Tulisan ini adalah versi awal. Artikel yang telah melalui proses editing dipublikasikan di Koran Tempo pada 29 November 2017.

Louis Brandeis, yang menjadi salah satu jaksa agung Amerika pada periode 1916-1939, dikenal sebagai jaksa agung yang mewakili dan melindungi kepentingan masyarakat. Ia adalah pencetus ‘right to privacy’ dan perancang Federal Reserve System atau bank sentral di Amerika sebagai lembaga yang melindungi kepentingan masyarakat dari cengkeraman lembaga perbankan yang sangat kuat pada saat itu. Pada 1903, ia mengawali pembentukan konsep pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat yang saat ini kita kenal sebagai transparansi. Ia menekankan tiga konsep transparansi yang menjadi landasan tata kelola pemerintahan yang baik: Pengumpulan dan penyebarluasan data dan/atau informasi pemerintah, pertemuan dan rapat yang bersifat terbuka pada lembaga-lembaga pemerintah, dan peranan lembaga non pemerintah untuk membuat pemerintah lebih transparan.

Sebagai tokoh yang sangat peduli pada pelayanan masyarakat dan akuntabilitas pemerintah, salah satu ujarannya yang sangat terkenal hingga saat ini adalah ‘sunlight is said to be the best of disinfectants’ (sinar matahari adalah disinfektan yang terbaik) dalam tulisannya ‘What Publicity Can Do’ (1913). Ia menggunakan ujaran tersebut dalam konteks tata kelola pemerintahan untuk mengatakan bahwa transparansi adalah penangkal korupsi dan praktik pemerintahan yang tidak akuntabel.

Dalam konteks Indonesia, Indonesia memiliki UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang filosofi dasarnya adalah hak asasi manusia untuk memperoleh informasi. Senafas dengan konsep transparansi yang dikemukakan Brandels, keterbukaan informasi merupakan salah satu ciri negara demokratis dan juga merupakan sarana untuk mengoptimalkan pengawasan masyarakat terhadap penyelenggaraan negara.

Berdasarkan filosofi tersebut, dan dalam kepentingan untuk mencapai pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan di Indonesia, kelompok masyarakat sipil yang terhimpun dalam berbagai lembaga berbadan hukum memohon kepada Kementerian Kehutanan, dan selanjutnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), agar informasi terutama terkait luasan dan lokasi seperti Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Izin Pemanfaatan Kayu, dan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, dapat diakses oleh masyarakat dalam format digital shapefile. Shapefile merupakan format data geospasial yang dapat dianalisis dengan perangkat lunak informasi geospasial, sehingga dalam konteks pengawasan oleh masyarakat, berbagai kejadian pada hutan dan lahan dapat secara spasial dipahami, termasuk pembukaan hutan di kawasan lindung atau lokasi terjadinya kebakaran.

Pada hakikatnya, permohonan keterbukaan informasi tersebut adalah perwujudan peran lembaga non-pemerintah dalam mendukung pemerintah Indonesia untuk lebih transparan dan akuntabel.

Pada 24 Oktober 2016, sidang Majelis Komisioner Keterbukaan Informasi Pusat menetapkan KLHK untuk membuka informasi di atas dalam format shapefile. Maknanya adalah, informasi yang dimohon telah dicermati secara hukum terkait risiko keamanan, keselamatan, dan kedaulatan negara. Namun pada 7 November 2016, KLHK mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan alasan pokok berupa kekhawatiran bahwa format tersebut akan mudah dimanipulasi dan disalahgunakan oleh masyarakat. Disebutkan bahwa KLHK belum memiliki teknologi digital signature atau digital watermarking sebagai penanda legalitas dan keaslian informasi. Melalui Putusan Mahkamah Agung pada Juni 2017, KLHK memperoleh penguatan hukum untuk tidak menyebarluaskan informasi tersebut dalam format shapefile.

Sebagai hasil keputusan tersebut, kegiatan pemantauan dan pengawasan masyarakat yang memanfaatkan informasi berformat shapefile seperti analisis penyebab dan lokasi kebakaran hutan dan lahan, pembalakan liar, perambahan kawasan hutan, penyebab deforestasi, serta tumpang tindih konsesi kebun, hutan dan tambang, tidak dapat dilakukan. Partisipasi masyarakat untuk memastikan agar sumber daya alam dimanfaatkan secara berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia pun tidak berjalan secara efektif.

Perlu diketahui bahwa setiap data dan/atau informasi yang diciptakan secara digital akan memiliki timestamp atau cap waktu, yaitu waktu di mana sebuah peristiwa dicatat oleh komputer, bukan waktu dari peristiwa itu sendiri. Merujuk pengertian pada ranah teknologi informasi, timestamp adalah urutan karakter atau informasi terkode yang menunjukkan kapan suatu peristiwa terjadi dalam satuan tanggal, jam, menit, bahkan hingga detik atau milidetik. Dengan demikian, setiap shapefile yang diproduksi oleh KLHK memiliki timestamp yang menjadi penanda unik dari informasi (baik perizinan, peta, dan lainnya) yang dihasilkan. Penanda unik timestamp bahkan telah diatur dalam ISO8601. Siapapun yang kemudian memanipulasinya atas dasar kepentingan apapun akan menciptakan timestamp yang berbeda. Bahkan jika manipulasi dilakukan sepersepuluh menit dari sejak diserahkannya data dan/atau informasi berbentuk shapefile tersebut kepada masyarakat, maka timestamp-nya telah berubah.

Setiap data dan/atau informasi baik peta perizinan Hutan Tanaman Industri, peta Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, atau informasi sejenis dalam bentuk shapefile yang diterbitkan KLHK pada dasarnya bersifat final dan telah mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang serta memiliki timestamp unik. Dengan demikian, timestamp yang dicatat dalam sistem informasi KLHK sejatinya telah berperan sebagai digital signature.

Secara sederhana, KLHK dapat menetapkan standar metadata, yakni informasi terstruktur yang menjelaskan bagaimana suatu informasi dari data mudah untuk ditemukan kembali, digunakan, atau dikelola. Standar tersebut dapat diberlakukan untuk setiap data dan/atau informasi baik dalam format digital maupun non-digital, dan timestamp adalah salah satu unsurnya. Rancangan Peraturan Presiden tentang Satu Data yang diinisiasi oleh Kantor Staf Presiden, BAPPENAS, Badan Pusat Statistik, dan Badan Informasi Geospasial telah memuat ketentuan tersebut.

Kiranya dalam kerangka pemerintahan terbuka yang mengedepankan kolaborasi antara pemerintah, lembaga-lembaga non-pemerintah, dan individu anggota masyarakat, salah satu langkah yang penting adalah menempatkan mereka sebagai mitra yang sejajar dengan pemerintah. Meragukan niatan baik masyarakat untuk menggunakan data dan/atau informasi pemerintah tidak akan memperkuat akuntabilitas pemerintah. Sebaliknya, mendidik dan membimbing masyarakat untuk memanfaatkan data dan/atau informasi pemerintah secara bertanggung jawab adalah bagian dari praktik tata kelola pemerintahan yang baik.

Pada saat ini, partisipasi masyarakat untuk memastikan agar sumber daya alam dimanfaatkan secara berkeadilan bagi masyarakat luas belum terjadi secara efektif. Meminjam analogi Brandeis, tampaknya diperlukan lebih dari sekadar sinar matahari sebagai disinfektan untuk membunuh berbagai kuman penyakit pada masa kini.