Hari ini hanyalah hari panas dan lembab seperti hari lainnya di Sumatera, salah satu pulau terbesar di Indonesia yang terkenal dengan lanskap hutan tropis yang lebat. Di dalam wilayah Taman Nasional Gunung Leuser seluas 792.000 hektar (1.9 juta are) polisi hutan atau polhut menjalankan patroli sendiri mencari pemburu satwa dan pelaku aktivitas ilegal lainnya yang mengancam keberadaan hutan dan satwa liar yang terancam punah. Sebuah koordinat GPS menjadi panduan mereka untuk menunjukkan estimasi terbaik lokasi terjadinya suatu kerusakan, dan mereka hanya dapat mencakup sebagian kecil dari keseluruhan luasan taman nasional. Upaya ini belum cukup, tetapi merupakan yang terbaik yang dapat mereka lakukan dengan keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia.

Dunia ini membutuhkan solusi yang lebih baik untuk melindungi taman nasional dan kawasan lainnya yang dilindungi secara hukum atas nilai lingkungan dan budayanya yang unik. Lagi pula, apapun yang terjadi di sudut terjauh alam liar dunia berdampak luas bagi keanekaragaman hayati, perubahan iklim, pengaturan tata air tawar, dan jasa lingkungan penting lainnya yang dibutuhkan manusia.

Baru-baru ini, Global Forest Watch (GFW) bermitra dengan Jane Goodall Institute and RESOLVE untuk menyusun peta canggih dan data tentang hutan agar tersedia bagi pihak yang paling membutuhkannya sehingga mereka dapat lebih mudah menemukannya dan menghentikan deforestasi.

Berikut ini dijelaskan kegiatan yang kami lakukan dengan HAkA (Forest, Nature and Environment of Aceh) (Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh) dan FKL (Forum Konservasi Leuser), dua kelompok yang fokus dengan perlindungan dan restorasi Ekosistem Leuser di Indonesia yang memiliki nilai penting secara global.

Salah satu surga tersisa yang terancam

Ekosistem Leuser yang terletak di Pulau Sumatera memiliki luas 2,6 juta hektar (6,5 juta are), atau tiga kali lebih besar daripada Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat. Ekosistem ini merupakan salah satu hutan hujan tropis terkaya di dunia dalam hal karbon dan keanekaragaman hayati, salah satu wilayah terakhir di bumi dimana satwa terancam punah seperti gajah, badak, harimau dan orangutan hidup berdampingan. Ekosistem Leuser menyediakan makanan, air dan tempat tinggal bagi 4 juta penduduk. Akan tetapi ekosistem ini juga berada dalam ancaman. Sejak tahun 2001, Leuser telah kehilangan 9 persen luas hutannya akibat perluasan pertanian dan pembangunan komersil. Tata kelola yang buruk serta tumpang tindih rencana pemanfaatan lahan pada tingkat pemerintah provinsi dan lokal turut memperparah permasalahan ini.

Leuser Aceh.
Peta ini menunjukkan hilangnya penutupan pohon di Ekosistem Leuser di dalam Provinsi Aceh, tidak termasuk Ekosistem Leuser dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kunjungi peta interaktif di situs Global Forest Watch untuk menganalisis kedua wilayah tersebut.

Mencari jarum di dalam tumpukan jerami

Walaupun Ekosistem Leuser dilindungi oleh peraturan perundangan nasional dan meliputi Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan situs Warisan Dunia UNESCO, mengelola ekosistem kritis ini sulit dilakukan karena wilayahnya yang sangat luas sedangkan sumberdaya manusia, finansial dan teknologi yang tersedia untuk penegakan hukum dan advokasi terbatas. Saat ini HAkA dan FKL melakukan analisis data satelit secara manual untuk mengidentifikasi potensi ancaman deforestasi, dan saat unit patroli keluar jaringan (luring) dan masuk ke dalam hutan, mereka hanya memiliki perangkat GPS sebagai pemandu. Mereka juga mendokumentasikan temuannya dengan kamera, formulir tertulis dan terkadang daya ingat mereka, sehingga sulit untuk menyusun rapih dan mengelola informasi tersebut saat informasinya tersedia.

Proses penggunaan teknologi sederhana ini membutuhkan banyak waktu, sehingga HAkA dan FKL hanya mendapatkan data deforestasi terbaru sekitar satu kali saja setiap bulannya dan hanya mampu mencakup sebagian kecil wilayah Leuser dalam satu kali patroli.

Menyediakan data waktu nyata di lapangan

GFW sedang mengembangkan solusi dan perangkat data besar untuk membantu organisasi seperti HAkA dan FKL meliputi luasan yang lebih besar secara lebih efektif. Peringatan deforestasi mingguan GLAD kami dan peringatan kebakaran harian VIIRS merupakan pemberitahuan gratis dan diperbarui secara otomatis, menyediakan pembaruan data yang lebih sering dan secara drastis mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk analisis manual.

HAkA in the field.
Tim patroli melakukan uji coba aplikasi Forest Watcher di Ekosistem Leuser.

