Kisah Pemantauan Hutan di Balik Secangkir Kopi Gayo
Kopi gayo merupakan varietas kopi arabika yang menjadi salah satu komoditas unggulan bagi Provinsi Aceh. Bersama dengan Sumatera Utara, Aceh tercatat sebagai produsen kopi arabika terbesar di Indonesia. Data Outlook Komoditas Perkebunan Kopi 2022 dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa rata-rata produksi tahunan kopi arabika di Aceh mencapai sekitar 66 ribu ton, bahkan berhasil memproduksi 69 ribu ton pada tahun 2022.
Meningkatnya produksi kopi arabika di Aceh, khususnya kopi gayo yang berasal dari dataran tinggi Gayo, sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam di sekitar perkebunan. Kondisi tutupan hutan yang masih baik di Kabupaten Bener Meriah menciptakan iklim yang dingin, lembap, dan stabil sehingga mampu membantu mengatur suhu, kelembapan, dan curah hujan. Hutan juga menyediakan naungan, pupuk organik, serta perlindungan tanah dari erosi dan banjir yang sangat krusial bagi pertumbuhan kopi.
Keberadaan hutan pinus di daerah perbukitan dan lereng juga menambah nilai unik pada rasa kopi gayo dan membedakannya dari varietas arabika lainnya. Guna menjamin kepastian hukum terhadap tata kelola kopi arabika gayo sebagai produk yang khas, pada tahun 2022 Gubernur Aceh telah menetapkan peraturan tentang Pedoman Tata Kelola Kopi Arabika Gayo sebagai Kopi Spesialti.
Selain unggul dalam budi daya kopi, Kabupaten Bener Meriah juga memiliki potensi konservasi yang besar. Dari total luas wilayah kabupaten yang mencapai 193 ribu hektare, 62% merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), yang menjaga keseimbangan ekologis. Sayangnya, luas tutupan hutan di kawasan ini cenderung menurun. Berdasarkan data Global Forest Watch, Kabupaten Bener Meriah kehilangan sekitar 6 ribu hektare tutupan hutan atau sekitar dua kali luas Kota Yogyakarta selama dua dekade terakhir, dari 110 ribu hektare di tahun 2001 menjadi 104 ribu hektare pada tahun 2023.
Besarnya jasa ekosistem hutan bagi produksi kopi gayo memperlihatkan urgensi bagi upaya perlindungan hutan di Bener Meriah. Agar mampu memenuhi permintaan pasar global akan kopi arabika, keberadaan ekosistem hutan sebagai penopang alam harus terus dijaga. Sistem pemantauan yang tepat akan membantu upaya perlindungan ekosistem hutan serta mengurangi hilangnya tutupan hutan, agar generasi mendatang dapat terus menikmati secangkir kopi gayo.
Inisiatif Pemantauan Lanskap di Kabupaten Bener Meriah
World Resources Institute (WRI) Indonesia, melalui Inisiatif Pemantauan Lanskap, telah mendukung upaya pelestarian hutan di Kabupaten Bener Meriah sejak tahun 2022. WRI Indonesia memperkenalkan kopi arabika gayo sebagai bagian dari upaya untuk menyinergikan budi daya kopi yang berkelanjutan dengan pelestarian lingkungan.
Bersama Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah II Aceh, KPH Wilayah III Aceh, Dinas Pertanian dan Pangan, serta Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Bale Redelong, WRI Indonesia menginisiasi program pemantauan hutan kolaboratif menggunakan teknologi terbaru, seperti deteksi peringatan deforestasi (RADD) dari satelit Sentinel-1. Sistem ini dikembangkan oleh Wageningen University dan WRI pada tahun 2019, yang dapat diakses diakses dengan mudah dan gratis melalui platform Global Forest Watch atau Forest Watcher.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan bahwa sekitar 62% wilayah kabupaten Bener Meriah atau sekitar 120 ribu hektare merupakan kawasan hutan. KPH Wilayah II dan KPH Wilayah III Aceh berbagi wilayah kerja untuk mengelola termasuk memantau kawasan hutan yang berada di Kabupaten Bener Meriah. Selain itu, LPHD Bale Redelong sebagai pemegang izin perhutanan sosial di kawasan hutan lindung di Desa Bale Redelong, juga turut mengelola dan memantau tutupan hutan yang berada dalam izin wilayahnya. Sisanya, sekitar 72 ribu hektare (37%), ditetapkan sebagai Area Penggunaan Lain (APL) yang memiliki tutupan hutan sekitar 5 ribu hektare.
WRI Indonesia bekerja sama dengan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Bener Meriah untuk melakukan pemantauan tutupan hutan yang berada APL. Pemanfaatan hutan di APL diarahkan untuk mendukung berbagai kegiatan penggunaan lahan non-kehutanan yang berkelanjutan, termasuk kegiatan pertanian/perkebunan, area pemukiman, serta pengembangan infrastruktur, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah. Kerja sama dengan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Bener Meriah dalam pemantauan hutan di APL ini bertujuan untuk mengintegrasikan upaya pelestarian lingkungan dan pengembangan ekonomi lokal, sekaligus mendorong pemanfaatan lahan dilakukan dengan cara yang berkelanjutan.
