Selama bertahun-tahun, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia telah meminta pemerintah untuk mengeluarkan data hutan, seperti lokasi budidaya pertanian dan wilayah-wilayah yang dilindungi. Akses terhadap data hutan yang dimiliki oleh pemerintah sangatlah penting di tengah maraknya deforestasi, yang sebagian disebabkan oleh data yang tidak dapat diandalkan atau diakses sehingga pengawasan hutan dan penegakan hukum sulit dilakukan. Namun, pemerintah Indonesia tetap enggan membuka data spasial digital untuk publik, dengan alasan utama berupa kekhawatiran bahwa data tersebut berisiko untuk diubah dan disalahgunakan. Padahal, pada kenyataannya terdapat beberapa cara untuk mencegah penyebaran data palsu.

Apa itu Data Spasial?

Data spasial berisi lokasi geografis dari fitur-fitur di permukaan bumi. Sebagai contoh, data hutan primer di Indonesia di Global Forest Watch berisi koordinat, yang dapat menunjukkan batas-batas hutan primer di seluruh Indonesia. Format umum dari data spasial adalah shapefile (SHP), yang dapat dibaca dan diproses menggunakan semua perangkat lunak Sistem Informasi Geografis. Berbeda dengan format statik seperti PDF, shapefile yang dapat “dibaca oleh mesin” memungkinkan pengguna untuk menganalisis data spasial secara lebih mendalam untuk memahami bagaimana dan mengapa hutan di Indonesia mengalami perubahan.

Dengan rangkaian data yang tepat, pengguna dapat menghitung jumlah kebakaran lahan gambut yang terjadi di dalam dan luar wilayah konsesi, atau mendeteksi pembukaan hutan di wilayah-wilayah yang dilindungi. Oleh karena itu, data hutan dan konsesi dalam format shapefile sangat esensial dalam meningkatkan pengambilan keputusan dan pengawasan hutan.

Kebutuhan untuk Transparansi Data yang Lebih Baik

Sebagai bagian dari Open Government Partnership, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, dan telah mempublikasikan beberapa data hutan, seperti batas perkebunan kelapa sawit serta pulp dan kertas. Namun demikian, sebuah studi terbaru WRI menemukan bahwa data tersebut berada dalam format lama, sehingga tidak dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan komputer. Keterbatasan ini menyebabkan sulitnya melakukan analisis seperti penghitungan jumlah kebakaran lahan gambut yang terjadi di dalam dan luar wilayah konsesi, atau deteksi pembukaan hutan di wilayah-wilayah yang dilindungi.

Pemerintah juga telah mengajukan banding atas beberapa perintah pengadilan terkini untuk membuka data spasial berbasis peta lainnya. Dengan hanya mempublikasikan data yang tidak bisa diproses oleh komputer, dan tidak mempublikasikan sama sekali rangkaian data lainnya, pemerintah Indonesia memang mencegah risiko penyalahgunaan data, tetapi juga mengurangi transparansi yang mengakibatkan pengelolaan lahan yang buruk.

 

<p>Jalan menuju keterbukaan data sangatlah jelas. Foto oleh Aaron Minnick/WRI</p>

Jalan menuju keterbukaan data sangatlah jelas. Foto oleh Aaron Minnick/WRI

 

3 Cara untuk Mencegah Data Palsu

Pemerintah perlu menggunakan beberapa taktik untuk dapat menjamin keaslian data spasial yang mereka publikasikan, seperti:

  1. Perjanjian pembagian data dapat mengikat pengguna untuk mengikuti syarat dan ketentuan yang ketat. Perjanjian tersebut harus berisi informasi seperti siapa pemilik data, bagaimana pengguna dapat menggunakan data, dan syarat dan ketentuan yang mengatur distribusi data. Meskipun perjanjian tersebut bukan alat untuk mengawasi perubahan data, namun dapat digunakan sebagai sebuah kontrak yang mengatur bagaimana data seharusnya dan tidak seharusnya digunakan dan disebarkan.
  2. Rekam waktu digital (timestamp) yang tercatat di metadata shapefile, sebuah format umum untuk data spasial, dapat melacak kapanpun perubahan terhadap data dilakukan. Metadata, atau informasi yang mendeskripsikan data, berisi rincian tentang pemilik data, bagaimana data dibuat, dan rekam waktu digital yang mencatat kapan terakhir kali data diperbaharui.
  3. Watermark atau tanda tangan digital, dapat membantu pengguna mengidentifikasi data spasial yang original dari salinan yang telah diubah. Sebuah studi dari University of Portsmouth telah menunjukkan bahwa teknik ini dapat digunakan untuk data spasial. Shapefile dapat diberikan watermark dengan beberapa cara, salah satunya dengan memasukkan sebuah kode identifikasi ke dalam koordinat di dalam rangkaian data atau melakukan enkripsi terhadap rangkaian data spasial.

Transparansi Data Membantu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pemerintah

Menyediakan akses terhadap data spasial bagi masyarakat umum dapat bermanfaat bagi pemerintah. Transparansi data yang lebih baik dapat membantu berbagai organisasi dalam melengkapi upaya pengawasan hutan oleh pemerintah dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri untuk melacak kegiatan yang ilegal dan tidak berkelanjutan.

Kita sudah melihat manfaat keterbukaan data di beberapa negara. Di Brazil, contohnya, sebuah studi menunjukkan bahwa sebuah sistem berbasis satelit yang menunjukkan titik-titik deforestasi telah meningkatkan kapasitas pengawasan penegak hukum, sehingga mencegah deforestasi di lebih dari 59.500 kilometer persegi (5.950.000 hektar) hutan di Amazon di antara 2007 hingga 2011. Sistem yang tersedia secara publik ini juga telah memberdayakan masyarakat dan organisasi masyarakat untuk melacak deforestasi dan mendorong pemerintah untuk memberikan hukuman yang berat bagi penebangan hutan ilegal.

Bukti ini menunjukkan bahwa ketersediaan data untuk publik yang dijalankan dengan benar dapat memberikan dampak positif. Indonesia dan negara-negara pemilik hutan lainnya dapat mengambil berbagai manfaat dengan membuat transparansi data sebuah kenyataan.