
Bahaya, Faktor Penyebab, dan Cara Mengatasi Pola Makan Tidak Sehat
Saat ini, Indonesia masih menghadapi tantangan kesehatan yang serius. Sebanyak 52% angka kematian di Indonesia disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular (PTM) sebagai penyebab kematian utama. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kematian akibat penyakit menular. Dari sepuluh besar penyebab kematian, enam di antaranya adalah PTM terkait gaya hidup dan pola konsumsi makanan, seperti stroke, penyakit jantung koroner, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal (WHO, 2023).
Selain itu, tingkat tiga beban kekurangan gizi (triple burden malnutrition)1 di Indonesia juga masih mengkhawatirkan. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting masih berada di angka 21,5%, masih jauh dari target 14% yang tercantum pada RPJMN 2020-2024. Kondisi stunting ini akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak jangka panjang. Anak-anak yang mengalami stunting lebih rentan mengalami PTM saat dewasa sehingga memengaruhi produktivitas dan perkembangan ekonomi di masa depan (WHO, 2025).
Di sisi lain, data juga menunjukkan prevalensi obesitas meningkat dari 21,8% pada 2018 menjadi 23,4% pada 2023. Selain itu, pada 2023, tiga dari sepuluh ibu (27,7%) mengalami anemia akibat kekurangan zat besi sehingga meningkatkan risiko bagi kehamilan ibu dan lahirnya bayi BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) yaitu kurang dari 2,5 kilogram.
Seluruh tantangan kesehatan tersebut sangat dipengaruhi oleh pola makan yang tidak sehat.
Bahaya konsumsi makanan yang tidak sehat
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018) dan SKI 2023 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung memiliki pola konsumsi makanan tidak sehat, yaitu konsumsi makanan olahan, cepat saji, minuman manis, serta makanan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL). Konsumsi GGL berlebih berkontribusi besar terhadap peningkatan risiko PTM (Destra., et al, 2022), bahkan lebih besar dibandingkan dengan risiko perilaku seks bebas, merokok, konsumsi alkohol, dan narkoba (EAT-Lancet, 2019).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa tahun terakhir juga menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran untuk makanan dan minuman cepat saji merupakan yang tertinggi dari total pengeluaran konsumsi rumah tangga. Contohnya, angka ini mencapai 32% pada tahun 2023.
Seiring dengan tingginya perilaku konsumsi makanan tidak sehat, angka konsumsi makanan sehat, seperti sayur dan buah, pun sangat rendah. Laporan SKI tahun 2023 menunjukkan bahwa 96,7% masyarakat Indonesia masih kurang mengonsumsi sayur dan buah. Alasannya beragam, mulai dari ketidaksukaan, keterbatasan daya beli, keterbatasan stok, tidak terbiasa, rasa bosan atau malas, hingga anggapan tidak ada manfaat yang dirasakan. Hal ini tentunya dapat memperburuk masalah kesehatan yang kita hadapi saat ini.

Melihat masalah pola makan tidak sehat dari kacamata sistem pangan
Dalam perspektif Kerangka Sistem Pangan HLPE (2017), pola makan masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor penggerak, seperti demografi, sosial budaya, ekonomi, politik, lingkungan, dan teknologi. Jenis pangan yang diproduksi, apa yang tersedia di pasar, dan juga preferensi yang dimiliki sangatlah mempengaruhi keputusan seseorang dalam mengonsumsi makanan serta pola makan mereka.

Tingginya tingkat konsumsi minuman manis, misalnya, sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan kemudahan akses terhadap jenis minuman tersebut di pasar. Harga yang relatif terjangkau, strategi pemasaran yang cukup agresif, serta kebiasaan konsumsi turut memperkuat preferensi masyarakat.
Faktor budaya pun demikian, contohnya, larangan mengonsumsi makanan tertentu atas dasar kepercayaan atau tradisi (food taboo), seperti larangan mengonsumsi udang saat hamil karena diyakini menyebabkan tidak lancarnya proses melahirkan atau berdampak anak terlahir bungkuk. Padahal, jika diolah dengan tepat, udang merupakan sumber protein, mineral, dan omega-3 yang baik untuk kehamilan. Pola makan akibat food taboo seperti ini dapat berkontribusi pada kurangnya asupan gizi yang berpotensi menyebabkan stunting pada anak (Yasir et al., 2023).
