Unjuk Rasa Krisis Iklim
Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Koran Tempo pada 27 Juni 2019.
Menurut Sherry Arnstein (1969), unjuk rasa adalah bentuk paling radikal dari partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik. Bagaimana dengan krisis iklim yang kita alami? Apakah fakta bahwa perubahan iklim telah meningkatkan risiko kekeringan, bencana, banjir, dan kemiskinan telah disadari oleh masyarakat Indonesia? Apakah upaya menurunkan emisi gas rumah kaca memiliki nilai penting dalam keseharian masyarakat Indonesia?
Kiranya menarik untuk mencermati unjuk rasa krisis iklim yang terjadi di negara lain. Extinction Rebellion, yang digagas di Inggris pada 2018, adalah gerakan sosio-politik yang menggunakan perlawanan non-kekerasan untuk memprotes krisis iklim, kepunahan massal, dan rusaknya ekologi yang menyediakan udara untuk kita bernapas, air untuk kita minum, dan pangan untuk kita makan. Gerakan ini menggunakan unjuk rasa sebagai modalitas utama untuk menyampaikan tuntutan agar pemerintah berterus terang kepada masyarakat dan mendorong kebijakan untuk mengatasi krisis iklim. Gerakan ini mengembuskan napas pembangkangan sipil yang kuat.
Dalam unjuk rasa Extinction Rebellion pada akhir April 2019, misalnya, seorang nenek pensiunan dokter berusia 62 tahun merekatkan dirinya ke kereta api. Alasannya, "Apa lagi yang dapat saya lakukan? Saya ingin berbicara atas nama generasi mendatang, atas nama anak-cucu kita, atas nama generasi yang akan kesulitan mendapatkan pangan dan kehilangan tanah." Pengunjuk rasa berusia 7-12 tahun yang berbaring di lantai museum dinosaurus di Glasgow, Inggris, mengatakan, "Kami tidak ingin punah seperti dinosaurus."
Pada 1 Mei 2019, parlemen Inggris menyatakan situasi darurat iklim dan meminta pemerintah melakukan tindakan drastis untuk melindungi lingkungan hidup bagi generasi mendatang. Itu adalah pernyataan pertama dari suatu lembaga negara di dunia tentang darurat iklim. Ini adalah hasil dari unjuk rasa yang merupakan bentuk radikal dari partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan publik.
Indonesia telah menyatakan posisinya untuk memerangi krisis iklim melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Perjanjian Paris untuk menurunkan emisi. Seandainya ada tokoh masyarakat yang peduli krisis iklim, bisa saja ia mengajak pendukungnya untuk menyampaikan kepeduliannya atas krisis iklim dalam berbagai bentuk, seperti unjuk rasa, untuk mengangkat masalah krisis iklim sebagai ancaman serius bagi masyarakat.
Namun krisis iklim bukanlah isu yang mudah dipahami oleh publik. Apa yang harus dituliskan pada spanduk dan yang diteriakkan oleh pengunjuk rasa? Apakah pesan "Turunkan Emisi 29% pada 2030" atau "Hentikan Penggunaan Bahan Bakar Fosil" dapat dirasakan oleh mereka secara pribadi?
Jadi, pesan krisis iklim apa yang dekat dengan masyarakat umum sehingga menjadi isu personal? Barangkali pesan yang menyuarakan dampak krisis iklim terhadap harga dapat lebih dirasakan. Contohnya, harga air bersih yang dibayar penduduk Penjaringan sebesar Rp 6.000 per hari untuk 100 liter jauh lebih mahal dibanding tarif PDAM sebesar Rp 1.050 per hari untuk 1.000 liter. Tantangan berikutnya adalah memberikan pemahaman tentang keterkaitan antara krisis iklim dan sulitnya pasokan air serta harga mahal yang harus ditanggung masyarakat miskin perkotaan.
Tampaknya isu krisis iklim memang bukan isu personal di Indonesia. Setidaknya hal ini ditunjukkan oleh gerakan global mogok sekolah untuk krisis iklim pada 14 Maret 2019. Di sini, pemogokan hanya dilakukan oleh sekelompok kecil pelajar di depan Balai Kota Jakarta. Hal ini berbeda dengan di belahan dunia lain, yang ratusan ribu pelajarnya turun ke jalan untuk meminta pemerintah bertindak mengatasi krisis iklim.
Jika unjuk rasa bukan modalitas yang tepat dan efektif pada era teknologi informasi, bagaimana menumbuhkan rasa urgensi akan krisis iklim di tataran individu?
Setidaknya ada tiga hal yang dapat dilihat dari beberapa fakta tersebut. Pertama, dengan atau tanpa tekanan unjuk rasa, pemerintah perlu secara lebih kuat memimpin penanganan krisis iklim dan menunjukkan kepemimpinan tersebut kepada masyarakat.
Kedua, secara sistematis membumikan isu besar krisis iklim menjadi hal-hal yang segera terlihat hubungan logisnya dengan kehidupan keseharian masyarakat. Peran pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, kampus, dan swasta adalah kunci untuk menerjemahkan, menjelaskan, dan mengedepankan krisis iklim kepada publik.
Ketiga, memperkuat tradisi keterbukaan yang sudah dimulai dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, terutama soal informasi yang memungkinkan publik memahami krisis iklim dan hubungannya dengan kehidupan kesehariannya secara lebih baik. Misalnya, data tentang besaran emisi gas rumah kaca yang dihasilkan pembangkit listrik berbasis batu bara dan informasi tentang klaim BPJS Kesehatan yang berkaitan dengan polusi udara perkotaan. Ketika dua data tersebut dihubungkan, rakyat akan memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang realitas krisis iklim dalam kehidupan keseharian mereka.