Dari Data menjadi Aksi Nyata
Sebuah tantangan nyata bagi keberlanjutan hutan di Desa Negeri Antara, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, muncul pada Agustus-September 2022. Sistem RADD mendeteksi sekitar 1,97 hektare indikasi pembukaan lahan di kawasan hutan produksi yang dikelola oleh KPH Wilayah II Aceh.
Interpretasi citra satelit resolusi tinggi menunjukkan kegiatan penebangan atau pemanenan hasil hutan kayu sebagai penyebabnya. Pada November 2022, KPH Wilayah II Aceh melakukan verifikasi lapangan yang memverifikasi terjadinya pembukaan lahan. Hasilnya membenarkan aktivitas penebangan atau pemanenan hasil hutan kayu, dengan estimasi luas wilayah terbuka mencapai sekitar 15 hektare.
KPH Wilayah II Aceh kemudian mengintegrasikan hasil verifikasi lapangan tersebut dengan sosialisasi kebijakan pemanfaatan kawasan hutan kepada masyarakat setempat. Mereka berkomunikasi dengan Reje (kepala desa) untuk menyampaikan bahwa aktivitas penebangan di hutan produksi melanggar Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyebutkan bahwa izin diperlukan untuk setiap kegiatan pemanfaatan kawasan hutan. Selain itu, masyarakat juga perlu mengetahui bahwa lokasi tersebut juga teridentifikasi sebagai wilayah jelajah gajah sumatra. Sosialisasi ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan kepatuhan terhadap kebijakan, serta peran mereka dalam menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian hutan, termasuk habitat vital bagi satwa liar dilindungi seperti gajah sumatra.
KPH Wilayah II Aceh mengunjungi kembali lokasi prioritas pada bulan September 2023, yakni 10 bulan setelah verifikasi pertama. Kunjungan ini merupakan tindak lanjut atas kejadian pembukaan lahan di wilayah kelola mereka. Berikut 3 rangkuman hasil investigasi:
- Kondisi lahan yang terbengkalai setelah pembukaan lahan dilakukan. Keterangan dari Reje setempat menegaskan bahwa lokasi tersebut tidak diakses sejak verifikasi pertama oleh KPH Wilayah II Aceh. Pemantauan lanjutan diperlukan untuk mencegah pembukaan lahan lebih lanjut dan memastikan pemulihan ekologis wilayah secara bertahap.
- Desa Pantan Lah menginisiasi pengajuan Perhutanan Sosial (PS), tetapi terhenti sebelum diajukan secara resmi karena perubahan kepemimpinan di tingkat pemerintah daerah, menyebabkan terhentinya inisiatif tersebut. Proses pengajuan perlu dilanjutkan kembali untuk memastikan Desa Pantan Lah dapat mengoptimalkan potensi konservasi dan ekonomi wilayahnya melalui pengelolaan hutan yang berkelanjutan, serta mendukung pelestarian gajah sumatra dan habitatnya.
- Terdapat ketidaksesuaian informasi batas administrasi wilayah. Analisis awal menunjukkan lokasi indikasi pembukaan lahan berada di Desa Negeri Antara, tetapi masyarakat setempat menyatakan wilayah tersebut sebenarnya masuk Desa Pantan Lah. Perbedaan ini menghambat pencarian informasi lebih lanjut tentang kepemilikan lahan oleh otoritas lokal.
Kasus yang kami temukan ini menunjukkan bahwa berkat data hampir real-time yang didukung dengan kecepatan respons dari KPH Wilayah II Aceh dalam bentuk kunjungan langsung, perambahan hutan pun terhenti. Kejadian ini memperlihatkan bahwa sistem pemantauan yang efektif, disertai dengan respons dan tindak lanjut dari para pemangku kepentingan, dapat secara signifikan meningkatkan upaya perlindungan hutan.
Dari pengalaman ini, juga dapat diambil beberapa pembelajaran penting:
- Pembukaan lahan sering kali baru diketahui setelah terjadi dalam skala masif. Data deteksi dini peringatan deforestasi dapat mempercepat aliran informasi kepada pemangku kepentingan, memungkinkan respons lebih cepat untuk mencegah perluasan pembukaan lahan atau kerusakan hutan yang tidak diinginkan.
- Kerja sama antara instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah, maupun kelompok masyarakat perlu ditingkatkan agar dapat berkolaborasi dalam mengupayakan perbaikan tata kelola hutan dan lahan, serta penyelesaian permasalahan lainnya yang ditemukan di tapak.
- Izin Perhutanan Sosial memungkinkan pengelolaan hutan yang lestari dan mengurangi potensi konflik antara masyarakat dan pemerintah terkait kawasan hutan. Hal ini juga dapat meningkatkan kapasitas dan pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan hutan dan lahan secara berkelanjutan.
Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Bale Redelong telah menerapkan strategi perhutanan sosial sejak 2018 untuk menjaga keanekaragaman hayati, warisan budaya, dan keberlanjutan produksi kopi gayo. Mereka tidak hanya fokus pada pelestarian hutan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan komunitas dengan usaha budi daya madu dan kopi. Melalui tim pengamanan hutan, mereka proaktif memantau ancaman termasuk pembukaan lahan ilegal, bekerja sama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Langkah penghijauan dilakukan untuk memastikan fungsi ekologis dari 823 hektare hutan, serta menjaga produksi madu dan kopi, serta ekowisata Air Terjun Peteri Pintu yang vital bagi masyarakat Desa Bale Redelong.