Indonesia melanjutkan aksi iklim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai dengan janji yang tertera dalam Komitmen Kontribusi Nasional (NDC). Sebagai bentuk kontribusi negara terhadap Kesepakatan Paris, NDC menunjukkan tanggung jawab penting dan besar yang akan menentukan arah pembangunan Indonesia di masa mendatang. Laporan penelitian terbaru dari IPCC menegaskan bahwa kita perlu memperkuat ambisi dan meningkatkan kolaborasi lintas sektor untuk menanggulangi tantangan perubahan iklim yang kian memburuk. Dan hal ini harus dimulai dari sekarang.

Di dalam NDC Indonesia ditekankan pentingnya keterlibatan peran non-pemerintah, termasuk sektor swasta dalam barisan pejuang iklim. Melalui inovasi dan teknologi baru yang dimiliki sektor swasta, Indonesia dapat mencapai dan meningkatkan komitmen iklim. Dengan pergeseran tren global menuju ekonomi rendah karbon, penelitian terbaru menunjukan adanya peluang investasi aksi iklim senilai hampir USD 26 triliun hingga tahun 2030. Mengingat praktik bisnis keberlanjutan juga dapat meningkatkan reputasi perusahaan untuk menarik lebih banyak investor, pelaku usaha berpeluang untuk meraih kesempatan ini dengan memasang target pengurangan emisi.

Meskipun diperlukan tindakan proaktif dari perusahaan untuk mencapai manfaat penuh pembangunan rendah karbon, pemerintah juga perlu mendukung penerapannya melalui langkah berikut:

1. Meninjau ulang regulasi

Agar sektor swasta dapat menerapkan kebijakan yang jelas dan terukur, kerangka kerja regulasi yang koheren harus ditetapkan. Bukan hanya merugikan pemangku kepentingan terkait, kebijakan bertentangan yang dikeluarkan berbagai institusi juga berpotensi menimbulkan bottleneck dalam upaya peningkatan agenda iklim. Langkah awal yang harus segera dilakukan adalah meninjau ulang kebijakan yang berlaku saat ini untuk mengidentifikasi kendala dan perbaikan yang diperlukan. Sebagai contoh, Indonesia berkomitmen untuk memenuhi 23% bauran energinya dengan energi terbarukan pada tahun 2025 melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Bersamaan dengan itu, pemerintah menargetkan pemenuhan kebutuhan listrik dengan merancang program pembangkit listrik berkapasitas 35.000 Megawatt, yang sebagian besar menggunakan tenaga batu bara. Dominasi batu bara ini tentu bertentangan dengan peluang yang ditawarkan RUEN kepada sektor swasta untuk meningkatkan investasi melalui program energi terbarukan. Terlebih lagi, peraturan pemerintah menetapkan bahwa harga listrik yang berasal dari energi terbarukan harus 15 persen lebih murah dari pembangkit listrik yang sudah ada di provinsi. Tentu ini akan melemahkan daya saing pelaku usaha energi terbarukan dari pembangkit listrik bertenaga batu bara yang sudah mapan. Untuk menunjukkan kesiapannya mewujudkan lingkungan usaha menguntungkan, pemerintah harus menyelaraskan berbagai peraturan yang ada.

2. Menghindari sistem pelaporan berlapis

Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia menggunakan tiga platform berbeda untuk mengumpulkan profil emisi perusahaan, berdasarkan mandat dan tujuan yang berbeda. SiINAS, yang dinaungi oleh Kementerian Industri, menginventarisasi data aktivitas industri dan peluang pasar. Sementara PROPER, yang digawangi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mendata aktivitas perusahaan dalam hal pengelolaan lingkungan. Kemudian di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ada POME yang bertanggung jawab untuk melaksanakan sistem audit energi. Berdasarkan sistem ini, perusahaan-perusahaan dituntut untuk melaporkan aktivitasnya kepada ketiga platform di atas setiap tahun. Melihat kemiripan basis data yang dikumpulkam platform-platform tersebut, sistem ini sepertinya tidak efektif. Akhirnya, sektor swasta terbebani dengan kewajiban pelaporan yang tumpang tindih, sementara pemerintah harus mengerahkan usaha lebih untuk validasi data. Keberadaan satu platform yang terintegrasi dengan data aksi iklim perusahaan yang akurat dan terbaru tentu akan sangat bermanfaat dalam mengarahkan upaya mitigasi perubahan iklim Indonesia.

3. Memberi insentif

Pemberian insentif yang jelas dan solusi yang saling menguntungkan di antara para pemangku kepentingan adalah kunci utama perwujudan aksi iklim. Untuk penerapan usaha hijau yang dilakukan atas dasar sukarela, pemerintah nasional perlu meningkatkan insentif dan mendorong dampak yang juga memberikan manfaat bagi sektor swasta. Saat ini, pemerintah telah merancang sejumlah skema insentif untuk mengapresiasi upaya perusahaan dalam menjalankan usaha hijau, termasuk melalui 'penghargaan industri hijau' untuk praktik berkelanjutan; 'Penghargaan Subroto' untuk partisipasi perusahaan dalam pembakaran energi berteknologi canggih; dan PROPER sebagai program pemeringkat kinerja pengelolaan lingkungan sektor swasta. Seluruh penghargaan tersebut dapat meningkatkan reputasi perusahaan dan pada akhirnya memberikan dampak positif bagi kelangsungan usaha.

