Film terbaru Leonardo DiCaprio, Before the Flood, merupakan karya yang membawa ketenangan, dirangkai dengan indah, dan pada saat yang bersamaan menyakitkan untuk dilihat. DiCaprio membawa para penonton melihat perjalanan global tentang bagaimana iklim mengalami perubahan dan berbagai penyebab perubahan iklim yang membalikkan kehidupan manusia dan membuat susunan biologis planet bumi kacau balau. Kita melihat begitu luasnya jejak manusia di seluruh dunia, dari sesak nafas akibat kabut asap di Beijing sampai pemandangan pasir ter di Kanada yang menghitam dan tandus; kenaikan air laut dari Miami sampai ke kepulauan Pasifik; mencairnya lapisan es di Greenland; serta kerusakan berbagai hutan hujan yang luas di Amazon akibat peternakan dan di Indonesia akibat perkebunan kepala sawit. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan peringatan akan besarnya dan kompleksnya kekuatan-kekuatan yang mendorong perubahan iklim.

Berbagai ahli yang diwawancarai oleh DiCaprio menegaskan bahwa yang terburuk belum terjadi, kecuali manusia mengubah perilakunya secara radikal dalam hal memproduksi dan menggunakan energi, pangan, dan hal-hal lainnya.

Pada kenyataannya, leitmotif (tema utama) dari film ini adalah lukisan ikonis Hieronymus Bosch The Garden of Earthly Delights (Taman Kesenangan Duniawi), yang menjadi pembuka dan penutup film. Panel pada sisi kiri triptych (lukisan yang terdiri atas tiga panel) melukiskan Taman Eden; panel besar pada bagian tengah melukiskan dominasi umat manusia terhadap planet bumi serta beraneka ragam tumbuhan dan binatang yang menghuninya; panel di sisi kanan membawa kita pada pemandangan kiamat di bumi, kebakaran, siksaan dan kematian. Dalam pandangan DiCaprio, manusia hampir terjatuh dari panel tengah ke kanan – yang benar-benar nampak seperti pasir ter di Kanada yang dilalui DiCaprio pada awal film.

Bagi saya, satu bagian dari film tersebut sangat mempengaruhi saya:

Sebagai seorang penjelajah (backpacker) dan peneliti hutan sekitar 30 tahun yang lalu, saya menjelajahi berbagai hutan hujan yang sangat luas dan alami di pulau Sumatera Indonesia. Pada pertengahan tahun 1990-an, saya meneliti ekosistem Leuser di provinsi Aceh, Sumatera, fokus kegiatan konservasi hutan hujan yang pada saat itu paling banyak didukung oleh donor di dunia. Hutan, harimau, gajah, dan badak di Leuser saat itu menghadapi berbagai ancaman, tetapi masih banyakjuga yang harus dilindungi. Dan terdapat optimisme bahwa sumber daya dan kemauan politik pada akhirnya akan siap untuk melakukan upaya konservasi.

<p>Sumatran tigers are one of many species that call Indonesia’s Leuser ecosystem home. Photo by Chris Tillman/Flickr</p>

Sumatran tigers are one of many species that call Indonesia’s Leuser ecosystem home. Photo by Chris Tillman/Flickr

Dua dekade setelah saya melintasi hutan-hutan tersebut, DiCaprio datang ke Leuser dan merasa cemas karena kebakaran dan kabut asap, dan oleh deretan pohon kelapa sawit yang tampak tiada akhir. Hal ini menyentuh hati saya. Saya memiliki buku bacaan santai dari tahun 1990 tentang Leuser berjudul Indonesian Eden (Firdaus Indonesia). Namun demikian, sebagian besar dari “Firdaus” tersebut telah berubah menjadi kiamat seiring dengan pergantian abad. Tsunami tahun 2004, yang menyebabkan kematian 250.000 penduduk Aceh, membawa penderitaan yang luar biasa.

Telah terdapat beberapa kemajuan di Indonesia. Beberapa perusahaan besar yang memproduksi barang konsumen dan para pemasok minyak kelapa sawit mereka di Indonesia telah berjanji untuk tidak melakukan deforestasi (zero-deforestation pledges). Para produsen bubur kayu dan kertas juga telah memberikan komitmen serupa. Akan tetapi, komitmen tersebut sudah terlambat untuk Sumatera. Berbagai hutan hujan primer yang telah ada sejak lama, apabila sudah rusak, tidak dapat dikembalikan mendekati kondisi awalnya, meskipun dalam periode waktu yang lama. Sayangnya, tidak ada konsekuensi yang dibebankan ke perusahaan-perusahaan yang telah menyebabkan kerusakan tersebut.

Film ini mengingatkan kita bahwa ilmu pengetahuan menyatakan bahwa perubahan iklim memang terjadi. Yang masih belum dimiliki untuk mengatasi perubahan iklim, terlepas dari momentum Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, adalah kemauan politik. Before the Flood diharapkan akan mendorong warga negara untuk menuntut perhatian dan tindakan lebih dari para pemimpin dan politisi kita.

Before the Flood tayang perdana di Saluran National Geographic pada tanggal 30 Oktober dan dapat pula ditonton online di situs web film ini.