Kredit foto utama: Dylan de Jonge/Unsplash

Artikel ini telah terbit sebelumnya di The Jakarta Post pada December 12, 2022.

Tanah menjadi fondasi bagi sistem pangan yang memproduksi 95 persen makanan kita. Dalam pidato pembukaan yang disampaikan pada KTT G20 bulan lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menekankan pentingnya menjaga ketahanan pangan di tengah krisis perang Rusia dan pandemi COVID-19 yang belum berakhir.

Sayangnya, urgensi untuk melindungi dan menjaga kesuburan tanah belum menjadi prioritas utama kebijakan pertanian saat ini. Bahkan, alih fungsi sawah menjadi lahan non-pertanian masih mencapai 100.000 hektar (ha) per tahun. Pembukaan lahan persawahan baru tidak mudah dilakukan sekalipun pemerintah sudah berkomitmen untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Penelitian yang dilakukan oleh Setyorini dkk. pada tahun 2010 menemukan bahwa lahan sawah baru di Indonesia seringkali tidak didukung oleh tanah yang subur, kualitas air yang baik dan mikroorganisme yang memadai untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal.

Hari Tanah Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 5 Desember, mengingatkan kita akan pentingnya kesuburan tanah dan mendukung pengelolaan sumber daya tanah yang berkelanjutan. Slogan tahun ini “Tanah: sumber pangan” (“Soils: where food begins”) bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat dengan mengatasi tantangan yang semakin bertambah dalam pengelolaan tanah, meningkatkan kesadaran mengenai tanah, dan mendorong masyarakat untuk meningkatkan kesuburan tanah.

Indonesia telah berhasil mencapai “swasembada” untuk beberapa makanan pokok, khususnya beras. Akan tetapi, kita perlu memastikan bahwa agenda yang diusulkan akan turut mendukung visi untuk mewujudkan masyarakat dan Bumi yang lebih lestari.

Dari segi lingkungan, produksi beras turut berkontribusi terhadap pemanasan global karena emisi gas rumah kaca (GRK), seperti metana dan dinitrogen oksida, yang dilepaskan dalam proses produksi. Penelitian yang dilakukan oleh Susilawati dkk. pada tahun 2015 menemukan bahwa lahan sawah diperkirakan menyumbang 5-19 persen dari total emisi metana global karena banjir yang terus menerus dan penggunaan pupuk anorganik.

Dari segi nutrisi, pengelolaan kesuburan tanah melalui pertanian berkelanjutan dan diversifikasi tanaman pertanian akan meningkatkan kandungan gizi tanaman yang dipanen dan menyuburkan tanaman pangan yang akan dikonsumsi masyarakat.

Dari segi kebijakan, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2021 menyebutkan bahwa total alokasi pupuk bersubsidi pada tahun 2022 mencapai 8,87-9,55 juta ton, sayangnya hanya 2,27 juta ton atau 21,54 persen di antaranya berupa pupuk organik. Ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih memprioritaskan penggunaan pupuk anorganik, padahal penelitian menyatakan bahwa pemakaian pupuk anorganik dalam jumlah berlebihan dapat mengurangi kesuburan tanah. Mengingat bahwa tanaman hanya membutuhkan pupuk dalam jumlah sedikit, kebijakan untuk menambah subsidi pupuk bukanlah keputusan terbaik. Intervensi pemerintah idealnya lebih berfokus pada perbaikan kesuburan tanah karena pemerintah turut berperan dalam yang menyediakan unsur hara bagi tanaman untuk bertumbuh serta menjadi bergizi tinggi dan berkualitas baik.

Oleh karena itu, Indonesia perlu menyusun strategi yang lebih berkelanjutan untuk meningkatkan kesuburan tanah agar dapat mewujudkan ketahanan pangan bagi masyarakat dan Bumi yang lebih lestari. Pemerintah harus berfokus pada strategi-strategi berikut: mengamankan lahan sawah yang dilindungi, meningkatkan pengelolaan hara dan menerapkan prinsip-prinsip agroekologi.

Pertama, kita perlu mengantisipasi perubahan pemanfaatan lahan sawah yang ada dengan memberikan insentif kepada pemerintah daerah untuk melindungi lahan pertanian. Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) adalah kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah. ATR/BPN menargetkan untuk secara berkala memperbarui data lahan sawah yang dilindungi di seluruh Indonesia.

Kebijakan ini akan berperan penting untuk memprediksi produksi beras di masa mendatang agar dapat mencapai ketahanan pangan nasional. Sebuah studi menunjukkan bahwa angka estimasi potensi produksi pangan harus mempertimbangkan kehilangan lahan pertanian akibat urbanisasi, karena tingkat produktivitas lahan pertanian yang dialihfungsikan sekitar 30–40 persen lebih tinggi daripada lahan pertanian baru.

Kebijakan untuk melindungi lahan pertanian dari urbanisasi akan mengurangi perluasan lahan pertanian ke habitat alam satwa. Pemerintah daerah membutuhkan insentif keuangan untuk mempertahankan lahan sawah yang dilindungi dan tidak mengalih fungsikan lahan untuk kegiatan non-pertanian. Instrumen fiskal, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), dapat digunakan untuk menahan laju alih fungsi lahan sawah di Indonesia.

Kedua, kita perlu memperbaiki pengelolaan hara tanah. Setiap jenis tanah dan tanaman memerlukan jenis dan jumlah unsur hara yang bervariasi. Akan tetapi, cara bercocok tanam petani di Indonesia diwariskan secara turun temurun dan pemakaian pupuk anorganik, khususnya Nitrogen, Fosfor dan Kalium (NPK), sudah menjadi kebiasaan yang mengakar. Subsidi pupuk dari pemerintah juga berpotensi meningkatkan penggunaan pupuk NPK.

Oleh karena itu, kebutuhan pupuk anorganik meningkat sekitar 5-7 persen. Pemakaian pupuk anorganik yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama akan menurunkan kesuburan tanah serta mencemari air dan ekosistem. Pengelolaan hara secara tepat dapat meningkatkan kesuburan tanah, yang akan meningkatkan produksi tanaman sekaligus berkontribusi terhadap penurunan emisi GRK.

Ketiga, prinsip-prinsip agroekologi perlu diterapkan dalam praktik pertanian di Indonesia. FAO menjelaskan bahwa prinsip-prinsip agroekologi menjadi bagian dari pertanian berkelanjutan yang menggambarkan hubungan yang sehat antara alam, ilmu sosial, ekologi, masyarakat, ekonomi dan lingkungan.

Agroekologi diterapkan berdasarkan pengetahuan lokal dan pengalaman dalam pemenuhan kebutuhan pangan lokal. Oleh karena itu, agroekologi dapat mengatasi perubahan iklim secara langsung. Sebagai contoh, Indonesia dikenal sebagai negara vulkanik yang memiliki 127 gunung berapi aktif yang banyak mengandung mineral, seperti millstone dan biochar. Kandungan mineral yang tinggi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber amandemen tanah dan sebagai pupuk organik untuk menyerap karbon dan memperbaiki kesuburan tanah untuk meningkatkan produksi tanaman.