West Kalimantan, Indonesia. Photo credit: Beth Gingold/WRI
In May, 2011, Indonesia put into effect a two-year moratorium on the award of new concessions for exploitation of natural forests and peat lands. Photo credit: WRI

Hari ini WRI menerbitkan kertas kerja yang menyediakan informasi baru mengenai moratorium pada konsesi hutan baru di Indonesia. Analisis kami menyimpulkan bahwa moratorium saja tidak akan berkontribusi terhadap target pengurangan emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen pada tahun 2020. Meskipun demikian, moratorium membantu pencapaian target tersebut dalam jangka panjang dengan “menciptakan jeda” terhadap pola business-as-usual, sehingga menyediakan waktu yang diperlukan untuk melakukan reformasi tata kelola.

Pada bulan Mei, 2011, Indonesia mengesahkan moratorium selama dua tahun atas konsesi baru yang berpotensi mengeksploitasi hutan alam dan lahan gambut. Moratorium ini dirancang untuk menyediakan waktu bagi pemerintah – dengan partisipasi dari sektor industri dan masyarakat sipil – untuk menciptakan perubahan-perubahan terhadap tata kelola kehutanan yang akan berkontribusi terhadap target pengurangan emisi gas rumah kaca. Indonesia saat ini merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, yang sebagian besar disebabkan oleh hilangnya hutan.

Walaupun demikian, memperhitungkan apa saja yang tercakup dan tidak tercakup dalam moratorium merupakan hal yang sulit. Yang menjadi perhatian khusus adalah jumlah hutan primer dan lahan gambut yang tercakup dalam moratorium, karena jumlah stok karbon yang besar yang tersimpan di jenis hutan tersebut. Untuk mencoba menjawab beberapa pertanyaan ini, kertas kerja WRI memeriksa cakupan, pengecualian, pelanggaran, dan nilai tambah dari moratorium (apakah moratorium tersebut menjangkau perlindungan terhadap lahan yang baru yang belum terlindungi). Beberapa temuan kuncinya adalah sebagai berikut:

Klik untuk membaca Kertas Kerja secara utuh.
  • Cakupan: Ada 43,3 juta hektare (ha) hutan primer dan lahan gambut yang termasuk dalam moratorium. Hutan-hutan tersebut menyimpan sekitar 25,3 gigaton (1 miliar metrik ton Gt) karbon.
  • Pengecualian: Pengecualian atas konsesi yang telah ada berarti bahwa 3,5 juta ha hutan primer dan gambut di dalam batas-batas moratorium tidak terlindungi. Hal ini berisiko menghasilkan emisi 4,0 Gt karbon atau 14,6 Gt CO2.
  • Nilai tambahan: Setelah mekanisme yang ada untuk melindungi hutan diperhitungkan, penelitian ini menemukan bahwa moratorium akan melindungi 11,3 juta ha tambahan hutan primer dan gambut. Dengan demikian, hanya 26 persen dari total area di dalam batas moratorium yang dilindungi oleh hukum, yang sebelumnya tidak dilindungi.
  • Pengecualian: 15,6 juta ha hutan sekunder termasuk di dalam moratorium. Meskipun demikian, hutan sekunder tersebut tidak memiliki status yang jelas karena instruksi presiden yang mencanangkan moratorium tidak secara eksplisit mencakup hutan sekunder.
  • Pelanggaran: Penelitian terbaru menemukan bahwa terdapat 103 pembukaan kawasan hutan, termasuk yang terletak di dalam zona moratorium (dan sebelumnya tidak termasuk dalam wilayah konsesi) di tiga bulan pertama sejak moratorium disahkan pada bulan Mei 2011.

