Dalam beberapa tahun terakhir, isu stunting kerap menjadi perbincangan di masyarakat. Permasalahan ini memang masih memprihatinkan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 21,6% anak Indonesia mengalami stunting, 7,7% mengalami wasting, dan 17,1% mengalami underweight (SSGI, 2022). Dibandingkan beberapa negara lain di Asia Tenggara seperti Kamboja, Lao PDR, Myanmar, Filipina dan Vietnam, Indonesia menempati urutan tertinggi dalam angka prevalensi stunting anak usia di bawah lima tahun (UNICEF, 2021).

Situasi ini tentu sangat mengkhawatirkan, tidak hanya bagi kesehatan anak tersebut, tetapi juga untuk perekonomian negara. Data ICASEPS menunjukkan bahwa stunting dapat mempengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 11% dan mengurangi pendapatan pekerja sebesar 20%.

Intervensi pengentasan stunting yang lebih efektif perlu dilakukan dalam 1000 hari pertama anak. Untuk itu, pemerintah telah secara khusus mengalokasikan dana yang cukup besar untuk mencapai tujuan penurunan angka stunting sampai menyentuh angka 14% pada tahun 2024. Pendanaan tersebut didistribusikan melalui Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik, Dana Desa serta Hibah ke Daerah dengan total pendanaan sebesar Rp 48,85 triliun, meningkat dari pendanaan tahun 2022 sebesar Rp 8,5 triliun.

Salah satu penyaluran dana dalam skema DBH dilakukan melalui intervensi gizi spesifik untuk mengatasi stunting yang berupa pemberian makanan tambahan (PMT). Kementerian Kesehatan meluncurkan panduan atau petunjuk teknis (Juknis) tentang PMT Berbahan Pangan Lokal pada tanggal 17 Mei 2023 dan melakukan sosialisasi nasional pada 31 Mei 2023. Namun, yang kerap terjadi di lapangan justru pemberian susu formula sebagai suatu upaya untuk mengatasi stunting. Padahal dalam petunjuk teknis dijelaskan bahwa makanan tambahan adalah makanan sehat yang berbahan pangan lokal dan sama sekali tidak ada penyebutan susu formula.

Kemudahan Akses terhadap Susu Formula

Di sisi lain, berdasarkan Pasal 9 Permenkes No 39/2013 tentang susu formula bayi dan produk bayi lainnya, disebutkan bahwa pemberian susu formula adalah untuk bayi dengan indikasi medis, ibu tidak ada, atau ibu terpisah dari bayi. Indikasi medis berdasarkan indikasi dokter meliputi kelainan metabolisme bawaan seperti galaktosemia, penyakit kemih, fenilketonuria dan lainnya. Susu formula juga dapat diberikan kepada bayi lahir dengan berat badan kurang dari 1,5 kg, prematur, dan berisiko hipoglikemia. Artinya, pemberian susu formula sangatlah spesifik diperuntukkan bagi bayi-bayi dengan kebutuhan tertentu, dengan indikasi medis, dan kondisi-kondisi yang membuat ibu tidak dapat memberikan ASI.

Sayangnya, saat ini pemasaran susu formula dilakukan dengan sangat bebas. Penggunaannya tidak lagi diperuntukkan bagi segmen tertentu, tetapi seolah menjadi makanan utama bagi bayi dan balita dan secara terbuka bersaing dengan Air Susu Ibu (ASI). Susu formula dapat dengan mudah ditemukan dan dibeli di sekitar masyarakat. Padahal, salah satu determinan dari kasus stunting adalah karena bayi tidak menerima ASI eksklusif pada 6 bulan awal kehidupannya.

Lebih lanjut, penelitian World Health Organisation (WHO) juga menyebutkan bahwa pemberian susu formula tidak berdampak pada pertumbuhan bayi dalam kondisi sehat dan pemberian ASI sampai 2 tahun atau lebih justru penting untuk mendukung kesehatan anak. Artinya, secara kesehatan ASI harus tetap menjadi pilihan utama untuk mendukung tumbuh kembang anak.

Strategi pemasaran susu formula ini sudah dikaji dalam laporan WHO (2022) yang menjabarkan berbagai pemasaran yang dilakukan perusahaan susu formula untuk memengaruhi keputusan pembelian. Pemasaran atau iklan yang efektif tersebut dibuat berdasarkan berbagai informasi pribadi yang didapat melalui aplikasi, kelompok dukungan virtual/ klub bayi, membayar media sosial influencer, promosi, acara kompetisi dan seminar-seminar yang diadakan untuk keluarga. Laporan WHO tersebut juga menyebutkan bahwa perusahaan susu formula bisa memposting materi iklan mereka sebanyak 90 kali per hari dengan total pembaca sebanyak 229 juta pengguna media sosial. 

Jadi, meskipun bukti-bukti bahwa pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan pemberian ASI sampai usia 2 tahun atau lebih mendukung kesehatan jangka panjang baik untuk anak, ibu dan komunitas sekitar, tetapi dengan berbagai pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan susu formula dapat mengubah keputusan keluarga untuk pemberian ASI.  

Di Indonesia, persentase rata-rata bayi kurang dari enam bulan yang menerima ASI eksklusif pada tahun 2015-2021 sebesar 51% atau masih dibawah Filipina yang angka rata-ratanya mencapai 55%. Secara umum di sepuluh negara ASEAN rata-rata bayi menerima ASI eksklusif memang relatif rendah, hanya berada di rata-rata 43% saja, masih jauh di bawah rata-rata dunia yang mencapai 48%. Rendahnya angka pemberian ASI eksklusif baik di Indonesia, ASEAN, dan dunia tentu merupakan problem kompleks tersendiri yang harus diatasi, terlebih di Indonesia yang angka stuntingnya masih tinggi.  

