Posting blog ini adalah bagian dari seri Perjuangan untuk Lahan WRI.

Dari generasi ke generasi, masyarakat adat Santa Clara de Uchunya telah mendiami salah satu bagian terpencil Amazon di wilayah Peru. Seperti banyak masyarakat adat lainnya, masyarakat Shipibo-Konibo ini secara tradisional mengelola dan mengandalkan hutan untuk berburu, menangkap ikan dan mendapatkan sumber daya alam lainnya.

Namun pada tahun 2014, penebangan besar-besaran mulai dilakukan di hutan leluhur masyarakat ini.

Tanpa sepengetahuan atau persetujuan anggota masyarakat adat ini, pemerintah daerah telah menjual hak milik atas 200 bidang tanah kepada perusahaan kelapa sawit Plantaciones de Pucallpa, bagian dari kelompok perusahaan asing yang diketahui terlibat dalam berbagai masalah lingkungan dan hukum.

<p>Deforestasi yang disebabkan oleh pengembangan kelapa sawit di Santa Clara de Uchunya. Foto oleh Mathias Rittgerott</p>

Deforestasi yang disebabkan oleh pengembangan kelapa sawit di Santa Clara de Uchunya. Foto oleh Mathias Rittgerott

Ketika masyarakat adat ini meminta bantuan kepada organisasi adat FECONAU, mereka menemui satu masalah: Santa Clara de Uchunya hanya memiliki hak kepemilikan legal formal atas sebagian kecil tanah leluhur mereka — sekitar 218 hectares dari sekitar 8,000 hektar yang mereka tinggali.

Jadi pada tahun 2015, masyarakat adat ini meminta perpanjangan hak kepemilikan atas tanah leluhur mereka. Pemerintah Daerah menanggapi dengan janji-janji yang tidak jelas dan menyiratkan bahwa tidak ada yang dapat dilakukan karena adanya persaingan klaim atas lahan tersebut. Dihadapkan pada kelambanan administratif, masyarakat adat ini mengajukan gugatan hukum untuk memaksa pemerintah mengakui hak konstitusional atas tanah leluhur mereka.

TGugatan itu masih tertahan di pengadilan dan masyarakat adat ini hanya mendapatkan komitmen pemerintah untuk perluasan kecil seluas 750 hektar. Ketika pejabat pemerintah dan anggota masyarakat mencoba menyelesaikan pemetaan yang diperlukan untuk perluasan ini, kerumunan besar, yang diduga berafiliasi dengan perusahaan kelapa sawit tersebut, menghalangi jalan mereka.

Anggota masyarakat adat ini terus melakukan advokasi, tetapi mereka menghadapi kekerasan yang semakin parah. Beberapa orang bersenjata yang tidak dikenal mendatangi rumah mereka dan mengancam mereka dengan kata-kata seperti, “Kami siap membunuh.” Mereka memukuli seorang anggota masyarakat yang menolak meninggalkan tanahnya dan menembaki delegasi masyarakat yang mencoba mengumpulkan bukti terjadinya deforestasi.

<p>Anak-anak dari komunitas La Roya yang merupakan bagian dari Shipibo-Konibo. Foto oleh Juan Carlos Huayllapuma/CIFOR</p>

Anak-anak dari komunitas La Roya yang merupakan bagian dari Shipibo-Konibo. Foto oleh Juan Carlos Huayllapuma/CIFOR

Sementara itu, operasi kelapa sawit terus berlanjut, meskipun sudah ada beberapa perintah pengadilan untuk penghentian operasional perusahaan karena belum mendapatkan izin penuh dan karena deforestasi ilegal yang mereka lakukan atas setidaknya 5.300 hektar lahan.

“Tidak terbayang sebelumnya oleh kami bahwa kami akan terlibat dalam masalah seperti ini dengan suatu perusahaan transnasional,” kata Carlos Hoyos Soria, pemimpin masyarakat Santa Clara de Uchunya. “Kami hidup dari berburu, menangkap ikan — dari sumber daya yang ditawarkan hutan. Tanpa lahan, masyarakat adat tidak memiliki apa-apa.”

Perjuangan Santa Clara de Uchunya untuk Hak atas Tanah Terjadi di Seluruh Dunia

Kisah Santa Clara de Uchunya sudah sangat familiar. Penelitian baru WRI menemukan bahwa di 15 negara di Amerika Latin, Afrika dan Asia, masyarakat pedesaan dan masyarakat adat menghadapi tantangan berat untuk meresmikan hak atas tanah mereka. Sementara mereka menunggu puluhan tahun untuk hak kepemilikan lahan yang mungkin tidak akan pernah mereka dapatkan, perusahaan-perusahaan dapat memperoleh lahan atau mulai beroperasi hanya dalam waktu 30 hari (lihat sendiri perbedaan prosesnya melalui infografis interaktif). Konflik yang terjadi akibat perebutan lahan dapat berlangsung bertahun-tahun, mengakibatkan tergusurnya masyarakat serta risiko hukum dan ekonomi yang signifikan bagi perusahaan.

