Minggu ini, Presiden Joko Widodo telah meluncurkan Geoportal Kebijakan Satu Peta (KSP) untuk menyajikan hasil Percepatan Kebijakan Satu Peta (PKSP) sesuai amanat Peraturan Presiden No. 9/2016. Hasilnya, 83 dari 85 target peta tematik skala 1:50.000 berhasil dikompilasi dari 19 Kementerian/Lembaga dan 34 Provinsi serta diintegrasikan oleh tim Sekretariat yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Hanya peta Rencana Tata Ruang Laut Nasional dan peta batas administrasi desa/kelurahan yang belum tersedia dalam geoportal ini.

Pencapaian ini patut diapresiasi. Untuk pertama kalinya, pemerintah memiliki peta tematik otoritatif yang terstandar dalam satu referensi dan terintegrasi dalam satu geoportal. Otoritatif artinya semua peta tersebut legal dikeluarkan oleh instansi pemerintah sektoral sebagai wali datanya. Terstandar dalam satu referensi artinya semua peta tersebut mengacu pada peta dasar yang sama, yakni peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 yang dikeluarkan BIG. Terintegrasi dalam satu geoportal artinya semua peta dikelola dalam satu sistem informasi yang menghubungkan Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah.

Dalam acara peluncuran Geoportal KSP, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar instansi pemerintah menambah dan memanfaatkan peta KSP untuk penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan lahan. Luasnya tumpang tindih pemanfaatan lahan telah menyebabkan tingginya konflik lahan di Indonesia. Hingga bulan Mei 2018, Kantor Staf Presiden menerima 334 kasus konflik agraria yang melibatkan lebih dari 96.000 kepala keluarga dengan total lahan konflik seluas 233.000 hektar.

Apakah KSP dapat menyelesaikan konflik lahan?

Harapan Presiden agar hasil KSP dapat menyelesaikan tumpang tindih pemanfaatan dan konflik lahan membutuhkan upaya yang masif. Kemenko Perekonomian akan melengkapi peta indikatif tumpang tindih, menyusun pedoman sinkronisasi, dan menghasilkan rekomendasi penyelesaian permasalahan tumpang tindih pemanfaatan lahan. Namun, ada beberapa pekerjaan dan proses yang harus dilalui.

1) Skala dan jenis peta hasil KSP perlu dibuat lebih detil

Skala peta 1:50.000 belum cukup detil untuk menyelesaikan masalah konflik lahan di tingkat desa. Konflik agraria yang terjadi di desa membutuhkan skala peta 1:10.000 hingga 1:1.000. Selain itu, Peta Perkebunan Rakyat, Peta Perhutanan Sosial, dan Peta Potensi Wilayah Adat belum tersedia. Padahal, Komisi Pembaruan Agraria mencatat bahwa sektor perkebunan dan kehutanan menjadi penyumbang terbesar dalam konflik lahan tahun 2017. Tanpa peta perkebunan, kehutanan, dan klaim masyarakat yang lebih lengkap dan akurat, pemerintah akan sulit menyelesaikan konflik lahan secara tuntas.

2) Proses KSP perlu dibuat transparan dan inklusif

Peta hasil KSP dikeluarkan oleh instansi pemerintah tanpa melalui proses konsultasi dengan pihak non-pemerintah, termasuk pihak swasta dan masyarakat sipil. Selain itu, geoportal saat ini hanya dapat diakses oleh Presiden, Wakil Presiden, Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah sesuai Keputusan Presiden No. 20/2018. Publik belum dapat memeriksa, memberi masukan, ataupun melengkapi peta jika ada yang kurang. Proses penyusunan peta dan sinkronisasi penyelesaian tumpang tindih yang dihasilkan melalui proses yang kurang transparan dan inklusif dikhawatirkan dapat menyebabkan konflik baru. KSP yang diharapkan mendorong agenda open government dan pencegahan korupsi saat ini belum mencapai tujuan tersebut dan bisa rentan akan penyalahgunaan.

