TUJUAN

Inisiatif Pemantauan Bentang Lahan (The Landscape Monitoring Initiative) bertujuan untuk memperkuat konservasi hutan dan pengurangan deforestasi melalui pendekatan yang inklusif dan kolaboratif di Kalimantan Utara, Riau dan Aceh. Hal ini akan memunculkan berbagai manfaat terkait mitigasi iklim, perlindungan hutan, dan keberlanjutan dalam rantai pasok komoditas, dengan potensi peningkatan lintas provinsi.

DI MANA

Provinsi Aceh, Riau dan Kalimantan Utara

MENGAPA

Aceh dan Kalimantan Utara adalah dua dari sekitar lima provinsi yang memiliki proporsi bentang alam hutan utuh yang tinggi di dalamnya. Di dunia yang sebagian besar hutannya telah terfragmentasi (70% hutan dunia terletak dalam jarak 1 km dari gangguan), hutan besar dan utuh seperti di dua provinsi ini sangatlah berharga. Mereka memberikan lebih banyak jasa ekosistem, mengatur cuaca secara efektif, juga menyimpan dan mendaur ulang karbon dengan lebih baik, serta mendorong evolusi berkelanjutan dan populasi hewan yang sehat. Aceh misalnya, merupakan satu-satunya tempat bagi gajah, harimau, orangutan, dan badak hidup berdampingan.

Aceh dan Kalimantan menampung 10% dari hutan Indonesia yang tersisa, masing-masing 3 juta dan 5,6 juta hektar hutan yang tersisa). Hutan primer mencakup 54% dari total luas daratan Aceh dan 82,5% total daratan Kalimantan Utara. Sayangnya, dari tahun 2001 hingga 2020, Aceh kehilangan 710 kha tutupan pohon, setara dengan penurunan tutupan pohon sebesar 14% sejak tahun 2000 dan emisi sebesar 416Mt CO₂e. Seluas 275 kha di antara hutan yang hilang adalah hutan primer. Pemicu utama deforestasi di kedua provinsi ini adalah produksi komoditas (terutama kelapa sawit) dan pembalakan liar.

Inisiatif ini akan mencegah terjadinya lebih banyak deforestasi di Aceh dan Kalimantan dengan memanfaatkan sistem pengawasan hutan berbasis radar yang mutakhir, serta kolaborasi multipihak untuk mengimplementasikan pengawasan hutan kolektif dan intervensi deforestasi di provinsi tersebut.

Di sisi lain, meski hutan yang tersisa di Provinsi Riau tidak seluas Provinsi Aceh dan Kalimantan Utara, namun Riau merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia. Pada 2019, luas perkebunan kelapa sawit di Riau hampir mencapai 2,5 juta hektar dengan produksi 7,6 juta ton. Kondisi ini menjadikan lanskap Riau sebagai contoh penting bagaimana sektor swasta dapat berkontribusi pada pemantauan hutan di luar konsesi dan pada saat yang sama memastikan kepatuhan terhadap komitmen NDPE untuk produksi minyak sawit berkelanjutan, serta untuk mendukung program pembangunan keberlanjutan di yurisdiksi.

BAGAIMANA

Inisiatif Pemantauan Lanskap akan menguji cobakan sistem pemantauan hutan dan struktur kolaborasi multi-pemangku kepentingan, yang melibatkan lembaga pemerintah daerah, sektor privat, dan kelompok masyarakat sipil. Pendekatan terkoordinasi ini dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi dan memaksimalkan potensi dampak dan skalabilitas, dibandingkan dengan inisiatif pemantauan individu.

Inisiatif Pemantauan Lanskap menggunakan sistem Radar Alerts for Detecting Deforestation (RADD), sebuah teknologi pemantauan berbasis radar yang dikembangkan oleh Wageningen University dan Satelligence, dan difasilitasi oleh WRI. Menggunakan gelombang radar, sistem inovatif ini dapat menembus tutupan awan dan mengumpulkan informasi perubahan hutan tanpa terpengaruh oleh awan atau sinar matahari. Basis data RADD tersedia untuk umum di platform Global Forest Watch, dan akan menambah alat satelit berbasis optik yang dapat tertunda ketika awan menghalangi tangkapan gambar hutan.

Untuk memberikan pemantauan dan intervensi deforestasi dari hulu ke hilir, WRI Indonesia akan membangun konsensus di antara para pemangku kepentingan utama tentang prioritas peringatan RADD, verifikasi pemantauan lanskap, dan protokol intervensi. Inisiatif pemantauan lanskap terdiri dari tiga tahap utama:

  1. Prioritas peringatan RADD: sistem secara otomatis menghasilkan peringatan prioritas bulanan berdasarkan kluster peringatan RADD “mentah”, kedekatan dengan pabrik dan konsesi kelapa sawit, dan keberadaan nilai konservasi tinggi dalam piksel (seperti lahan gambut dan tutupan hutan ). Hal ini memungkinkan semua pemangku kepentingan untuk memaksimalkan penggunaan sumber dayanya dengan memverifikasi dan menanggapi peristiwa deforestasi yang paling kritis.
  2. Protokol verifikasi pemantauan lanskap: dengan berkonsultasi dengan mitra perusahaan dan pemerintah daerah, WRI Indonesia menyiapkan protokol verifikasi kolektif di mana setiap bidang tanah di yurisdiksi tersebut ditugaskan ke entitas “verifikator”, dan mereka bertanggung jawab untuk melakukan verifikasi lapangan saat peringatan RADD terdeteksi. Protokol juga menstandarisasi informasi yang dikumpulkan selama verifikasi lapangan (misalnya pertanyaan kunci, pemeriksaan visual, dll.) dan bagaimana informasi tersebut dikatalogkan dalam sebuah database terpusat.
  3. Protokol respons/intervensi pemantauan lanskap: WRI Indonesia memfasilitasi pengembangan protokol respons/intervensi yang mencakup semua pemangku kepentingan terkait yang memiliki fungsi pengelolaan lahan di yurisdiksi terkait (misalnya Kesatuan Pengelolaan Hutan, pemilik pabrik & konsesi, pembeli komoditas utama , pengelola taman nasional, serta lembaga pertanian dan lahan setempat).

MITRA

RADD coalition, CORE coalition, Sustainable Trade Initiative, Forum Konservasi Leuser, local government, Wageningen University

DONOR

Proyek ini didanai oleh

  1. Koalisi RADD dan Kementerian Luar Negeri Norwegia untuk uji coba di Kabupaten Siak, Provinsi Riau
  2. Koalisi CORE melalui Program Lanskap Siak-Pelalawan (SPLP) untuk uji coba di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau
  3. Inisiatif Dagang Hijau (IDH) untuk uji coba di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh
  4. Quantedge Advancement Initiative untuk uji coba di Provinsi Aceh dan Kalimantan Utara

RELEASE: Palm Oil Industry to Jointly Develop Radar Monitoring Technology to Detect Deforestation | World Resources Institute (wri.org)