Artikel ini awalnya dipublikasikan di The Jakarta Post.

Lemahnya tata kelola hutan dan lahan di Indonesia seringkali disebabkan oleh peta acuan yang tidak akurat, tidak lengkap, tidak mutakhir, dan tidak jelas walidatanya, sehingga menyebabkan lambatnya proses penetapan/perubahan rencana tata ruang, tumpang tindih konsesi dan perizinan, dan berkembangnya konflik yang melibatkan masyarakat tempatan. Penerbitan Perpres 9/2016 tentang Kebijakan Satu Peta adalah terobosan kunci Presiden Joko Widodo untuk secara sistematis dan mendasar menangani pengelolaan hutan dan lahan secara akuntabel melalui penyatuan peta-peta tematik dari berbagai sektor melalui proses sinkronisasi, termasuk peta konsesi berbasis lahan seperti pertambangan, perkebunan, dan perhutanan.

Sinkronisasi tersebut akan sangat efektif untuk memastikan pemanfaatan sumber daya alam kita berjalan secara akuntabel dan tidak disalahgunakan. Penelitian Indonesia Corruption Watch menyebutkan kerugian negara dari pendapatan bukan pajak sektor kehutanan saja mencapai Rp 169,7 triliun pada rentang 2004-2007. Kerugian besar lainnya akibat lemahnya akuntabilitas pengelolaan lahan dapat dilihat dari kebakaran hutan dan lahan yang mengorbankan kesejahteraan masyarakat dan kerugian ekonomi melebihi Rp 200 triliun.

Apa yang sebenarnya dilakukan dalam proses sinkronisasi tersebut? Dalam konteks peta konsesi berbasis lahan, semua bidang konsesi yang diterbitkan oleh berbagai sektor diletakkan di atas peta dasar rujukan, yaitu Peta Rupa Bumi Indonesia dari Badan Informasi Geospasial. Kemudian, setiap bidang konsesi yang tumpang tindih dicermati, apakah ketumpangtindihan tersebut ada dasar regulasinya (misalnya menurut Perpres 28/2011 tambang tertutup dalam hutan lindung diijinkan), atau apakah karena kelalaian. Kemudian dicermati kelalaian macam apa yang terjadi, misalnya kelalaian secara teknis akibat peta batas kawasan hutan yang belum jelas membuat ijin konsesi perkebunan sawit masuk dalam kawasan hutan.

Dalam praktiknya, sinkronisasi peta tidak sesederhana itu. Satu bidang konsesi bisa memiliki berbagai masalah batas yang melibatkan banyak pihak dengan perbedaan kepentingan. Misalnya, bidang konsesi perkebunan sawit berada pada wilayah yang diklaim sebagai tanah masyarakat adat, terhampar pada dua wilayah kabupaten yang masih belum tetap batas administratifnya, serta bertumpang tindih sebagian dengan konsesi pertambangan dan sebagian lainnya dengan pemukiman yang telah dihuni oleh masyarakat lokal yang telah menetap dan memiliki KTP bahkan Surat Keterangan Tanah atas kebun miliknya.

Bagaimana cara melaksanakan sinkronisasi atas ribuan konsesi dengan masalah semacam itu untuk mendapatkan satu peta sejati, yaitu peta yang diterima oleh semua pihak dan menjadi rujukan semua pihak? Satu peta atau one map bahkan bisa menjadi no one map atau bukan petanya siapa-siapa jika penyikapan dalam proses sinkronisasi dan harmonisasinya dipandang tidak tepat oleh para pihak yang berkenaan.

Menyatukan peta untuk mencapai satu peta dalam kerangka Kebijakan Satu Peta lebih merupakan kegiatan non-teknis yang tidak menyangkut pemetaan dan perpetaan dalam arti sempit. Kegiatan utama dalam penyatuan peta adalah mencapai kesepakatan tuntas atas semua batas-batas dari berbagai jenis bidang lahan. Batas-batas termaksud adalah batas persil pekebun kecil, konsesi perusahaan besar, hutan adat, wilayah administratif desa, batas kawasan hutan (termasuk taman nasional, cagar alam), dan sebagainya. Jika batas-batas termaksud sudah diterima oleh para pihak melalui permusyawarahan untuk mufakat maka batas-batas tersebut akan direkam dalam suatu peta. Hal ini adalah pada dasarnya adalah skema transformasi konflik pada tingkatan tapak yang akan menghasilkan satu peta sejati yang lebih menjamin tidak adanya konflik dimasa mendatang.

Jika proses menuju satu peta tidak dilakukan secara inklusif di tingkat tapak, satu peta yang dihasilkan justru dapat menimbulkan atau memperuncing konflik di lapangan. Sebagai contoh, jika masyarakat adat atau komunitas lokal tidak dilibatkan dalam pegukuhan kawasan cagar alam dimana mereka telah bermukim selama beberapa generasi, kelompok masyarakat tersebut dapat termarginalisasi secara legal dan ekonomi. Hal ini akan menyebabkan ketidakpuasan terhadap pemerintah yang dapat berujung kepada konflik sosial. Untuk menjamin konflik tidak muncul atau kembali timbul di masa mendatang, Kebijakan Satu Peta harus mengatasi permasalahan struktural di dalam kebijakan tata kelola lahan dan ketimpangan penguasaan lahan. Agenda reforma agraria dan skema perhutanan sosial yang diusung Presiden Joko Widodo dalam kerangka Kebijakan Satu Peta dapat menjadi solusi –bukan masalah baru—jika prosesnya berhasil dijalankan secara inklusif di tingkat tapak.

Berdasarkan pandangan tersebut, seyogyanya Kebijakan Satu Peta dilengkapi dengan mekanisme penyatuan peta pada tingkatan tapak. Satu peta pada tingkatan tapak adalah proses fasilitasi transformasi konflik yang bertujuan untuk mengubah pola hubungan dan kondisi secara struktural. Artinya, proses ini bukan sekadar mendaftarkan keluhan dan mencari kesepakatan. Pada skema ini, diperlukan forum multipihak yang inklusif dan kredibel yang mampu menempatkan para pihak dalam posisi sejajar sehingga menjadi kunci keberhasilan upaya tersebut. Kesejajaran posisi para pihak tersebut memerlukan unsur pemerintah, pekebun kecil, pengusaha besar, masyarakat adat, penegak hukum, akademisi, dan pihak lainnya untuk berkomunikasi dengan konstruktif, mendengarkan dan berempati dengan perspektif yang berbeda, serta membangun kepercayaan untuk menuntaskan masalah batas-batas secara kolaboratif. Semangat kolaborasi untuk mentransformasi masalah secara musyawarah mufakat akan memunculkan berbagai solusi dan inovasi kebijakan tata kelola untuk menghasilkan satu peta sejati. Semangat kolaborasi ini yang akan melandasi tanggung renteng penyediaan sumber daya yang diperlukan dalam proses sinkronisasi dan harmonisasi peta yang sudah pasti akan sangat besar serta butuh waktu yang relatif panjang.

Pemerintah harus memimpin dan memfasilitasi proses ini dengan kepemimpinan yang kuat, jujur dan transformatif. Anggota masyarakat dari berbagai kelompok termasuk serikat pekebun kecil, asosiasi pengusaha besar, kelompok masyarakat sipil harus berperan serta secara aktif dalam proses ini dengan niatan baik. Ini adalah langkah kunci untuk dapat mengelola hutan dan lahan secara akuntabel sebagai yang diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Kebijakan Satu Peta, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia seperti termuat dalam Nawa Cita.