Sebelumnya artikel ini diterbitkan oleh Tribun Sumsel pada 3 Desember 2018.

Dalam tradisi Sriwijaya, pemanfaatan lahan secara efektif guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kebahagiaan seluruh makhluk hidup menjadi kredo para raja.

Prasasti Talang Tuo menjelaskan dengan rinci niat Sri Jayanasa membangun Taman Sriksetra pada 684 Masehi: “Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan.”

Di masa kini, penanaman dan pemanfaatan pohon demi kemakmuran rakyat dan kebahagiaan seluruh makhluk salah satunya diejawantahkan melalui perhutanan sosial. Dalam kunjungan kerja Presiden RI ke Palembang akhir pekan lalu, Presiden dan para menterinya menekankan pentingnya program perhutanan sosial pemerintah sebagai cara meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial tanpa melupakan upaya pelestarian lingkungan.

Perhutanan sosial utamanya hadir untuk menyelesaikan persoalan sosial, ekonomi, dan lingkungan di kawasan hutan milik negara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di sekitar areal hutan sekitar 10,2 juta jiwa atau 36,73% dari total penduduk miskin di Indonesia. Padahal, kekayaan sumber daya hutan seharusnya dapat membantu menyejahterakan masyarakat yang tinggal di sekitarnya, sebagaimana konsesi-konsesi swasta banyak mendapatkan keuntungan dari izin pengelolaan kawasan hutan. Ketimpangan sosial ekonomi ini seringkali melahirkan konflik tenurial antara masyarakat dengan pemerintah dan pemegang izin konsesi. Malah, terbatasnya akses masyarakat kecil kepada sumber daya membuat mereka sering berurusan dengan hukum.

Cerita dari lapangan membuktikan pengelolaan hutan oleh masyarakat mampu meningkatkan kesejahteraan sekaligus memperbaiki fungsi ekologis hutan. Di Kabupaten Tanggamus, Lampung, masyarakat yang sejak lama mengelola hutan untuk ditanami kopi secara tumpangsari di areal hutan lindung telah diberikan hak kelola hutan kemasyarakatan, yakni salah satu skema perhutanan sosial, sejak beberapa tahun terakhir. Areal ini sebelumnya merupakan wilayah konflik dan perambahan dalam kondisi mayoritas rusak.

Kini, areal yang dikelola oleh para petani hutan mulai membaik kondisi biofisiknya. Masyarakat melaporkan bahwa mata air tak pernah kering lagi. Ketika terjadi kebakaran hebat di banyak area di Sumatera tahun 2015, area hutan kemasyarakatan Tanggamus justru terlindung dari gangguan api.

Dari segi ekonomi, penelitian WRI Indonesia menunjukkan bahwa para petani salah satu hutan kemasyarakatan di Tanggamus merasa kesejahteraannya meningkat setelah izin perhutanan sosial diberikan. Permintaan terhadap kopi codot, salah satu produk hutan kemasyarakatan tersebut, kini telah mencapai 300 kilogram per bulan. Usaha kopi codot yang diawali oleh gabungan petani hutan dengan modal 3 juta rupiah saat ini sudah bisa menghasilkan 17 juta rupiah per bulannya. Terbukti, masyarakat mampu mengelola lahan garapannya secara lestari dan produktif.

Potensi Perhutanan Sosial

Berkaca dari pengalaman provinsi tetangga, perhutanan sosial di Bumi Sriwijaya seyogyanya bisa menjadi sarana penyelesaian berbagai persoalan dalam kawasan hutan. Harapannya, setiap area perhutanan sosial di Sumatera Selatan (Sumsel) dapat dikembangkan serupa Taman Sriksetra, dimana komoditas potensial seperti karet, kopi, dan madu dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kesejahteraan lingkungan.

Potensi areal perhutanan sosial di Sumsel cukup besar. Berdasarkan perhitungan Kementerian Kehutanan tahun 2013, terdapat 699 desa di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan, dengan total luasan lebih dari 2 juta atau 53% dari total luas kawasan hutan Sumsel. Kajian Hutan Kita Institute (HaKI) menunjukkan sekitar 1 juta hektare lahan di Sumsel layak untuk menjadi areal perhutanan sosial.

Pemerintah juga melirik potensi ini. Dari target nasional untuk alokasi perhutanan sosial seluas 2 juta hektare pada tahun 2018, sebanyak 200 ribu hektare berada di Sumsel. Penyerahan surat keputusan tentang akses kelola perhutanan sosial seluas 56.276 hektare oleh Presiden kepada 9.710 kepala keluarga dari 10 kabupaten/kota di Taman Wisata Alam Puntikayu, Palembang hari Minggu lalu menjadi bukti keseriusan pemerintahan pusat terhadap pengembangan perhutanan sosial di Sumsel.

Tindak Lanjut

Kerja keras semua pihak diperlukan untuk menyukseskan program perhutanan sosial Sumsel. Dari segi perizinan alokasi lahan, tingginya potensi areal perhutanan sosial perlu dibarengi upaya nyata percepatan fasilitasi usulan oleh pemerintah pusat maupun provinsi. Di tingkat tapak, pendampingan efektif oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan maupun lembaga swadaya masyarakat menjadi kunci. Sosialisasi dan pelatihan berkesinambungan mengenai perhutanan sosial diperlukan supaya masyarakat senantiasa ingat akan hak dan kewajiban terkait akses kelola serta mampu mengelola hutan secara lestari dan produktif.

Di tingkat provinsi, peran Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumsel sebagai simpul koordinasi pusat dan daerah untuk fasilitasi izin perhutanan sosial perlu digenjot. Apalagi, Sumsel memiliki modal berupa Peraturan Gubernur mengenai Perhutanan Sosial dengan titik berat pada pemberian peran yang lebih besar bagi Gubernur dan dinas terkait dalam pemberian izin perhutanan sosial.

Setelah izin usaha perhutanan sosial diberikan, tantangannya adalah menjadikan masyarakat berdaya melalui pengembangan model bisnis dan pemasaran yang efektif. Dalam acara di Puntikayu, Presiden membawa serta badan layanan umum dan beberapa bank serta badan usaha milik negara yang siap memberikan jaminan atau kredit usaha rakyat sekaligus bertindak sebagai pembeli dan pemasar (offtaker) produk-produk perhutanan sosial di Sumsel.

Di tingkat daerah, pemerintah provinsi perlu menyukseskan bisnis perhutanan sosial melalui penganggaran yang tepat guna oleh dinas terkait serta lewat pelatihan usaha dan penyediaan iklim bisnis yang menjanjikan. Selain bantuan modal dan alat, pemerintah daerah harus bisa mempertemukan para petani hutan sosial dengan calon-calon pembeli. Ini sejalan dengan misi Gubernur Herman Deru membangun Sumsel berbasis ekonomi kerakyatan yang didukung sektor pertanian, industri, dan UMKM yang tangguh dalam kerangka “Sumsel Maju untuk Semua”.

Komitmen tinggi terhadap perhutanan sosial di Sumsel wajib diterjemahkan ke dalam kerja nyata. Alangkah bahagianya raja-raja Sriwijaya bila melihat taman-taman Sriksetra masa kini bermunculan, dimana rakyat hidup makmur dan segenap makhluk hidup tumbuh bahagia lewat perhutanan sosial.