Faktor ekonomi juga dapat memengaruhi pola makan. Masyarakat menengah ke bawah cenderung lebih memilih makanan murah, rendah gizi, dan menu kurang beragam. Di sisi lain, kelompok dengan status ekonomi tinggi juga memiliki kecenderungan untuk membeli pangan berlebih dengan gizi rendah, seperti makanan cepat saji, camilan tinggi gula, dan makanan kekinian yang tinggi GGL (Ibrahim & Faramita, 2014).
Faktor politik juga turut berperan besar. Dengan lemahnya regulasi, makanan tidak sehat justru kerap dipromosikan dengan menarik dan acap kali menggandeng figur publik. Hal ini berdampak pada timbulnya persepsi bagi masyarakat akan pilihan makanan yang lebih sehat.
Pentingnya peranan multipihak untuk mendukung pola makan sehat
Kompleksitas dari permasalahan yang menyebabkan pola makan tidak sehat tersebut memerlukan solusi yang komprehensif dan kerja sama multipihak. Produsen perlu didorong untuk menyediakan makanan yang lebih sehat dengan prinsip berkelanjutan. IKEA, misalnya, mengeluarkan menu plant-based (berbahan dasar tanaman) sebagai komitmen terhadap pola makan sehat dan ramah lingkungan menggunakan pangan lokal.
Tokoh masyarakat, adat, serta agama juga memiliki peran strategis dalam memberikan edukasi dan advokasi mengenai pentingnya pola makan sehat. Peran mereka bisa diperkuat, terutama dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pangan berbasis lokal yang mudah diakses. Mereka juga dapat memerangi food taboo di masyarakat melalui edukasi dan sosialisasi terkait sistem pangan berbasis pangan lokal, keragaman pangan, dan pola makan sehat. Edukasi dan sosialisasi dapat menggandeng Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), seperti Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) yang bergerak di bidang tersebut.
Pemerintah juga memiliki peran yang tak kalah penting. Beberapa upaya telah diterapkan, seperti menetapkan batasan konsumsi harian, kampanye program B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman) dan kampanye Isi Piringku yang memberikan panduan visual tentang isi piring dengan gizi berimbang. Selain itu, pemerintah juga dapat menggunakan instrumen fiskal, seperti penerapan cukai pada minuman berpemanis yang terbukti efektif di sejumlah negara seperti Inggris, Hungaria, Meksiko, Thailand, Arab Saudi, dan Chili.
Pentingnya Membiasakan Pola Makan Sehat
Secara individu, kita perlu berkomitmen membiasakan pola makan yang sehat. Terlebih, jika komitmen tersebut didukung oleh pemangku kepentingan melalui edukasi dan advokasi, maka mewujudkan pola makan sehat tentu bukan hal mustahil untuk dilakukan.
Memulai kebiasaan pola makan sehat seharusnya tidak mahal dan rumit. Dengan keanekaragaman hasil alamnya, Indonesia menyediakan berbagai pilihan pangan lokal yang kaya nutrisi dan dapatdiakses oleh masyarakat. Misalnya, sumber karbohidrat dengan nilai glikemik rendah seperti sagu, singkong, jagung, dan sorgum dapat menjadi alternatif pengganti beras yang lebih banyak ditemui di berbagai daerah. Demikian pula sumber zat gizi lainnya dari sayur, buah, dan sumber protein lokal untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi harian secara seimbang.
Memanfaatkan pangan lokal dalam pola makan sehat tidak hanya penting untuk menjaga kesehatan kita, tetapi juga dalam mendukung keberlanjutan lingkungan dan memitigasi kerugian ekonomi (Bincang Pangan Lestari, 2024). Pilihan pangan kita hari ini memegang peranan besar terhadap kondisi kesehatan, ekonomi, dan lingkungan kita di masa depan.
1Triple Burden Malnutrition yaitu kekurangan gizi (stunting dan wasting), overweight dan obesitas, serta kekurangan zat gizi mikro.