Belajar dari Jepang

Jepang telah melibatkan sektor swasta dalam upaya penanggulangan pemanasan global sejak tahun 1996. Sejumlah inisiatif diterapkan untuk mengendalikan tingkat emisi perusahaan dan memastikan pelaksanaan praktik berkelanjutan. Salah satu contoh keberhasilannya adalah KEIDANREN, inisiatif Federasi Bisnis Jepang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, mengelola pembuangan limbah dan mendorong budaya daur ulang. Berkomitmen membangun budaya rendah karbon sejak tahun 2009, KEIDANREN kini telah menggandeng 1.376 perusahaan, 109 asosiasi industri nasional dan 47 organisasi ekonomi regional. Sebagai asosiasi bisnis Jepang, KEIDANREN mendorong anggotanya untuk menyusun visi jangka panjang budaya dekarbonisasi sekaligus mendukung pemerintah dengan menyediakan informasi terkait upaya pengurangan emisi GRK.

Peningkatan eksponensial jumlah peserta KEIDANREN ini disebabkan oleh ketatnya undang-undang yang diberlakukan oleh pemerintah. Sejak tahun 2005, Jepang mengeluarkan sistem pelaporan dan akuntansi wajib untuk emisi perusahaan dalam menjalankan usaha. Ditambah dengan tekanan dari investor luar terhadap praktik usaha hijau berkelanjutan, terciptalah atmosfer mendukung bagi perusahaan untuk melawan perubahan iklim.

Inisiatif Baru dari Indonesia

<p>Andrew Steer dari World Resources Institute memperkenalkan Kemitraan untuk Memperkuat Transparansi Inovasi Bersama (PaSTI) pada COP24 di Katowice, Polandia. Kredit foto: COP24 Japan Pavilion/Flickr</p>

Andrew Steer dari World Resources Institute memperkenalkan Kemitraan untuk Memperkuat Transparansi Inovasi Bersama (PaSTI) pada COP24 di Katowice, Polandia. Kredit foto: COP24 Japan Pavilion/Flickr

Dalam rangka meningkatkan pencapaian target iklim, COP24 terakhir menyoroti ajakan beraksi di berbagai sektor. Indonesia sendiri perlu terus mendorong komitmen iklim sektor swasta demi mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan mempertimbangkan tiga langkah di atas, Indonesia dapat meneladani keberhasilan Jepang dalam menggapai cita-cita perubahan iklim.

Oleh karena itu, dan untuk mendukung percepatan aksi iklim, tahun lalu Indonesia berpartisipasi dalam inisiatif baru bernama Kemitraan untuk Memperkuat Transparansi Inovasi Bersama (PaSTI). Program ini dirancang untuk menjembatani kepentingan pihak pemerintah dan non-pemerintah bersama-sama menuju praktik bisnis berkelanjutan terbuka. Tidak hanya sekadar meningkatkan target iklim, PaSTI juga membuka kesempatan bagi Indonesia untuk mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) melalui kerja sama di antara para pemangku kepentingan. Contoh kerja sama tersebut adalah kerangka kerja sistem pelaporan yang efektif dan transparan guna meningkatkan partisipasi non-pihak dalam mencapai tujuan iklim (SGDs 17.17).

Melalui implementasi proyek yang mengarah pada praktik bisnis berkelanjutan, PaSTI menjawab pertanyaan penting 'bagaimana cara melibatkan sektor swasta dalam aksi iklim?'. Rangkaian diskusi PaSTI juga memberikan analisis gambaran insentif guna memperkuat sistem Pengawasan Pelaporan dan Verifikasi (MRV) aksi iklim. Proses forum yang inklusif ini juga melibatkan pihak kementerian dan non-pemerintah dalam upaya penyelarasan gagasan strategi terkait peningkatan kerangka kerja perubahan iklim di Indonesia secara terbuka.

Dengan penelitian yang telah disebutkan di atas, tujuan PaSTI selanjutnya adalah merancang perangkat standar dalam sistem pelaporan terintegrasi yang efektif di tingkat nasional, beserta panduannya bagi para pelaku terkait. PaSTI juga akan menyelenggarakan kegiatan pengembangan kapasitas untuk menjembatani kesenjangan kebijakan dan regulasi di antara kementerian terkait. Dengan memfasilitasi kepentingan banyak pihak, kehadiran proyek memberikan peluang bagi sektor swasta untuk meningkatkan kontribusinya menuju masa depan rendah karbon.