3) Instansi pemerintah belum optimal dalam mengelola hasil KSP

Menurut BIG, hingga Agustus 2018 baru 8 Kementerian/Lembaga dan 19 Pemerintah Provinsi yang memiliki kelembagaan simpul jaringan yang operasional dan optimal. Artinya, sebagian besar instansi pemerintah belum sepenuhnya siap mengelola peta hasil KSP karena kurangnya kapasitas pada 5 Pilar Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN), yakni Kebijakan, Kelembagaan, Teknologi, Standar, dan Sumber Daya Manusia. Peraturan Presiden No. 27/2014 tentang JIGN memandatkan instansi pemerintah untuk menyusun peraturan perundangan yang mengatur pemanfaatan/pengelolaan peta, menentukan unit produksi dan unit pengelolaan/penyebarluasan peta, terkoneksi dengan geoportal, memastikan data sesuai dengan standar, dan menyiapkan personil di bidang pemetaan. Tanpa terpenuhinya 5 Pilar JIGN, pemerintah belum optimal dalam memanfaatkan peta hasil KSP.

Perlu Strategi Khusus

<p> Masyarakat adat di Gajah Bertalut, Kampar, Riau melihat hasil maket peta 3D di wilayah adat mereka Foto oleh Julius Lawalata.</p>

 Masyarakat adat di Gajah Bertalut, Kampar, Riau melihat hasil maket peta 3D di wilayah adat mereka. Foto oleh Julius Lawalata.

Dengan berbagai tantangan yang harus diselesaikan tersebut, Presiden dan Kemenko Perekonomian telah memberikan arahan yang tepat, seperti menambah peta tematik, menyelesaikan peta skala besar, dan menugaskan instansi khusus untuk mengelola urusan Informasi Geospasial (IG). Namun, diperlukan beberapa strategi khusus untuk memastikan agar hasil KSP dapat menyelesaikan konflik lahan secara tuntas.

1) Mendorong pelibatan publik dan penggunaan teknologi terkini dalam percepatan pemetaan skala detil

Dalam hal ini, BIG perlu menyiapkan regulasi, standar, dan mekanisme teknis agar pihak non-pemerintah seperti swasta dan masyarakat sipil dapat membantu pemerintah dalam melengkapi jenis dan meningkatkan akurasi peta. Regulasi yang disusun perlu memperkuat peran publik seperti yang dilindungi dalam UU No.4/2011 tentang IG dan Peraturan Kepala BIG No. 1/2015 tentang Mekanisme Peran Serta Setiap Orang dalam JIGN. BIG perlu menyiapkan standar yang sesuai dengan teknologi terkini yang mudah dan murah, seperti penggunaan drone dan citra satelit. BIG dapat menyiapkan Geoportal PetaKita untuk menerima peta partisipatif dari masyarakat sipil, khususnya tematik desa dan adat.

2) Menyiapkan mekanisme pelibatan publik dalam proses KSP, terutama sinkronisasi penyelesaian tumpang tindih

Sinkronisasi penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan lahan tanpa transparansi peta dan pelibatan publik berpotensi memperkeruh dan menambah konflik baru. Kemenko Perekonomian perlu membuka akses publik dalam Geoportal KSP, paling tidak bertahap, agar masyarakat yang berada di wilayah yang tumpang tindih dapat berkontribusi secara aktif dalam proses penyelesaian konflik dan sekaligus mengawal proses sinkronisasi yang berjalan. Peran dan keterlibatan masyarakat dalam proses KSP perlu disiapkan regulasi dan mekanisme teknisnya, seperti yang dilindungi dalam UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3) Memastikan urusan IG menjadi prioritas dalam kerangka regulasi perangkat daerah

Saat ini, urusan IG belum disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 18/2016 tentang Perangkat Daerah, sehingga instansi daerah sebagian besar tidak menjadikan KSP dan JIGN sebagai agenda prioritas. Kajian BIG menyebutkan 4 opsi kelembagaan di daerah; yaitu Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Dinas Komunikasi Informasi dan Statistik (Diskominfotik), serta tim ad-hoc di bawah Sekretaris Daerah. Beberapa UPTD pengelola IG telah dibubarkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dalam rangka perampingan organisasi perangkat daerah. Presiden sebaiknya menginstruksikan Kemdagri untuk mengarahkan Pemerintah Daerah menyiapkan kelembagaan pengelolaan IG sesuai variasi kapasitas dan kebutuhan di daerah, dengan pembinaan BIG dan Kemenko Perekonomian.

Peraturan Presiden tentang KSP akan berakhir pada tahun 2019. Presiden Joko Widodo harus segera menyiapkan strategi pasca-2019, apakah akan terus Kerja Kerja Kerja dengan cara yang sama, atau Kerja Bersama dengan melibatkan publik secara transparan dan inklusif, demi mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan bebas konflik.