Seri Tata Kelola Lahan Gambut

Di tahun 2015, Indonesia mengalami kebakaran hebat yang menghanguskan lebih dari 50 persen lahan gambut. Sejak itu, Indonesia menggandakan upaya perlindungan dan restorasi ekosistem gambut, yang merupakan ekosistem paling kaya karbon di dunia dan paling banyak dicari untuk perluasan lahan pertanian. Perubahan cara pengelolaan lahan gambut di Indonesia sangatlah penting dalam rangka mewujudkan komitmen nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta mencegah dampak merugikan lain dari kebakaran, seperti penutupan sekolah, gangguan pernapasan dan kematian dini. Dalam bagian ketiga dari seri Tata Kelola Lahan Gambut ini, kami menjelaskan bagaimana restorasi dan pelestarian tanaman asli dalam sebuah ekosistem gambut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, terutama kaum perempuan.

Dalam menjalankan mandat restorasi 2,49 juta hektar lahan gambut yang terdegradasi di tujuh provinsi prioritas, Badan Restorasi Gambut (BRG) memanfaatkan pendekatan tiga kaki dalam restorasi, yaitu: pembasahan gambut (rewetting), penanaman kembali (revegetasi) dan pemberdayaan ekonomi (revitalisasi) penduduk lokal. Pendekatan terakhir difokuskan pada peningkatan kesejahteraan penduduk yang tinggal di dalam atau di sekitar ekosistem gambut melalui pengelolaan gambut berkelanjutan. Revitalisasi mata pencaharian penting dilakukan untuk memastikan keberhasilan restorasi dalam jangka panjang, mengingat masyarakat setempat hanya akan melindungi ekosistem yang mereka anggap bernilai bagi kehidupan.

Di banyak pedesaan lahan gambut, salah satu sumber mata pencaharian adalah pemanfaatan komoditas gambut setempat yang layak dijual. Salah satu komoditas yang populer di Sumatera ialah purun (Lepironia articulata), tanaman gambut seratan yang mudah ditemukan di kawasan rawa gambut di Indonesia dan negara-negara tetangga (seperti Thailand dan Malaysia). Di banyak desa di provinsi Sumatera Selatan, provinsi prioritas untuk restorasi lahan gambut, sejumlah masyarakat yang hidup di sekitar lahan gambut memanfaatkan purun secara turun temurun sebagai bahan baku kerajinan tangan, seperti tikar.

<p>Menganyam tikar dari tanaman purun. Foto oleh Bunga Goib/WRI Indonesia</p>

Menganyam tikar dari tanaman purun. Foto oleh Bunga Goib/WRI Indonesia

Tradisi menganyam purun dianggap penting oleh sebagian besar masyarakat gambut di Sumatera Selatan, contohnya masyarakat Pedamaran, sebuah kecamatan yang kaya akan lahan gambut. Di sini, tikar anyaman purun sering digunakan untuk perayaan-perayaan penting dalam kehidupan, seperti membungkus plasenta bayi yang baru lahir, alas untuk malam pertama pengantin baru dan menutup jenazah saat upacara pemakaman. Kemampuan menganyam purun yang sehari-hari dilakukan kaum perempuan Pedamaran, diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

<p>Tikar tradisional untuk acara pernikahan dari Kecamatan Pedamaran. Foto oleh Bunga Goib/WRI Indonesia</p>

Tikar tradisional untuk acara pernikahan dari Kecamatan Pedamaran. Foto oleh Bunga Goib/WRI Indonesia

Penelitian awal kami di Pedamaran menunjukkan bahwa selain nilai budaya yang dimiliki, purun juga memiliki manfaat ekonomis tambahan bagi masyarakat setempat, terutama kaum perempuan. Tikar dari Pedamaran umumnya dijual di desa-desa lain dan kota-kota besar, bahkan hingga ke luar provinsi, biasanya melalui perantara. Seorang penganyam dapat menghasilkan 30 sampai 90 tikar dalam satu bulan dan biasanya menerima penghasilan antara Rp5.000 hingga Rp8.000 per tikar, tergantung ukuran.

Penghasilan yang diperoleh dari menganyam dan menjual tikar dimanfaatkan untuk membantu para suami dan membeli kebutuhan rumah tangga sehari-hari, seperti berbelanja bahan makanan, uang saku anak dan kebutuhan pribadi perempuan. Dengan menyumbang penghasilan tambahan untuk keluarga, para perempuan penganyam purun ini mengaku mereka lebih dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan rumah tangga. Bagi mereka, menganyam purun juga memberikan jaminan keamanan, terutama saat mata pencaharian lain (seperti penanaman padi dan pekerjaan di konsesi lahan minyak sawit) tidak tersedia atau terbatas.

