Pada tanggal 31 Agustus 2023, warga Jakarta terbangun di bawah selimut kabut asap yang tebal, diiringi tajuk berita tentang Kota Jakarta yang menduduki peringkat pertama kota paling berpolusi di dunia versi IQAir, perusahaan teknologi asal Swiss.

Lonjakan polusi udara pada bulan Juni, Juli hingga Agustus merupakan hal yang lazim terjadi di Jakarta, seiring dengan datangnya musim kemarau, mengikuti pola angin monsunal. Pada musim kemarau, rendahnya kelembapan di atmosfer dan kondisi meteorologi lainnya, ditambah dengan tingginya emisi, terutama dari sektor transportasi dan industri, menimbulkan tingkat polusi yang tinggi dan membahayakan. Tahun ini, fenomena El Niño dan emisi yang terus meningkat dari aktivitas masyarakat menimbulkan lonjakan polusi yang sangat mengkhawatirkan.

Berikut adalah tujuh hal yang perlu diketahui tentang polusi udara di Jakarta, mulai dari penyebab alami maupun dari aktivitas manusia, hingga dampaknya terhadap kesehatan. Selain itu, terdapat langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengurangi polusi udara dan meminimalisir dampaknya bagi lebih dari 10 juta penduduk Jakarta.

1. Pola cuaca musiman memicu lonjakan polusi udara

Analisis yang dilakukan oleh WRI Indonesia berdasarkan data dari tahun 2019 hingga 2021 menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata bulanan partikulat/particulate matter (PM2.5) mengikuti pola yang sama: puncak musim polusi yang dapat mencapai 40-80 μg/m3 pada bulan Juni, Juli, dan Agustus (musim kemarau), yang kemudian diikuti dengan penurunan selama bulan September hingga April (musim hujan).

Faktor-faktor seperti temperatur yang tinggi, kurangnya curah hujan, meningkatnya intensitas sinar matahari dan rendahnya kecepatan angin menjadi pemicu utama peningkatan polusi udara di Jakarta selama musim kemarau. Rendahnya kelembapan dan kecepatan angin menyebabkan penumpukan PM2.5 serta PM10 dan Black Carbon—bentuk lain dari particulate matter yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, batu bara dan pembakaran sampah. Laju angin saat musim kemarau semakin melemah akibat penipisan alami troposfer planetary boundary layer terutama pada malam hari. Fenomena ini bersama dengan peningkatan emisi PM2.5 pada jam-jam sibuk kendaraan di akhir hari kerja meningkatkan resiko dampak kesehatan bagi para pengendara dan pengguna jalan, serta penduduk yang tinggal di sekitar jalanan.

Selain itu, sinar matahari dan tingginya temperatur juga memperburuk ozon permukaan (O3), jenis ozon yang lazim dirasakan sebagai kabut asap, dapat berdampak pada fungsi paru-paru dan jantung. Polutan ini terbentuk dari reaksi kimiawi antara Senyawa Organik yang mudah menguap atau Volatile Organic Compound dengan Metana dan Nitrogen Oksida, yang diemisikan oleh kendaraan, industri, dan sumber-sumber lainnya, dikombinasikan dengan adanya radiasi matahari. Data historis menunjukkan bahwa hari-hari yang tidak sehat di Jakarta lebih banyak disebabkan oleh tingginya tingkat O3 di permukaan daripada PM2.5.

2. Fenomena El Niño memperparah dampak cuaca terhadap polusi udara

Pada bulan Juni 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan mengenai El Niño. Kejadian-kejadian El Niño sebelumnya telah mengakibatkan periode kemarau yang lebih panjang serta buruknya kualitas udara. Data yang diperoleh dari stasiun pemantau BMKG menunjukkan bahwa curah hujan dari bulan Juni hingga Agustus menunjukkan pola yang mirip dengan tahun 2019, di saat El Niño terakhir di Indonesia dan saat curah hujan yang sangat minim ini hampir mencapai status mengkhawatirkan. Musim kemarau yang lebih lama ini memberi kontribusi pada meningkatnya tingkat polusi udara.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa setidaknya dibutuhkan 5 mm curah hujan untuk secara signifikan mengurangi konsentrasi partikel PM2.5 di Jakarta. Kelembapan dari hujan dapat menyapu partikel polusi di udara.