Kami juga menciptakan Forest Watcher, sebuah aplikasi telepon genggam yang memungkinkan pengguna mengakses data GFW tanpa adanya koneksi internet. Dengan menggunakan Forest Watcher, tim patroli dapat bergerak menuju lokasi dimana terdapat peringatan dan juga mengumpulkan data secara langsung melalui aplikasi, sehingga lebih mudah untuk dilihat, dikelola dan dibagikan saat mereka kembali ke kantor dan dalam jaringan (daring).

Apa yang telah kita pelajari?

Setelah melakukan uji coba data GFW dan Forest Watcher bersama HAkA dan FKL, kami menemukan tiga tantangan utama:

“Peringatan yang dikirim satelit melalui Forest Watcher bermanfaat untuk diperiksa. Pekerjaan kami akan lebih mudah dilakukan di lapangan dengan menggunakan Forest Watcher.”
–Tezar Pahlevie, Manajer Lapangan Wilayah Timur, FKL

“[Forest Watcher] sangat bagus untuk kami. Saat ini kami menentukan titik masuk patroli kami berdasarkan pengetahuan kami mengenai dimana deforestasi terjadi di masa lampau, namun kini kami dapat memulai patroli berdasarkan informasi dari GFW.”
–Ilham Fonna, Pengawas Tim Perlindungan Satwaliar Wilayah Tengah, FKL
  1. Keandalan. GFW dan Forest Watcher menawarkan solusi yang lebih tepat waktu dan dengan sumber daya berintensitas lebih rendah untuk pengawasan hutan, akan tetapi harus menjadi lebih dapat diandalkan agar mampu menghasilkan dampak. Pada saat pelatihan, ada beberapa gangguan pelayanan yang mempersulit penggunaan di lapangan bagi tim HAkA dan FKL. Sebagaimana dengan teknologi baru lainnya, gangguan tersebut harus diperbaiki sebelum perangkat ini dapat diadopsi sepenuhnya.
  2. Sumber daya. Akses internet yang terbatas, termasuk di wilayah perkotaan, mempersulit pemanfaatan GFW dan Forest Watcher yang maksimal. Sebagai contoh, pada saat pelatihan jaringan internet seringkali terlalu lambat untuk memuat situs GFW dan sering terjadi gangguan listrik sehingga kami harus menggunakan hotspot internet seluler. Bahkan di saat dimana terdapat banyak data dan bukti, pihak berwenang setempat seringkali memiliki keterbatasa..n sumber daya untuk menangkap dan menuntut pelanggar.
  3. Korupsi dan bahaya Telah diketahui bahwa Pemerintah Indonesia memprioritaskan pembangunan di atas perlindungan lingkungan. Banyak proyek pembangunan yang didorong oleh oknum pemerintah yang korup dengan kepentingannya sendiri. Upaya konservasi juga terganggu oleh risiko bahaya, dimana kegiatan ilegal seringkali dilakukan oleh jaringan kriminal yang diketahui akan membunuh atau menyakiti siapapun yang menghalangi upaya mereka. Kami mengalami hal ini secara langsung ketika pelatihan, yaitu kami mendapatkan informasi adanya mafia kayu yang sedang membuka hutan di area tempat kami berencana melakukan uji coba Forest Watcher. Untuk menghindari bahaya tersebut kami mengubah lokasi uji coba pada saat-saat terakhir.

Walaupun ada tantangan seperti ini, pemerintah, masyarakat dan LSM ingin mengadopsi data dan perangkat GFW. Lembaga pemerintah lokal sudah meminta diadakannya pelatihan tambahan agar mereka dapat mengintegrasikan peringatan GLAD ke dalam program kerjanya yang sudah berjalan, dan hal ini akan membawa transparansi ke dalam pengelolaan hutan di Ekosistem Leuser yang belum ada sebelumnya.

Peluang untuk perangkat monitoring

Kisah dari Leuser bukanlah yang satu-satunya. Kawasan yang dilindungi terus menghilang dengan laju 1,8 juta hektar (4,4 juta are) setiap tahunnya, dan sumber daya yang tersedia untuk menanggapinya sangatlah terbatas. Perangkat seperti GFW dan Forest Watch berpotensi besar memanfaatkan teknologi abad ke-21 untuk menjadi suatu revolusi dalam dunia konservasi, tetapi kita butuh cara lebih baik untuk mengantar teknologi tersebut ke tangan orang-orang yang akan memanfaatkannya.

Kami berkomitmen melakukan ini. Dalam satu tahun ke depan, GFW, HAkA dan FKL akan terus menguji coba data dan perangkat ini dengan pemangku kepentingan lokal, termasuk pegawai pemerintah yang bersemangat ingin mengintegrasikannya ke dalam program kerja mereka. Kami sudah melihat perangkat seperti ini digunakan dan menghasilkan dampak di lapangan. GFW bermitra dengan Jane Goodall Institute untuk melatih polhut taman nasional di Uganda yang menemukan dan menuntut pelaku pembalakan liar di Cagar Alam Hutan Kasyoha Kitomi menggunakan Forest Watcher. Kami akan terus mengumpulkan pembelajaran dan pengalaman dari pelatihan yang telah dilakukan ini untuk senantiasa meningkatkan pengelolaan hutan di seluruh dunia.