<p>Para perantara. Foto oleh Bunga Goib/WRI Indonesia</p>

Para perantara. Foto oleh Bunga Goib/WRI Indonesia/p>

Meskipun menganyam purun berpotensi meningkatkan kesejahteraan para perempuan desa, pemerintah Sumatera Selatan perlu mengatasi beberapa tantangan yang ada, salah satunya melalui kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat dan pihak swasta. Pertama, menurut petani purun, persediaan bahan baku (tanaman purun yang sudah dipanen) belakangan ini mulai berkurang akibat degradasi gambut dan konversi lahan. Karena sistem hidrologi gambut cukup kompleks, konversi lahan gambut menjadi perkebunan minyak kelapa sawit melalui pembukaan dan pengeringan lahan besar-besaran dapat mengakibatkan kekeringan di beberapa bagian rawa gambut sementara sebagian wilayah rawa lain akan tergenang (lihat Sumarga dkk. 2016). Penurunan persediaan bahan baku menjadi kekhawatiran para penganyam bukan hanya karena kemungkinan mereka kehilangan penghasilan, namun juga hilangnya kearifan lokal dan adat istiadat setempat yang terkait dengan anyaman purun. Bagi mereka, tikar purun adalah identitas yang tak tergantikan oleh jenis tikar apa pun.

Kedua, masalah penting lain yang dihadapi para penganyam ialah terbatasnya akses modal. Saat ini, kondisi ekonomi memaksa mereka untuk meminjam uang dari para tengkulak melalui uang muka (panjar), di mana para penganyam mau tidak mau harus menjual tikar-tikar yang mereka hasilkan dengan harga murah untuk membayar utang. Dengan sistem ini, para penganyam memiliki daya tawar yang rendah. Perbaikan akses bagi para penganyam menuju mekanisme pembiayaan yang lebih adil dan berkelanjutan (seperti pinjaman mikro) dapat membantu menyelesaikan masalah ini.

Terakhir, kami melihat adanya kesenjangan antara permintaan pasar dan persediaan barang. Kebanyakan penganyam hanya memproduksi tikar paling murah dan sederhana karena lebih mudah dibuat dan cepat laku. Beberapa tikar tersebut termasuk barang-barang bermutu rendah, seperti tikar untuk menjemur hasil tani dan tikar pemakaman. Sementara tikar purun berkualitas tinggi masih jarang diproduksi karena para penganyam menganggap potensi pasar untuk produk seperti itu masih rendah lantaran harganya yang mahal.

Penilaian awal kami akan pasaran produk purun di Jakarta dan Palembang (ibukota provinsi Sumatera Selatan) menunjukkan bahwa permintaan produk purun berkualitas dan bernilai tinggi cukup besar, melihat lebih dari 80% responden menginginkan produk dengan desain dan kualitas yang bagus. Oleh karena itu, produk kreatif berbahan purun, seperti tas modis, dapat terjual dengan harga lebih tinggi di kisaran Rp50.000 sampai Rp100.000 per barang. Terlebih lagi, segmen pasar khusus yang mencari produk-produk kerajinan ramah lingkungan juga mulai berkembang. Segmen ini sesuai dengan profil produk-produk berbahan dasar purun lokal. Sebuah studi global yang diterbitkan Nielsen (2015) menunjukkan adanya peningkatan minat terhadap produk ramah lingkungan terutama di antara para milenial. Pada survei Nielsen tersebut, jumlah responden dengan usia kisaran 15-20 tahun yang mengaku rela membayar lebih untuk produk-produk ramah lingkungan meningkat dari 55% di tahun 2014 menjadi 72% di tahun 2015. Untuk memasuki pasar pembeli dengan kesadaran lingkungan yang tinggi, para penganyam dapat memperluas pengetahuan mereka dengan cara mencari inspirasi desain dan teknik anyaman yang kreatif

Melalui pelatihan yang tepat dan pemasaran yang inovatif, menganyam purun dapat menjadi pilihan mata pencaharian yang lebih menguntungkan bagi para perempuan Pedamaran. Ke depannya, dengan memperkuat faktor-faktor pendukung seperti perlindungan ekosistem lahan gambut, pelestarian tradisi menganyam purun dan pendanaan modal yang adil, anyaman purun dapat berkembang pesat dan turut mendukung upaya BRG dalam merestorasi lahan gambut terdegradasi di Sumatera Selatan.