3. Hasil model mengonfirmasi kondisi cuaca dan tingkat emisi tinggi menciptakan polusi di Jabodetabek dan Jawa 

Sistem prediksi Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) atau Global Near-Real-Time memberikan informasi yang berkesinambungan dan berkualitas tinggi terkait kualitas udara global dengan menggunakan kombinasi pengamatan dari berbagai sumber dan model prediksi numerik. Berdasarkan data CAMS, dua pekan pertama di bulan Agustus 20232 menunjukkan adanya penumpukan polutan PM2.5 yang jelas terlihat hampir setiap hari di wilayah Jabodetabek, khususnya di Jakarta Selatan, Depok, Bogor, dan Bagian Timur Surabaya. Konsentrasi PM2.5 ini melebihi batas tidak sehat atau 80 μg/m3 dalam beberapa periode waktu. Kondisi minim angin dan situasi musim kemarau mendorong penumpukan emisi lokal di permukaan, mengakibatkan peningkatan polusi di kawasan perkotaan. Hal ini memberikan indikasi bahwa sebagian besar polutan yang dihirup oleh masyarakat selama masa krisis ini berasal dari emisi lokal—dari sumber transportasi dan industri yang diproduksi di wilayah Jabodetabek.

Penelitian untuk memperdalam pemahaman tentang sumber polusi di Jakarta terus berlanjut melalui inisiatif yang dilakukan oleh WRI Indonesia dalam kerangka proyek Clean Air Catalyst, dengan dukungan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID). Penggunaan model yang menggabungkan data prakiraan cuaca dan data kimia atmosfer dapat membantu mengidentifikasi tentang sumber polusi dan mengidentifikasi solusi yang lebih tepat sasaran dan efektif. Namun hasil sementara dari studi selama ini secara konsisten menunjukan sumber polusi yang sama dan pola musim sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap peningkatan tingkat polusi udara di Jabodetabek.

4. Transportasi adalah sumber polusi udara lokal yang perlu mendapat perhatian

Polusi Udara
Kredit foto: Clean Air Catalyst

Setiap hari, 10 juta komuter dari kota-kota penyangga memasuki kota Jakarta, menambah secara signifikan jumlah penduduk dan jumlah kendaraan yang melintas di jalan raya. Pada tahun 2018, tercatat ada 20 juta kendaraan bermotor, termasuk 13 juta sepeda motor di kota Jakarta; angka yang terus bertambah dengan laju hampir 5% per tahun.

Selama puncak polusi yang terjadi belakangan ini, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengungkapkan bahwa transportasi pribadi berkontribusi besar terhadap polusi udara di Jakarta. Studi inventarisasi emisi mengonfirmasi bahwa sektor transportasi menyumbang 67% emisi PM2.5, 58% emisi PM10, dan 84% emisi Black Carbon di tahun 2019, dengan sumber utama adalah kendaraan berat.

5. Industri dan pembangkit listrik juga berkontribusi pada buruknya kualitas udara

Pembangkit listrik di Jakarta Utara
Pembangkit listrik di Jakarta Utara
Kredit foto: Clean Air Catalyst/Muhammad Fadli

Menurut studi di tahun 2020, industri manufaktur, diikuti dengan sektor energi, berada di posisi kedua dan ketiga penyumbang emisi PM2.5 terbesar di Jakarta. Selain itu, sektor manufaktur dan energi adalah penyumbang yang signifikan untuk polutan sekunder seperti Sulfur Dioxide (SO2) dan Nitrogen Dioxide (NOx) yang bergabung dengan jenis emisi lain dan membentuk PM2.5 dan polutan ozon permukaan O3. Penggunaan bahan bakar fosil pada sektor pelayaran dan penerbangan, serta komersial dan, perumahan juga merupakan kontributor PM2.5 dan polutan-polutan lainnya.