Masyarakat adat dan pedesaan menempati lebih dari separuh lahan di dunia, tetapi secara hukum mereka hanya memiliki 10 persen tanah secara global. Perolehan hak formal atas tanah adalah salah satu dari banyak alat yang mereka gunakan untuk melindungi tanah mereka, tetapi penelitian kami menemukan ketidakadilan yang jelas dalam prosedur ini:

  • Masyarakat harus berjuang keras untuk mendapatkan hak formal atas tanah mereka. Sebagian besar masyarakat tidak menyadari bahwa kepemilikan adat atas tanah mereka tidak memiliki perlindungan hukum; mereka yang menyadari hal ini juga tidak memiliki pengetahuan hukum dan sumber daya yang memadai untuk memulai proses pengajuan hak-hak formal. Meskipun setiap negara memiliki undang-undang yang berbeda, langkah-langkah yang harus dilakukan dalam formalisasi lahan cukup rumit, seperti harus membuat laporan teknis atau dokumen hukum. Dalam praktiknya, sebagian besar masyarakat membutuhkan bantuan dari organisasi nirlaba eksternal. Selain itu, seperti yang terjadi dengan Santa Clara de Uchunya, masyarakat sering kali malah tidak bisa mendapatkan hak atas tanah mereka sama sekali ketika terjadi konflik atau tumpang tindih hak dan konsesi tanah. Berdasarkan temuan kami, hal ini menjadi tantangan utama tidak hanya di Peru, tetapi juga di negara-negara seperti Indonesia, Tanzania, Guyana dan Mozambik.

  • Bahkan ketika masyarakat mendapatkan hak kepemilikan, dokumen-dokumen yang dikeluarkan tidak mengikutsertakan tanah leluhur dan sumber daya alam. Hak kepemilikan awal yang dimiliki Santa Clara de Uchunya hanya mencakup sebagian kecil dari total wilayah mereka. Tidak tercakupnya tanah leluhur dalam hak kepemilikan tanah merupakan masalah yang juga banyak dihadapi oleh kelompok masyarakat lain mengingat otoritas pemerintah sering membatasi ukuran tanah yang diberikan kepada kelompok masyarakat secara sewenang-wenang. Di beberapa negara, jenis tanah tertentu tidak dapat dimasukkan ke dalam hak kepemilikan: di Peru, masyarakat harus melakukan prosedur terpisah untuk lahan yang diklasifikasikan sebagai “kawasan hutan” oleh pemerintah. Prosedur ini pun hanya memberikan kontrak untuk penggunaan tanah mereka (a cesión en uso) dan bukan hak kepemilikan. Dalam praktiknya, sedikit sekali kelompok masyarakat yang dapat memperoleh kontrak ini.

  • Beberapa perusahaan mengambil jalan pintas untuk memperoleh hak tanah yang mengakibatkan dampak sosial dan lingkungan yang besar. Undang-undang dan kebijakan yang mengatur bagaimana perusahaan memperoleh tanah terkadang bertentangan atau tidak konsisten sehingga meninggalkan celah yang dapat dimanfaatkan perusahaan untuk memperoleh hak tanah lebih cepat. Seperti Plantaciones de Pucallpa yang tidak melengkapi perizinan sosial dan lingkungan dengan benar sebelum memulai operasinya, beberapa perusahaan memanfaatkan terbatasnya kemampuan pemerintah untuk memantau pelanggaran. Hal ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga mengakibatkan perusahaan yang secara hati-hati menyaring risiko lingkungan dan sosial tidak dapat berkompetisi dengan mereka yang mengambil jalan pintas.

<p>Anak desa di Indonesia. Foto oleh Icaro Cooke Vieira/CIFOR</p>

Anak desa di Indonesia. Foto oleh Icaro Cooke Vieira/CIFOR

Menyelesaikan Akar Masalah Hak Tanah

Saat ini, kejahatan lingkungan dan transaksi tanah bermasalah baru diinvestigasi setelah terjadi sehingga penanganannya sudah terlambat, mahal serta memakan waktu. Akan lebih baik jika masalah pertanahan dapat diselesaikan hingga ke akarnya. Pemerintah harus memberikan hak tanah masyarakat adat dan masyarakat umum, meningkatkan pemantauan atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan dalam proses pengadaan tanah dan memastikan bahwa perusahaan telah mendapatkan persetujuan dengan informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat yang tinggal di tanah tersebut sebelum mulai beroperasi.

  • PELAJARI LEBIH LANJUT: Baca laporan lengkapnya, The Scramble for Land Rights: Reducing Inequity Between Communities and Companies