Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan di Sumatera dan Kalimantan, Papua menjadi harapan terakhir bagi hutan Indonesia yang utuh. Pada tahun 2012, 38 persen hutan primer yang tersisa di Indonesia berada di Papua, yang terletak di bagian barat Papua Nugini, pulau terbesar kedua di dunia, dan terdiri dari provinsi Papua dan Papua Barat. Papua memiliki salah satu hutan dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, dengan 20.000 spesies tanaman, 602 jenis burung, 125 mamalia dan 223 reptil. Hutan ini juga menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak masyarakat setempat.

Tingkat kehilangan tutupan pohon di Papua mencapai puncaknya pada tahun 2015. Sejak itu para pemimpin daerah mulai mengambil tindakan. Pada tahun 2015, Papua Barat menjadi provinsi konservasi pertama di dunia dan komitmen ini masih dipegang oleh gubernur yang menjabat saat ini pada tahun 2018. Beliau juga berencana untuk meninjau semua lisensi kehutanan dan perkebunan di seluruh Provinsi Papua Barat. Sementara itu, tetangganya, Provinsi Papua, juga telah merancang peta jalan bertajuk Visi 2100 Papua yang menargetkan untuk mempertahankan 90 persen tutupan hutan di seluruh provinsi seiring dengan upaya untuk mencapai tujuan pembangunan rendah karbon.

Langkah-langkah ini sepertinya sudah membuahkan hasil. Sejalan dengan komitmen politik para pemimpin provinsi terhadap pelestarian hutan, tingkat kehilangan hutan tahunan mengalami penurunan pada tahun 2016 dan 2017. Namun, bukan berarti tidak ada risiko yang mengancam hutan primer Papua. Masih ada elemen-elemen pemerintah yang tidak sepenuhnya mendukung konservasi: agenda pembangunan infrastruktur pemerintah nasional di provinsi–provinsi ini tampaknya masih melibatkan pembukaan hutan.

Berikut adalah tiga hal yang perlu diketahui dalam upaya untuk melindungi hutan Papua, langkah yang sangat penting jika Indonesia ingin memenuhi target emisinya dan mencapai perkembangan berkelanjutan di Papua.

1. Kebanyakan—Tetapi Tidak Semua—Kehilangan Hutan Terjadi Secara Legal

Beberapa peristiwa deforestasi terjadi di dalam batasan konsesi legal. Namun terkadang, pemilik konsesi ini beroperasi di luar izin yang telah disetujui, bahkan kadang dalam zona perlindungan gambut. (Penjelasan tentang gambut akan diberikan di bawah.)

Tingkat kehilangan hutan di Papua Barat melonjak pada tahun 2015, jauh di atas tahun-tahun sebelumnya. Dari semua kejadian pada tahun 2015, hanya 3 persen yang diakibatkan oleh perambahan ilegal.

Sebagian besar deforestasi di Provinsi Papua dan Papua Barat terjadi di kawasan Hutan Produksi dan Area Penggunaan Lain, sehingga dapat disebut sebagai deforestasi yang direncanakan. Tetapi, praktik ini tetap saja merusak keberagaman ekosistem hutan secara permanen (PDF).

2. Melindungi Lahan Gambut Sama Dengan Mengurangi Emisi Karbon

Meskipun tingkat kehilangan hutan di lahan gambut masih lebih rendah dibandingkan lahan non-gambut, lahan gambut melepaskan karbon dalam jumlah yang lebih besar. Akibatnya, emisi yang dihasilkan dari kehilangan hutan di lahan gambut bisa saja lebih besar dari jenis hutan lain apabila kita tidak segera mengubah kebijakan pengembangan untuk mengatasi masalah ini.

Di Provinsi Papua Barat contohnya, pada tahun 2015 dan 2016 kontribusi emisi dari lahan gambut terdegradasi tercatat sekitar 50-55 persen lebih besar dibandingkan emisi yang dihasilkan dari pembukaan hutan.

Sementara itu, tingkat emisi dari lahan gambut di Provinsi Papua tidak pernah melampaui emisi kehilangan tutupan pohon selama 17 tahun.

3. Melindungi Hutan Papua Dapat Membantu Indonesia Memenuhi Komitmen Perjanjian Paris

Jika pemerintah Indonesia dapat menjaga setidaknya 70 persen wilayah Papua di Indonesia (29 juta hektar) sebagai kawasan konservasi dan memulihkan lahan terdegradasi di dalam kawasan lindung, pemerintah dapat menghindari 2,8–3,3 gigaton emisi karbon dioksida. Artinya, jumlah emisi karbon dioksida yang dapat dihindari jika Indonesia dapat menyelamatkan hutan Papua saja sudah melebihi target 1,8-2,0 gigaton pada tahun 2030 yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.

Bagaimana Pembangunan dapat Berjalan Beriringan dengan Perlindungan Hutan

Pemerintah provinsi perlu melakukan pembangunan ekonomi dengan cara yang kondusif bagi perlindungan hutan. Bagaimana caranya?

Kita dapat mengembangkan sektor-sektor alternatif di luar praktik saat ini yang bergantung pada pemanfaatan sumber daya alam untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Contohnya, Papua yang begitu indah sangat berpotensi untuk ekoturisme. Dengan agroforestri terpadu, produksi barang hutan non-kayu seperti karet, coklat, madu, anggrek dan buah-buahan juga dapat dikembangkan sebagai alternatif sumber mata pencaharian.

Dalam proses transisi menuju alternatif-alternatif tersebut, kita tidak perlu sepenuhnya menutup kesempatan bagi perkebunan. Konsesi yang ada saat ini dapat dipindahkan ke perkebunan yang sudah tua serta lahan terdegradasi dan lahan tidak produktif di Papua yang luasnya melebihi 2 juta hektar pada tahun 2013. Namun, kita harus berhati-hati dalam memanfaatkan perkebunan. Manfaat ekonomi yang dihasilkan harus dapat menjangkau masyarakat dan bukan hanya kaum elit, sehingga tidak memperparah kesenjangan.

Skema hutan adat juga dapat menjadi pilihan. Menurut sebuah penelitian, hutan adat merupakan sistem terbaik untuk diimplementasikan di Papua. Selama ratusan tahun, masyarakat adat di Papua mendapatkan pasokan makanan, obat-obatan dan kebutuhan kebudayaan mereka dari hutan. Sekarang, mereka dapat memainkan peran penting dalam upaya untuk melindungi hutan dari perambahan.