Pembangkit listrik tenaga batu bara dan proses pembakaran yang menggunakan batu bara dalam produksi minyak sawit dan produk makanan merupakan sumber polusi udara lainnya yang berasal dari luar wilayah Jabodetabek. Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) membandingkan konsentrasi PM2.5 dari stasiun Kedutaan Besar AS di Jakarta Pusat untuk mengestimasi emisi dari pembangkit batu bara. Riset tersebut menyimpulkan bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara berkontribusi sebesar 5 hingga 31% dari total emisi PM2.5, dengan rata-rata kontribusi sebesar 9%.  Riset lainnya dipimpin oleh Dr. Puji Lestari dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengindikasikan polusi dari pembangkit listrik tenaga batu bara berperan dalam meningkatnya polusi di Jakarta, khususnya pada musim penghujan ketika angin yang bertiup membawa polusi PM2.5 yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara ke arah Jakarta Timur. 

6. Polusi udara berdampak signifikan pada kesehatan masyarakat

Polusi udara mempengaruhi kesehatan masyarakat
Kredit foto: Clean Air Catalyst

Tingkat polusi paling tinggi umumnya terjadi selama bulan-bulan musim kemarau. Namun, tingkat rata-rata polusi di Jakarta tergolong tinggi sepanjang tahun. Tingkat konsentrasi PM2.5 rata-rata per tahun adalah sebesar 39 ug/m3 di tahun 2021—lebih dari dua kali lipat dari Standar Kualitas Udara Ambien Nasional (sebesar 15μg/m3), atau sekitar 139 hari dengan kategori udara tidak sehat.

Paparan polusi udara yang tinggi merupakan faktor lingkungan dengan risiko yang paling tinggi untuk tingkat kematian dan disabilitas di Jakarta dan menempati urutan ketujuh di antara semua faktor risiko. Sebuah studi pada tahun 2023 menemukan lebih dari 10.000 angka kematian prematur, dan lebih dari 5000 kasus rawat inap setiap tahunnya dapat dikaitkan dengan kualitas udara yang buruk di kota Jakarta. Penelitian yang sama juga menemukan bahwa dampak ekonomi akibat kematian dan penyakit yang terkait dengan PM2.5 dan polutan O3 memangkas sekitar 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) provinsi DKI Jakarta, dengan kerugian terbesar terjadi di Kota Jakarta Timur, yaitu sekitar $791 juta pada tahun 2019. Penelitian ini juga menemukan bahwa Jakarta Timur memiliki angka stunting tertinggi, yang merupakan salah satu dari banyak dampak kesehatan akibat paparan polusi udara pada anak-anak. Dampak ini juga mencakup risiko terhadap asma, penyakit pernapasan lainnya, berat badan lahir rendah, kelahiran prematur, dan kematian bayi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belakangan merevisi pedoman yang direkomendasikan untuk paparan rata-rata tahunan PM2.5 menjadi 5 μg/m3, mengindikasikan bahwa bahkan paparan terhadap PM pada tingkat rendah saja sudah memberikan konsekuensi kesehatan yang signifikan. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Air Quality Life Index, apabila pedoman baru WHO untuk paparan PM2.5 dapat dipenuhi, hal tersebut meningkatkan harapan hidup orang yang tinggal di Jabodetabek sebanyak dua hingga tiga tahun.

7. Saatnya Jakarta bergerak untuk solusi

Foto transportasi publik Jakarta oleh KAIN
Foto transportasi publik Jakarta oleh KAIN

Pada bulan September 2022, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memperkenalkan 70 rencana aksi untuk meningkatkan kualitas udara di ibu kota dalam paparan publik untuk Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU). Rencana aksi ini diklasifikasikan ke dalam tiga fokus utama dalam meningkatkan pengendalian pencemaran udara, yaitu: 1) tata kelola pengendalian pencemaran udara, 2) pengurangan emisi sumber bergerak, dan 3) pengurangan emisi sumber tidak bergerak. Semua rencana aksi ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor, termasuk pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, dan masyarakat.