Berdasarkan temuan-temuan ini, perlindungan yang diberikan oleh moratorium tidak akan berkontribusi terhadap target pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia. Namun, moratorium akan memberikan peluang untuk memperkuat tata kelola hutan dan mengawali jalur pembangunan rendah karbon. WRI dan para mitra kami di Indonesia mendiskusikan peluang-peluang tersebut dengan para pemangku kepentingan di sebuah lokakarya pada bulan Desember 2011, mengenai reformasi tata kelola yang bisa menghasilkan moratorium. Kesimpulan-kesimpulan awal dari lokakarya tersebut meliputi:

  • Transparansi data - Meskipun pemerintah menerbitkan peta wilayah cakupan moratorium yang tersedia untuk umum, transparansi yang lebih besar dibutuhkan untuk menelusuri dan mengelola moratorium dengan lebih baik. Data spasial yang dihasilkan dari teknik yang kokoh, akurat secara hukum, dan selalu diperbarui, termasuk data perizinan, harus dipublikasikan untuk umum. Transparansi yang lebih baik juga harus disertai dengan penguatan kapasitas analisis tata ruang.
  • Reformasi tata kelola – Keputusan moratorium mencakup perintah bagi berbagai lembaga untuk memperbaiki tata kelola, termasuk memperbaiki proses penerbitan perizinan konversi hutan dan percepatan proses revisi tata ruang. Apakah moratorium akan memiliki dampak positif jangka panjang atau tidak, tergantung pada apakah dan bagaimana pemerintah akan mengimplementasikan perintah tersebut.
  • Penegakan – Meskipun jarang, deforestasi di wilayah moratorium masih sering terlihat dengan penginderaan jarak jauh dan telah diverifikasi di lapangan. Pengawasan dan penegakan, terutama di tingkat lokal, perlu ditingkatkan jika ingin mewujudkan potensi manfaat moratorium.
  • **Revisi batas* – Peta batas-batas moratorium yang asli dipublikasikan pada bulan Mei 2011 dan versi terbarunya dipublikasikan pada bulan November 2011. Walaupun penting untuk memperbaiki moratorium ketika data yang lebih baik mulai tersedia, kita juga perlu mendefiniskan batas moratorium yang pasti, yang dapat menjadi acuan untuk mengukur perkembangan.
  • Tolak ukur keberhasilan – Banyak target moratorium, termasuk proses perencanaan dan perizinan pemanfaatan lahan yang lebih baik serta pengumpulan data dan sistem informasi yang lebih kokoh, tidak bisa ditelusuri dengan dengan analisis tata ruang. Definisi keberhasilan yang jelas, termasuk indikator perkembangan masa interim, seharusnya didefinisikan oleh pemerintah dan ditelusuri dari waktu-ke-waktu.
  • Koordinasi – Kementerian dan lembaga pemerintah telah bekerja sama dalam mengembangkan moratorium, membutuhkan keterbukaan data dan koordinasi yang lebih baik. Langkah penting menuju pengelolaan hutan dan target pembangunan ramah iklim adalah dengan melanjutkan koordinasi antar lembaga dan antara pemerintah nasional dan sub-nasional.
  • Pembangunan ramah iklim – Moratorium menciptakan beberapa insentif untuk meningkatkan produktivitas dan memanfaatkan lahan terdegradasi yang rendah karbon, ketimbang menggunakan wilayah hutan maupun lahan gambut, sebagai alternatif yang layak untuk ekspansi pertanian dan hutan tanaman. Perluasan wilayah pertanian hendaknya dibatasi dalam wilayah yang telah ditebangi, lahan non-gambut, dan diimplementasikan dengan cara yang menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.

Nasib hutan di Indonesia sangat penting, baik bagi emisi gas rumah kaca nasional dan untuk iklim global secara keseluruhan. Meskipun moratorium yang ada sekarang bukan merupakan senjata pamungkas, moratorium bisa membantu mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca dengan menyediakan waktu yang diperlukan untuk mereformasi tata kelola hutan. Menciptakan perbaikan-perbaikan ini sekarang dapat menghasilkan kebijakan kehutanan yang lebih baik di masa depan, ketika moratorium yang diterapkan selama dua tahun tersebut akhirnya dicabut.