Pada Hari Lahan Basah Sedunia yang jatuh pada tanggal 2 Februari, Badan Informasi Geospasial (BIG) akan mengumumkan pemenang kompetisi di mana peserta harus mencari cara terbaik untuk memetakan lahan gambut di Indonesia. Tim yang menang akan mendapatkan hadiah sebesar US$1 juta dari Yayasan David dan Lucile Packard. Bagi masyarakat umum, kompetisi ini dapat menyelamatkan lahan gambut yang sangat penting bagi penduduk Indonesia serta bagi upaya global melawan perubahan iklim.

Kerusakan Lahan Gambut: Pengeringan Rawa Membawa Kehancuran

Rawa gambut adalah ekosistem yang unik, kaya akan karbon dan keragaman hayati, namun kurang diperhatikan. Lahan gambut terbentuk ketika tanaman mati mulai membusuk di tanah yang terendam air dengan kandungan tanin yang besar dan lapisan zat organik perlahan-lahan menumpuk dalam kurun waktu ratusan atau bahkan ribuan tahun. Sekitar 36 persen lahan gambut tropis dunia yang menyimpan karbon hingga 20 kali lebih banyak dari tanah mineral non-gambut berada di Indonesia.

Kubah gambut adalah formasi hidrologis yang cukup rumit dengan ketebalan antara 1/2 sampai 20 meter lebih. Hutan lahan gambut menyimpan jauh lebih banyak karbon dari hutan tropis umumnya, sebagian besar di bawah tanah. Lahan gambut Indonesia juga merupakan tempat tinggal berbagai spesies satwa liar, termasuk orangutan, harimau Sumatera, macan tutul dan spesies ikan yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia.

Konversi hutan gambut menyebabkan pelepasan karbon dari bawah tanah dalam jumlah besar

Akan tetapi, ekosistem lahan gambut juga rapuh. Gangguan di pinggir kubah gambut saja dapat mempengaruhi hidrologi seluruh lanskap. Ketika vegetasi alami di atas tanah telah habis ditebang dan kubah telah kering, sering kali untuk pembangunan industri pertanian, tanah gambut akan mengering dengan cepat dan menjadi mudah terbakar. Kebakaran lahan yang sering melanda lahan luas di Sumatera, Kalimantan dan, baru-baru ini, Papua terkonsentrasi di lahan gambut yang telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan kayu untuk industri.

Sekitar setengah lahan gambut Indonesia telah terdegradasi sehingga mengakibatkan tingkat kebakaran tahunan yang menyebabkan kerugian ekonomi sebesar$16 jutahingga akhir tahun 2015, menghasilkan emisi gas efek rumah kaca harian lebih besar dari seluruh ekonomi Amerika Serikat setiap hari , dan mengakibatkan 100.000 kematian dini -- selain itu, analisis menunjukkan bahwa lahan gambut yang dibudidayakan mulai tenggelam. Akibatnya, seluruh negara semakin rentan akan banjir dimana-mana dan berpotensi kehilangan kawasan yang dapat digunakan untuk produksi pertanian dalam beberapa dekade.

Menyadari risiko tersebut, pemerintah Indonesia telah memperkenalkan serangkaian inisiatif untuk menghentikan konversi lahan gambut lebih jauh dan mengembalikan beberapa kawasan yang sudah kering dan gundul. Badan Restorasi Gambut yang didirikan pada tahun 2016 memiliki tujuan untuk mengembalikan 2 juta hektar lahan gambut dalam lima tahun. Presiden Joko Widodo juga telah mengeluarkan keputusan yang memberlakukan moratorium atas pengembangan komersial lahan gambut hingga adapemetaan dan zonasi yang lebih baik. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah membuat serangkaian peraturan pelaksanaan atas keputusan ini.

<p>Kebakaran hutan dan gambut di Riau, Indonesia. Foto oleh Julius Lawalata/WRI</p>

Kebakaran hutan dan gambut di Riau, Indonesia. Foto oleh Julius Lawalata/WRI

Peta Berkualitas Buruk: Hambatan Utama bagi Perlindungan Lahan Gambut Indonesia

Peta yang menunjukkan lokasi lahan gambut di Indonesia sudah terkenal tidak akurat. , Peta-peta ini juga tidak menunjukkan perbedaan antara gambut dangkal dan dalam. Kurangnya informasi ini memberikan ruang bagi perusahaan untuk terus melakukan konversi lahan gambut. Badan pemerintah membutuhkan peta lahan gambut yang lebih baik agar dapat menegakkan hukum dan peraturan terkait. Perusahaan membutuhkan peta tersebut agar dapat mematuhi komitmen deforestasi nihil. Sementara itu, pengawas LSM membutuhkannya agar dapat mengawasi pertanggungjawaban kedua kelompok ini.

