Pada Desember 2020, Indonesia telah menandatangani komitmen untuk melakukan transformasi menuju ekonomi laut yang berkelanjutan (selanjutnya disebut Transformasi). Indonesia merupakan anggota Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan (Panel Laut) bersama 13 negara lainnya, yang secara keseluruhan mewakili jurisdiksi hampir 40 persen dari keseluruhan garis pantai dunia.

Target dari komitmen tersebut adalah 100% wilayah laut dalam juridiksi nasional dari 14 negara anggota Panel Laut, termasuk Indonesia, dapat dikelola secara berkelanjutan (disebut juga Pendekatan 100%) pada tahun 2025 – dengan perhatian pada sinergi antara produksi ekonomi, pemerataan kesejahteraan, serta konservasi ekosistem laut dan pesisir. Komitmen tersebut diwujudkan melalui 5 komponen: kekayaan laut, kesehatan laut, laut yang adil, keuangan laut dan pengetahuan laut.

Realisasi ekonomi laut yang berkelanjutan bisa menghasilkan manfaat yang besar. Studi dari World Resources Institute (WRI) menunjukkan bahwa dalam 30 tahun, pengelolaan makanan laut yang berkelanjutan memiliki rasio manfaat-biaya 10:1. Artinya, setiap satu dolar AS yang diinvestasikan untuk meningkatkan produksi protein berbasis laut yang berkelanjutan akan menghasilkan manfaat sebesar 10 dolar AS. Sedangkan, bersumber dari studi yang sama, konservasi dan restorasi mangrove masing-masing memiliki rasio manfaat-biaya 88:1 dan 2:1.

Meski demikian, masih terdapat tantangan bagi Indonesia untuk dapat sepenuhnya meraih manfaat tersebut. Misalnya, hampir setengah stok perikanan tangkap liar mengalami eksploitasi berlebih (over-exploited), serta masih adanya kapal ikan ilegal di perairan Indonesia. Sementara itu, sekitar 600 ribu hektar mangrove di Indonesia ada dalam kondisi kritis. Agar Indonesia dapat melaksanakan transformasi 100% pengelolaan laut berkelanjutan sesuai waktu yang ditargetkan, setidaknya terdapat tiga upaya yang perlu dipertimbangkan oleh Indonesia.

Pertama, integrasi upaya Transformasi dengan program dan kebijakan yang sudah berjalan. Sebagian area Transformasi bukan hal baru di Indonesia. Sebagai contoh, terkait kesehatan laut, Indonesia berupaya merestorasi hingga 600 ribu hektar mangrove, restorasi terumbu karang di Bali dan wilayah segitiga terumbu karang (Coral Triangle), dan menangani sampah laut. Contoh lain, terkait kekayaan laut: Indonesia memiliki Satuan Tugas untuk memberantas penangkapan ikan ilegal, serta mengembangkan Desa Wisata Bahari untuk memajukan ekonomi berbasis wisata pesisir. Selain itu, sudah ada berbagai kebijakan nasional yang mencakup sektor kemaritiman, antara lain Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Demi mencapai komitmen Transformasi, Indonesia dapat menjembatani gap antara program/kebijakan eksisting dengan target capaian (outcome) dari komitmen tersebut. Contohnya, terkait pengetahuan laut: Indonesia perlu mengembangkan dan menerapkan neraca sumber daya kelautan dan pesisir, yang saat ini belum ada di Indonesia. Neraca tersebut berpeluang menjadi medium bagi proses kebijakan pembangunan agar dapat memperhitungkan nilai dan dampaknya bagi ekosistem laut dan pesisir. Contoh lain, terkait kesehatan laut: terlepas dari penerapan moratorium hutan alam primer dan lahan gambut yang telah mencakup hutan mangrove primer – Indonesia dapat mempertimbangkan penguatan perlindungan ekosistem mangrove, termasuk di dalamnya hutan mangrove sekunder. Hal tersebut mempertimbangkan prioritas Transformasi terkait penghentian kehilangan bersih ekosistem mangrove, ancaman terhadap kelestarian mangrove), serta cadangan karbon yang besar pada mangrove sekunder.

Kedua, pendanaan implementasi Transformasi. Target waktu capaian yang relatif dekat bagi Indonesia (tahun 2025) membutuhkan kejelasan terkait anggaran yang dibutuhkan. Hal ini membutuhkan skema pendanaan yang inovatif, mengingat besarnya serapan fiskal untuk mengatasi dampak pandemi COVID-19.

Aksi prioritas terkait pendanaan yang perlu dilakukan Indonesia adalah penguatan kapasitas pembiayaan gabungan (blended finance) dari sektor publik, swasta, dana bantuan pembangunan (development assistance), maupun sumber filantropi. Misalnya saja, Indonesia dapat memaksimalkan kontribusi dari instrumen Obligasi Negara Ritel (ORI) terhadap rehabilitasi dan kelestarian ekosistem pesisir. Selain itu, Indonesia mungkin dapat mempertimbangkan opsi debt-for-nature swap, yaitu meminta keringanan utang untuk dialihkan ke pembiayaan aktivitas yang mendukung kelestarian lingkungan hidup – termasuk dalam hal ini ekosistem laut dan pesisir. Opsi serupa pernah diterapkan untuk mendukung konservasi hutan di Sumatra.

Ketiga, partisipasi dan sinergi pemangku kepentingan lintas sektor. Dokumen Transformasi menyebut bahwa proses Transformasi harus merangkul inovasi lintas sektor mulai dari aspek teknologi, tata kelola, hingga keuangan. Dengan demikian, sinergi perencanaan dan implementasi lintas sektor di Indonesia) menjadi krusial.

Untuk itu, diperlukan regulasi untuk memperkuat komitmen dan sinergi lintas sektor. Misalnya, dalam konteks pengelolaan mangrove lintas sektor saat ini di Indonesia, adalah Keputusan Menteri PPN 89/2020 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Strategis Pengelolaan Lahan Basah –dimana terdapat target keluaran yang jelas dari regulasi tersebut, yaitu rancangan strategi dan peta jalan pengelolaan ekosistem lahan basah (gambut dan mangrove) dalam jangka waktu 12 bulan. Berkaca dari regulasi tersebut, maka juga perlu dipastikan adanya target capaian yang jelas dalam implementasi Transformasi lintas sektor.

Sektor kelautan adalah salah satu sektor kunci bagi Indonesia untuk dapat mencapai tujuan pembangunan dan memenuhi target iklim nasional. Komitmen Transformasi dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memastikan pengelolaan seluruh ekosistem pesisir dan laut nasional yang berkelanjutan di tahun-tahun ke depan.