Rendahnya angka pemberian ASI eksklusif ini adalah juga memaksa pengeluaran tambahan yang harus dikeluarkan keluarga untuk pembelian susu formula. Investigasi Kompas menyatakan bahwa secara nasional belanja susu formula pada tahun 2019 diprediksi sebesar 3,3 triliun rupiah dan 2020 sebesar 3,6 triliun rupiah.

Presentase Bayi yang diberikan ASI eksklusif

Mengevaluasi Kebijakan Pemberantasan Stunting

Kajian yang dilakukan Bank Dunia (2018) terkait evaluasi efektivitas pengeluaran pemerintah untuk program penanganan stunting memberikan beberapa data yang sangat menarik. Pertama, kader-kader posyandu ternyata paling banyak menerima pelatihan tentang ASI eksklusif (60%).

Kedua, intervensi dengan pengeluaran yang paling besar adalah intervensi gizi sensitif dibandingkan dengan intervensi spesifik[1]. Intervensi paling besar dilakukan melalui pemberian beras bersubsidi (31,6%), penyediaan air bersih (18,9%) dan transfer pada PKH (18,8%).

Ketiga, pemberian makanan tambahan kepada anak dan balita yang terindikasi stunting ataupun ibu hamil masih kurang tepat sasaran. Selain itu ada juga beberapa kasus dimana pemberian makanan tambahan pada akhirnya tidak tersalurkan dan menumpuk.

Keempat, anggaran pemerintah pusat masih mendominasi anggaran penurunan stunting pemerintah daerah.

Evaluasi yang dilakukan ini menunjukkan bahwa sebenarnya kerangka rencana penurunan stunting pemerintah sudah diterapkan melalui suatu sistem yang tidak hanya memberikan intervensi spesifik (imunisasi, pemberian makanan tambahan, dan lain sebagainya) tetapi juga intervensi sensitif (pembenahan sanitasi, sumber air, dan lain sebagainya). Namun, dilihat dari kacamata sistem pangan, bagian lingkungan pangan yakni promosi dan iklan serta filter personal berupa informasi dan pengetahuan belum tersentuh.

Di tahun ini, Indonesia akan memilih pemimpin yang baru. Untuk mencapai target penurunan stunting, pemerintah yang baru nanti, perlu meningkatkan program yang berfokus pada edukasi, promosi dan memberikan pelatihan yang lebih gencar untuk keluarga di Indonesia untuk mengoptimalisasi pemberian ASI dan memberikan makanan tambahan yang berdasarkan pangan lokal. Lebih dari itu, pemerintah perlu memastikan sarana dan prasarana yang lebih ramah bagi ibu. Pemerintah juga perlu berfokus pada kader-kader di desa-desa terutama wilayah-wilayah dengan angka stunting yang cukup tinggi. Kita perlu sama-sama memastikan bahwa edukasi terkait pengentasan stunting tidak diberikan kepada perusahaan-perusahaan susu formula yang tentunya memiliki kepentingan berbeda.

Kerangka Sistem Pangan_V2.jpg

Perusahaan susu formula berinvestasi cukup besar untuk promosi dan melalui berbagai media, dan dapat menghambat efektivitas program penurunan stunting yang di gencarkan pemerintah. Karena itu, pemerintah juga perlu untuk mengefektifkan implementasi kode etik pemasaran susu formula. Berdasarkan skor tahun 2022 tentang pelaksanaan International Code of Marketing of Breastmilk Substitutes, Indonesia sudah mendapat nilai penuh untuk promosi di fasilitas kesehatan, sedangkan nilai lain seperti cakupan, pengawasan dan aturan, informasi dan edukasi, promosi kepada masyarakat umum, keterlibatan sistem dan tenaga kesehatan, serta pelabelan masih tergolong rendah. Di antara aspek-aspek yang disebutkan sebelumnya, skor yang sangat rendah dari Indonesia untuk pelaksanaan kode etik tersebut adalah keterlibatan tenaga kesehatan dan sistem dan juga tentang informasi dan edukasi.

Dengan dukungan pemerintah untuk optimalisasi pemberian ASI dan PMT berbahan pangan lokal juga dapat mendukung kesejahteraan dan kesehatan Masyarakat. Karena ASI dan PMT berbahan pangan lokal adalah opsi yang lebih terjangkau bagi masyarakat secara umum dan terutama masyarakat miskin di Indonesia. Sebagai contoh telur, lele, ikan kembung adalah sumper protein yang berbasis pangan lokal yang dapat mendukung tumbuh kembang anak dan mencegah stunting. Selain itu, opsi ini juga lebih ramah kepada alam karena estimasi emisi GHG dari pabrikasi susu formula mencapai 1,3 juta ton CO2ek, setara dengan emisi karbon dioksida dari kebutuhan listrik lebih dari 220 ribu rumah selama satu tahun

Susu formula harus dikembalikan pada perannya, yaitu suplemen tambahan bagi bayi dengan kebutuhan khusus. Hal ini harus disadari penuh oleh seluruh pihak, termasuk pemerintah, para produsen susu formula, hingga pengusaha ritel, agar kehadiran susu formula tidak menggantikan pentingnya peran ASI dalam pemberantasan stunting.


[1] Intervensi gizi spesifik terdiri dari berbagai program yang bertujuan untuk menanggulangi penyebab langsung masalah stunting, sementara intervensi gizi sensitif merupakan kelompok program yang bertujuan untuk menanggulangi berbagai penyebab tak langsung dari stunting. (Dashboard Stunting)