Sebagian besar politik lahan gambut, seperti karbon, tidak terlihat. Meskipun presiden telah mengakui adanya kebutuhan mendesak untuk menunda pengembangan gambut lebih jauh dan memulihkan kubah gambut sebelum hancur, banyak perlawanan dari beberapa badan yang menentang perbaikan. Mereka berpihak pada pemilik perkebunan pada lahan gambut dan kepentingan lainnya, seperti menjaga pasokan serat untuk pabrik pulp dan kertas di Indonesia yang kebanyakan dihasilkan dari pohon akasia yang tumbuh pada lahan gambut. Pemetaan batas yang akan membantu penegakan peraturan terkait lahan gambut tentunya akan memiliki dampak keuangan yang signifikan bagi perusahaan yang terpengaruh. Karena itu, pembuatan peta tersebut harus dilakukan secara transparan, terpercaya dan bebas dari manipulasi politik.

Indonesian Peat Prize: Memetakan Area yang Tidak Diketahui

Di sinilah Indonesian Peat Prize berperan. Disponsori oleh BIG, kompetisi ini diawasi secara hukum di Indonesia untuk menjaga standar pembuatan peta dan didukung oleh Dewan Penasihat Ilmiah independen yang terdiri dari ilmuwan dari dalam dan luar negeri. Pemenang dipilih berdasarkan beberapa kriteria terkait akurasi, ketepatan waktu dan biaya yang ditetapkan secara transparan.

Finalis yang berkompetisi menggunakan berbagai metode inovatif untuk memenuhi kriteria tersebut. Masing-masing tim menggunakan satu metode penginderaan jauh atau lebih, termasuk citra satelit, sensor elektromagnetik udara, LiDAR dan radar. Data ini kemudian digabungkan dengan data yang sudah ada, verifikasi data di lapangan dan pemodelan untuk menekan kebutuhan pengambilan sampel yang lebih luas dan memakan biaya dalam menentukan batasan dan kedalaman lahan gambut.

Indonesian Peat Prize Merupakan Pembelajaran Lebih Lanjut Terkait Diplomasi

Indonesian Peat Prize menunjukkan bagaimana politik yang sering kali membayangi kerja sama internasional terkait hutan dapat diatasi. Dalam buku *Why Forest? Why Now?*, penulis menganalisis situasi politik tersebut terutama di Brasil dan Indonesia. Di kedua negara, revolusi teknologi penginderaan jauh yang memungkinkan pemantauan kehilangan tutupan pohon dengan satelit telah membantu kelompok lokal yang berusaha untuk meningkatkan pengelolaan hutan. Namun, pengawasan dari media internasional dan kelompok advokasi tidak selalu diterima dengan baik karena adanya persepsi bahwa pemantauan tersebut melanggar kedaulatan nasional dan mengorbankan kepentingan lokal untuk mendukung tujuan global.

Indonesian Peat Prize berhasil menghindari persepsi tersebut. Jelas bahwa kompetisi ini bertujuan untuk mendukung Kebijakan Satu Peta Pemerintah Indonesia untuk menggabungkan informasi spasial di satu platform yang dapat diakses oleh publik. Proses kompetisi tersebut dipimpin oleh badan pemerintah Indonesia, sedangkan mitra internasional menyediakan hadiah dan kemampuan teknis bagi Dewan Penasihat Ilmiah. Selain itu, setiap tim pemetaan terdiri dari peserta Indonesia dan internasional.

Selain melindungi lahan gambut yang tidak hanya penting bagi dunia namun juga masyarakat setempat, kompetisi ini akan membangun kerja sama ilmiah baru yang dapat berkembang di luar kompetisi. Keberhasilan ini akan menjadi contoh bagaimana kerja sama internasional dapat membantu mempercepat langkah penyelesaian masalah lokal yang dibayangi isu politis yang berdampak kepada kita semua.