun sebulan sebelumnya, 12 Oktober 2018, pada pidato pembukaan pertemuan tahunan IMF/WB di Bali, Presiden Joko Widodo merujuk pada laporan panel antar negara mengenai perubahan iklim (IPCC) yang menyinggung tentang batas ambang kenaikan suhu bumi 1,5 derajat C. Laporan tersebut juga menyebutkan perlunya memperlambat dan menghentikan penggunaan pembangkit energi berbasis batu bara. Wajar jika presiden menegaskan perlunya peningkatan investasi energi terbarukan secara ambisius sebesar 400 persen untuk mengurangi dampak perubahan iklim. BAPPENAS menekankan pokok pikiran semacam itu dalam perencanaan pembangunan rendah karbon untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang diluncurkan pada pertemuan tersebut.

Ringkasnya, pesan utama dari laporan IPCC tersebut adalah jika semua komitmen pengurangan emisi secara sukarela dari masing-masing negara yang dirumuskan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai bagian dari Perjanjian Paris dilaksanakan, maka batas ambang kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat C akan terlampaui. Itu sebabnya, Perjanjian Paris menekankan perlunya perumusan dan penyampaian NDC yang lebih ambisius pada 2020.

Arti NDC yang lebih ambisius adalah negara-negara anggota Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) harus secara kolektif merumuskan target pengurangan emisi dengan mempertimbangkan tanggung jawab dan kemampuan masing-masing negara yang berbeda (prinsip CBDR-RC). Perbedaan tersebut antara lain mencakup tingkat industrialisasi, kemauan politik, jumlah penduduk, kemampuan ekonomi, dan tanggung jawab historis atas emisi. Namun demikian, pengurangan emisi secara kolektif tersebut harus mampu menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat C pada 2030.

Adakah cara yang adil untuk menentukan jatah emisi dari masing-masing negara? Apakah ada mekanisme top-down di UNFCCC untuk memastikan masing-masing negara berjanji untuk mengurangi emisinya secara proporsional berdasarkan prinsip CBDR-RC? Apakah akan terjadi proliferasi dan pengkubuan negara-negara berdasarkan kepentingan memperkecil target pengurangan emisinya?

Namun mengingat laporan IPCC menyebutkan perubahan iklim sebagai bencana maha besar bagi umat manusia dengan bahan bakar fosil sebagai sumber utama emisi penyebab perubahan iklim, maka mungkin diperlukan langkah pembentukan fossil fuel non-proliferation treaty (perjanjian nonproliferasi bahan bakar fosil) seperti halnya kesepakatan nonproliferasi yang diambil untuk nuklir (nuclear non-proliferation treaty) pada 1968 (Simms dan Newell, 2018). Pada saat itu, semua negara merasakan urgensi untuk membatasi persenjataan nuklir dan mencegah terjadinya bencana nuklir. Urgensi yang sama untuk perubahan iklim telah dimuat secara jelas dengan argumen sains yang kuat pada laporan IPCC tersebut. Urgensi ini ditekankan Presiden Joko Widodo dalam pidato bertemakan skenario Game of Thrones kepada dunia internasional pada pertemuan IMF/WB tersebut.

Dalam tata aturan sidang PBB, termasuk COP24 di Katowice, Polandia bulan Desember 2018 mendatang, kepala negara akan mendapat kesempatan utama untuk menyuarakan aspirasi negaranya. Dengan demikian, dengan urgensi perubahan iklim dan kesepakatan semua negara untuk mengurangi emisi secara lebih ambisius, kelompok negara berkembang dalam G77 dapat memutuskan untuk menghadirkan semua kepala negaranya di COP24 untuk meminta 10 negara penyumbang emisi terbesar, termasuk Indonesia, untuk berjanji mengurangi emisi secara ambisius. Atau, kepala negara dari 38 negara yang tergabung dalam Small Islands Developing States juga dapat menyuarakan tuntutan yang sama.

Rasanya Presiden Joko Widodo perlu hadir pada COP24 untuk kembali menyuarakan pentingnya bekerja sama menghadapi ‘musuh bersama’, yaitu perubahan iklim seperti yang telah disampaikan pada pertemuan IMF/WB lalu. Presiden Joko Widodo juga perlu hadir untuk memperjuangkan posisi Indonesia agar kontribusi pengurangan emisi yang erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi tidak memperlambat pembangunan negara. Kesepakatan pada COP24 akan sangat mempengaruhi arah pembangunan dalam negeri yang dirumuskan dalam NDC 2020.

Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada kegiatan ekonomi dan proses produksi yang menghasilkan emisi dalam jumlah besar. Analisis atas data emisi gas rumah kaca dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Produk Domestik Bruto (PDB) dari Badan Pusat Statistik tahun 2014 menunjukkan bahwa Indonesia mengeluarkan emisi sebesar 174,53 tCO2e untuk menghasilkan tambahan PDB sebesar 1 miliar rupiah. Rasio ini disebut sebagai intensitas emisi. PDB Indonesia pada tahun tersebut mencapai 890,8 miliar dolar AS. Bandingkan dengan intensitas emisi India sebesar 106 tCO2e dan Cina sebesar 73 tCO2e yang jauh lebih kecil dari Indonesia dengan PDB masing-masing 2,04 triliun dolar AS dan 10,48 triliun dolar AS. Pada 2017, tambahan 40 persen kapasitas listrik di India berasal dari tenaga surya, sehingga total kapasitas listrik tenaga surya negara ini menjadi 22.000 MW. Di Indonesia, kapasitas listrik tenaga surya hanya mencapai 94,45 MW pada 2018. Harga listrik tenaga surya di India adalah Rs 2,46/kwh, lebih murah dari listrik pembangkit diesel yang seharga Rs 3,20/kwh. Hal inilah antara lain yang menurunkan intensitas emisi India dan juga di Cina yang merupakan produsen terbesar listrik tenaga surya.

Akhirnya, dapat dikatakan bahwa target pengurangan emisi Indonesia hanya dapat dicapai melalui pembangunan rendah karbon yang saat ini sedang didorong Pemerintah Indonesia dalam RPJMN 2020-2024. Semangat NDC 2020 yang lebih ambisius untuk memastikan ambang batas kenaikan suhu bumi tidak melampaui 1,5 derajat C pada 2030 harus menjadi acuan perencanaan dan strategi pembangunan jangka panjang Indonesia. Presiden Joko Widodo perlu hadir pada COP24 untuk memastikan bahwa target emisi Indonesia yang disepakati secara global haruslah yang dapat dilaksanakan dan dipenuhi oleh bangsa Indonesia.