Artikel ini telah diterbitkan oleh Kompas pada 16 Desember 2022.

Kelaparan kerap disamakan dengan tidak tersedianya cukup bahan makanan, padahal kebutuhan gizi tubuh juga perlu menjadi pertimbangan. Melihat agregat ketersediaan pangan, konsumsi pangan, dan kebutuhan kalori, FAO (2021) memperkirakan lebih dari 700 juta orang di dunia menghadapi kelaparan karena kekurangan gizi (undernourishment) setiap hari.

Sejak 2018 jumlah orang yang kelaparan meningkat, dan melonjak tajam pada 2020 dan 2021. Pandemi Covid-19 menyebabkan orang-orang semakin sulit mengakses makanan yang dibutuhkan karena masalah ekonomi dan kurangnya pasokan yang tersedia.

Indikator lain yang juga digunakan untuk mengukur kelaparan adalah Food Insecurity Experiences Scale (FIES) yang dihitung menggunakan metodologi wawancara langsung kepada responden, menanyakan kendala dalam mengakses pangan. Hasilnya, orang-orang yang masuk dalam kategori moderate or severe food insecurity di dunia mencapai 2,3 miliar orang.

Sebanyak 60 persen dari populasi tersebut termasuk dalam kategori moderate food insecurity, yakni mereka yang mengurangi kualitas dan kuantitas makanannya atau tidak yakin akan kemampuan mereka untuk bisa memperoleh makanan karena masalah ekonomi. Risiko dari kondisi ini adalah malanutrisi, tengkes (stunting), defisiensi mikronutrien, atau obesitas dewasa.

Kelaparan dan kekurangan Nutrisi di Dunia (2005-2021)

 

Hal yang menarik, defisiensi mikronutrien yang menjadi masalah untuk Indonesia termasuk dalam kategori hidden hunger atau kelaparan tersembunyi. Kelaparan tersembunyi adalah kondisi yang disebabkan kekurangan gizi karena kurangnya asupan vitamin dan mineral (micronutrient deficiency).

Tanpa vitamin dan mineral yang diperlukan tubuh, pertumbuhan anak akan terhambat dan mengganggu vitalitas tubuh yang menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik, fungsi kognitif yang buruk, resistensi yang rendah terhadap infeksi, serta penyakit degeneratif dan kronis di usia lanjut. Mengatasi kelaparan tersembunyi ini juga termasuk dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) 2: ”Zero Hunger” yang dikategorikan dalam perhitungan moderate food insecurity.

Defisiensi mikronutrien termasuk salah satu tipe triple burden of malnutrition di Indonesia, bersama dengan tengkes (stunting) dan malanutrisi. Angka-angkanya pun masih tergolong tinggi walaupun sudah menurun. Angka tengkes untuk anak di bawah usia lima tahun di Indonesia masih tergolong tinggi, prevalensinya mencapai 24,4 persen. Sementara untuk obesitas dewasa (lebih dari 18 tahun) prevalensinya sebesar 21,8 persen. Ditambah dengan angka anemia untuk ibu hamil yang sangat tinggi, yaitu sebesar 48,9 persen.

Mengapa kelaparan tersembunyi ini kemudian harus diwaspadai? Hal ini karena indikasi seseorang terkena kelaparan tersembunyi ini tidak terlihat secara nyata apabila dibandingkan dengan kondisi tengkes atau malanutrisi. Namun, dampaknya bisa terlihat di setiap siklus hidup manusia.

Pada gambar di bawah ini terlihat bahwa kelaparan tersembunyi dapat memengaruhi tumbuh kembang individu sejak dalam kandungan dengan konsekuensi yang sangat beragam, mulai dari risiko kematian bayi saat kelahiran, malanutrisi, tengkes, produktivitas, dan kondisi mental. Apabila tidak segera mendapatkan perhatian, hal itu akan berujung pada peningkatan risiko berbagai masalah kesehatan, terutama triple burden malnutrition di Indonesia.

Dampak Defisiensi Mikronutrien dalam Siklus Hidup

 

Jadi, sebenarnya berapa banyak populasi di Indonesia yang mengalami kelaparan tersembunyi? Berdasarkan estimasi dari Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB University Drajat Martianto, 50 persen populasi penduduk Indonesia tidak mengonsumsi sayur, buah, kacang-kacangan, dan protein hewani yang mencukupi.

Apabila dibandingkan dengan data FIES, populasi yang mengalami kelaparan tersembunyi di Indonesia diperkirakan masih di bawah angka 14,4 juta orang pada 2020. Meskipun ada perbedaan angka karena adanya perbedaan metodologi penghitungan, angka kelaparan tersembunyi ini sangat mengkhawatirkan dan tentu perlu diwaspadai.

Apa yang harus segera dilakukan? Pola makan kita saat ini harus bertransformasi untuk menghindari kelaparan tersembunyi dengan cara meningkatkan konsumsi beragam pangan yang tersedia, seperti sayur, buah, polong-polongan, dan kacang-kacangan, menjadi dua kali lipat dari sebelumnya dan asupan terbatas protein hewani.

Peningkatan konsumsi sayur, buah, dan kacang-kacangan tentu akan memenuhi kecukupan asupan vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk menghindari kelaparan tersembunyi. Sayur dan buah yang dimakan juga perlu disesuaikan dengan ketersediaan sayur dan buah lokal pada wilayah masing-masing.

Mengoptimalkan konsumsi ragam buah, sayur, dan kacang-kacangan yang ada di daerah masing-masing akan dapat membantu mengurangi terbuangnya buah dan sayur-sayuran karena rantai pasok yang panjang. Berdasarkan laporan Susut dan Limbah Pangan Indonesia tahun 2021, sayuran dan buah yang tidak dikonsumsi dan menjadi susut dan limbah pangan masing-masing sebesar 62,8 persen dan 45,5 persen dari total pasokan domestik. Bayangkan saja, setengah suplai domestik terbuang sia-sia dan tidak dapat dikonsumsi secara optimal untuk menghindari kelaparan tersembunyi.

Optimalisasi ragam buah dan sayuran lokal yang dikonsumsi dapat juga dengan meningkatkan kesadaran masyarakat melalui kampanye pemerintah #IsiPiringku yang mengedepankan pola makan berimbang yang sehat untuk tubuh. Kampanye dapat menekankan pentingnya mengonsumsi buah dan sayuran sesuai porsi yang disarankan kampanye ini, yaitu 50 persen dari isi piring kita tiap kali makan. Kampanye tentu dapat ditambah dengan menekankan perlunya mengonsumsi sayur dan buah lokal untuk menekan angka susut dan limbah pangan.

Selain itu, menjaga kelestarian hutan dan biodiversitas yang ada di dalamnya tentu akan menjamin penyediaan sumber pangan bagi masyarakat. Saat ini, lebih dari setengah populasi manusia mengonsumsi sayur dan buah yang disediakan oleh hutan. Karena itu, tutupan hutan banyak dikaitkan dengan lebih beragamnya pola makan yang bergizi dan peningkatan konsumsi sayur dan buah.

Untuk menjaga kelestarian hutan, metode intensifikasi pertanian untuk buah dan sayuran tentu menjadi alternatif untuk Indonesia. Melaui intensifikasi pertanian, terutama untuk sayur dan buah, kita dapat meningkatkan pasokan buah dan sayuran serta menjaga kelestarian hutan yang juga menyediakan buah dan sayuran. Peningkatan produktivitas diharapkan dapat meningkatkan akses terhadap sayur dan buah untuk seluruh lapisan masyarakat.