Baru-baru ini, di bulan Agustus 2023, ketika dihadapkan oleh krisis polusi udara di Jakarta, Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengadakan rapat kabinet terbatas dengan para menteri dan pemimpin daerah. Diskusi berfokus pada solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk mengatasi masalah polusi udara. Tahapan jangka pendek termasuk menyiram air dari gedung-gedung tinggi hingga menutup pabrik arang yang diduga menjadi sumber polusi di Lubang Buaya Jakarta Timur. Mengurangi dampak buruk emisi kendaraan bermotor menjadi prioritas. Tercatat, pemerintah memberlakukan peraturan wajib uji emisi kendaraan bermotor dan melakukan pengecekan secara acak untuk kepatuhan, selain mengamanatkan kebijakan bekerja dari rumah (Work from Home) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Pengurangan emisi dari sumber polusi bergerak, yaitu sektor transportasi, telah menjadi salah satu prioritas untuk mewujudkan udara bersih di Jakarta. Sejak tahun lalu, Jakarta telah meluncurkan uji emisi gratis, dengan menetapkan 317 lokasi untuk mobil dan 92 lokasi pengujian untuk sepeda motor. Selain itu, pemerintah juga mewajibkan perusahaan transportasi pribadi untuk menerapkan standar bahan bakar yang lebih ketat untuk pengoperasian bahan bakar dengan tingkat efisiensi maksimum.

Secara jangka panjang, pemerintah juga telah gencar mengalokasikan investasi untuk transportasi umum, yang bertujuan untuk menghubungkan pergerakan di kota dengan menambah rute di dalam jaringan transportasi publik di kota. Selain itu, layanan mikrobus yang beroperasi melalui jalan-jalan sempit dan perkampungan padat (kampung kota) diupayakan untuk memiliki tarif rendah hingga tarif gratis untuk mendorong peralihan ke transportasi publik. Pengembangan kawasan rendah emisi atau Low Emission Zone (LEZ), seperti yang baru-baru ini diluncurkan di Kota Tua Jakarta, juga sedang dipertimbangkan di daerah lain untuk mendorong aktivitas berjalan kaki dan penggunaan angkutan umum.

Pada awal tahun 2023, jaringan Mass Rapid Transit (MRT) tengah diperluas untuk mencakup lebih banyak rute dan stasiun. Bus TransJakarta (TJ) terus dimodernisasi dengan opsi bahan bakar yang lebih bersih, termasuk opsi bus listrik untuk mengurangi emisi. Selain itu, pengenalan dan perluasan Light Rail Transit (LRT) memberikan alternatif untuk perjalanan darat jarak pendek karena pemberhentian LRT terletak di dekat area pemukiman dan menghubungkan ke titik-titik pusat layanan dan jasa di kota.

Inisiatif dan kebijakan pemerintah seperti perluasan jangkauan transportasi publik memainkan peran penting dalam membentuk lanskap transportasi yang lebih luas dan turut andil mengatasi polusi udara. Selain itu, pemerintah provinsi Jakarta bersama kota-kota tetangga harus melakukan tindakan yang terkoordinasi di tingkat regional dalam menegakan standar emisi industri dan pembangkit listrik. Terakhir, masyarakat dapat membantu mewujudkan strategi pengendalian pencemaran udara dengan memilih transportasi rendah karbon, termasuk berjalan kaki atau bersepeda untuk jarak tempuh yang lebih dekat, serta memprioritaskan penggunaan transportasi umum untuk mendukung transisi energi ramah lingkungan. Masyarakat yang memiliki kapasitas juga dapat mempertimbangan untuk beralih ke kendaraan listrik yang dapat mengurangi emisi transportasi.

Jakarta yang lebih bersih dan sehat tidak dibangun hanya dari upaya individu, tetapi dari pilar kebijakan yang efektif, kolaborasi, dan inisiatif yang digerakkan oleh masyarakat. Pilihan individu memang penting, tetapi koalisi dan aksi gabungan serta kontribusi masyarakat kota memiliki potensi untuk membawa perubahan yang lebih signifikan.

Kontributor dan peninjau data:
Azka Ghaida, Khalisha Meliana, Idir Bouarar, Puji Lestari, Beatriz Cardenas